Bantuan Negara Untuk Sekolah Gemuk, Adilkah?

 

Oleh: Amallia Fitriani

Beberapa waktu yang lalu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek) tengah mewacanakan akan memberlakukan aturan penghentian penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 60 siswa. Dan kebijakan tersebut diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler, (Tribun News.co, 07/09/2021). 

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anang Ristanto, mengatakan bahwa kebijakan mengenai penghentian penyaluran dana BOS bagi sekolah yang miliki murid kurang dari 60 ini dimaksudkan untuk efisiensi. Efisiensi itu dilakukan dengan mendorong penggabungan sekolah-sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 60. "Jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, maka akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas," tekannya. (Liputan6.com, 03/09/2021) 

Tentu saja kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak salah satunya kritikan dari Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk mempertimbangkan mencabut aturan tersebut yang membatasi sekolah penerima BOS berdasarkan jumlah siswa di sekolah. ”Kebijakan ini dapat berdampak pada pengabaian hak-hak anak-anak yang kurang mampu ataupun anak-anak yang bersekolah di sekolah kecil dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dari negara,” kata Gus Muhaimin dalam keterangannya, (Tribun News.co, 7/9/2021).

Walaupun, pada akhirnya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, memutuskan tidak akan memberlakukan ketentuan terkait jumlah minimum siswa dalam persyaratan sekolah penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler untuk tahun 2022. Pihaknya kini masih melakukan kajian lebih lanjut terkait keberlanjutan peraturan tersebut, (Republika.co.id, 08/09/2021). 

Wacana tersebut sudah terlanjur tersebar di tengah masyarakat sehingga hal ini meresahkan dan menuai kontra di kalangan masyarakat. Jika kebijakan tersebut sampai  diberlakukan maka tindakan tersebut menunjukan bahwa negara masih setengah hati dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi warga negaranya, sekaligus menunjukan bahwa negara telah mendiskriminasi sekolah-sekolah kecil jika akhirnya menghentikan penyaluran dana BOS. Tindakan ini juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sementara ayat (2) berbunyi, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Permasalahan seperti ini tidak lain disebabkan sistem sekuler kapitalis yang di gunakan negara saat ini yang  menjadikan setiap kebijakan yang di ambil selalu melihat asas materi, sehingga dalam mengeluarkan kebijakan terkait pendidikan ini pun pandangannya bukan kemaslahatan rakyat tapi memperhitungkan untung rugi. Persoalan pendidikan hari ini tak akan pernah selesai selama paradigma yang digunakan negara, termasuk dalam sistem pendidikan, masih sekuler kapitalis.

Berbeda jauh dengan keadaan masa di mana aturan Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Islam telah mewajibkan mencari ilmu bagi seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Oleh karena itu negara bertanggung jawab menyediakan sarana prasarana secara gratis bagi seluruh warga negaranya, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, kaya, miskin, muslim, dan non muslim. Semua wilayah harus terpenuhi kebutuhan sarana prasarana pendidikan secara cukup, tanpa membeda-bedakan. 

Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan primer selain sandang, pangan, papan, keamanan dan kesehatan. Oleh karena itu negara harus membebaskan biaya pendidikan agar seoptimal mungkin bisa terselenggara. Kemampuan negara dalam sistem Islam menggratiskan biaya pendidikan dikarenakan menerapkan sistem ekonomi Islam serta ditopang juga dengan sistem-sistem Islam lainnya secara terpadu, seperti sistem pemerintahannya, sosial, politik dan yang lainnya. Semuanya tegak atas asas akidah Islam, bukan sekulerisme.

Disamping itu seorang pemimpin dalam sistem Islam berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan termasuk yang berkenaan dengan sistem pendidikan, seperti kurikulum, metode pengajaran, jumlah dan kualitas guru, disamping sarana dan prasarana yang cukup. Oleh karena itu seorang pemimpin harus peka terhadap apa yang dibutuhkan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sepanjang sejarah, peradaban Islam telah membuktikan bagaimana Islam sangat memerhatikan dunia pendidikan. Kita ambil contoh pada masa khilafah Al-Mu'tasim Billah. Beliau telah berjasa mendirikan Madrasah al-Muntahsiriah. Setiap siswa di sekolah ini mendapat beasiswa berupa emas seharga satu Dinar yang bernilai 4,25 gram. Fasilitas sekolah disediakan lengkap seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian. Selain itu, seluruh pembiayaan pendidikan diambil dari Baitulmal yakni dari pos fa'i, kharaj serta pos milkiyyah 'amah.

Maka dari itu hanya dengan menerapkan kembali sistem Islam secara kaffah, negeri Indonesia ini akan mampu menyelenggarakan pendidikan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim.

Wallahua’alam bi shawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar