Tambah Utang untuk Proyek KCJB, Apa Kabar Pandemi?


Oleh : Hanin Syahidah

Belum kering linang air mata rakyat akan pandemi ini, sekarang rakyat diminta bersabar dengan perilaku elite negeri ini. Baru-baru ini Kementerian BUMN mengatakan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal mengalami cost deficiency (kekurangan biaya) operasi pada awal pengoperasiannya. Untuk itu, pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB  nanti. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut pinjaman bisa diperoleh dari China Development Bank (CDB) dengan jaminan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. (CNN Indonesia.com, 8/7/2021). 

Pemerintah China bersepakat dengan Indonesia untuk penyelesaian proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCBJ) sesuai jadwal. Seperti diketahui, proyek ini ditargetkan rampung pada 2022 mendatang. Pihak Indonesia diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara pihak China diwakili oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Dalam keterangannya, Kementerian Luar Negeri China menjelaskan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan bagian dari program Belt and Road Initiative (BRI) atau pembangunan jalur sutra modern. Kereta cepat ini menjadi tolok ukur proyek tahap pertama yang dibangun Indonesia dan China di bawah program BRI. (Kompas.com, 8/6/2021)

KCBJ jadi ladang bisnis baru yang merupakan bagian BRI yang menjadikan Indonesia bagian dari proyek penguasaan China di Asia Pasifik. Di tengah pandemi yang menggeliat, pemerintah justru mengalihkan fokusnya pada proyek KCBJ. Seolah pandemi bukan lagi prioritas yang butuh penanganan cepat dari pemerintah. Tentu hal ini menuai komentar, salah satunya dari mantan Menpora, Roy Suryo yang mengkritik keras salah satu kebijakan pemerintah: proyek kereta cepat yang diusung pemerintahan Presiden Jokowi. Proyek tersebut diplesetkan menjadi Kecebong yang diartikan Kereta Cepat Bohong-bohongan. Pasalnya, penanganan pandemi menggunakan mindset ekonomi dibandingkan kesehatan. Menurutnya, pemerintah telah gagal fokus dalam menangani pandemi, memilih sektor ekonomi ketimbang kesehatan sehingga kasus pandemi di Tanah Air meroket ke negara nomor 3 tertinggi di dunia (dalam kasus harian Covid-19). (portonews.com, 10/7/2021).

Miris, bagaimana mungkin setiap hari lonjakan kasus positif Covid-19 dan yang meninggal itu hanya dinilai dengan angka-angka statistik. Dipersentasekan dan menganggap mortality rate-nya tidak terlalu tinggi. Padahal, jika dilihat dari sisi kemanusiaan sungguh betapa banyak negeri ini kehilangan sumber daya manusianya. Namun, seolah nyawa manusia tak ada harganya. Bukannya pemerintah fokus selesaikan pandemi, ini justru menambah utang untuk proyek kereta cepat.

Kondisi ini sungguh sangat mencederai rasa kemanusiaan. Namun, tidak dimungkiri kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sistem hidup Kapitalisme yang dianut oleh dunia termasuk Indonesia. Sistem hidup yang menilai segala aspek berdasarkan paradigma materialistik. Yang mengukur nyawa dengan motif ekonomi juga asas manfaat. Ironis!

Dalam kondisi seperti saat ini seharusnya negara berupaya semaksimal mungkin menyelesaikan pandemi ini, bukan menambah kekisruhan di tengah-tengah masyarakat. Seperti berupaya melakukan penyelamatan nyawa rakyat dengan memasifkan 3T (testing, tracing, treatment) dan vaksinasi yang efektif di tengah-tengah masyarakat. Pelaksanaannya harus lebih massif, bukan hanya sekadar vaksin, yang tidak jarang efektifitasnya sangat kecil dan tidak mampu menghalau mutasi virus yang baru.

Di sisi pendisiplinan terhadap masyarakat untuk membatasi aktivitasnya, pemerintah pun harus hadir mengulurkan tangannya untuk meringankan beban masyarakat. Bukan hanya sekadar aturan, tapi juga disertai solusi untuk mereka. Sehingga upaya yang dilakukan pemerintah tidak kontraproduktif. Dalam artian, di satu sisi berusaha mencegah kematian akibat Covid-19, tetapi di sisi lain masyarakat justru terancam kematian karena kelaparan yang mendera mereka akibat penerapan pembatasan aktivitas masyarakat. Karenanya, butuh kehadiran pemerintah secara totalitas untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Lantas apakah bisa terwujud?

Bukan tidak mungkin negara memenuhi semua kebutuhan masyarakat, jika saja negara memiliki dana yang cukup untuk membantu mereka. Melimpahnya SDA di negeri ini seharusnya dapat memenuhi kas negara sehingga negara mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, faktanya tidak demikian. Ibarat mati di lumbung padi, negeri ini kelaparan di tengah kekayaan sumber daya alam. Wajar saja, karena berbagai SDA di negeri ini sudah dipastikan diprivatisasi dan diswastanisasi, baik oleh swasta maupun korporasi asing. Atas nama investasi tentunya dan dilegalisasi dengan kebijakan bernama UU PMA. 

Sistem Kapitalisme yang rapuh dan tak mampu melindungi masyarakat sudah seharusnya dicampakkan. Kini, sudah saatnya kaum muslim kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yakni kembali kepada penerapan syariat kaaffah yang penuh berkah. Syariat yang datang dari Zat yang Maha Kuasa yang sangat memahami manusia dan permasalahannya serta bagaimana menyelesaikannya. Maka cukuplah aturan yang berasal dari Allah saja untuk menyelesaikan carut-marut tatanan kehidupan manusia saat ini.

Wallahu a’lam bi ash-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar