Berdalih Pemerataan Keadilan dan Kesejahteraan, Negara Sekuler-Kapitalis Akan Pungut Pajak Jasa Pendidikan

 

Oleh: Imas Royani

Apa sebenarnya definisi keadilan dan kesejahteraan pada sistem sekuler-kapitalis, sehingga menjadikan pajak jasa pendidikan sebagai alat pemerataannya. Bukankah sudah jelas arti keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Sementara Keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau perbuatan atau perlakuan yang adil. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera. Arti lainnya dari kesejahteraan adalah keamanan, keselamatan, ketenteraman.

Keadilan merupakan suatu ciri utama dalam ajaran Islam. setiap orang muslim akan memperoleh hak dan kewajibannya secara sama. Berdasarkan pada hakekat manusia yang derajatnya sama antara satu mukmin dengan mukmin yang lain. Dimana dengan tegaknya suatu keadilan akan membuat setiap orang merasa aman dan nyaman. Sedangkan kesejahteraan dalam Ekonomi Islam adalah kesejahteraan secara menyeluruh, yaitu kesejahteraan secara material maupun secara spiritual. Konsep kesejahteraan dalam ekonomi Islam tidak hanya diukur berdasarkan nilai ekonomi saja, tetapi juga mencakup nilai moral, spiritual dan juga nilai sosial. Tentu saja kedua hal tersebut, baik keadilan maupun kesejahteraan standarnya adalah halal-haram demi meraih ridha Allah Swt.

Lantas apakah dengan memungut pajak jasa pendidikan akan terasa keamanan, keselamatan dan ketenteraman? Apakah dengan menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, akan dapat meraih ridha Allah Swt.? 

Namun begitulah yang terjadi. Seperti yang diberitakan nasional.kontan.co.id (09/09/2021), yang menyatakan bahwa pemerintah tengah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Dengan demikian, maka jasa pendidikan tidak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP). 

Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI. 

Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut kecuali sekolah negeri. Dan rencana ini akan diterapkan usai pandemi covid-19. (insight.kontan.co.id, 08/09/2021)

Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa rencana perluasan objek kena pajak yang diatur dalam RUU ini– termasuk pajak sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan– semata didasarkan pada prinsip keadilan. Sehingga dipastikan tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah.

Fakta kebijakan ini menyempurnakan gambaran lepasnya tanggung jawab negara untuk melayani Pendidikan secara berkualitas dan gratis. Negara belum berperan maksimal dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Paradigma sekuler kapitalisme liberal yang diterapkan membuat ada celah besar antara kehidupan rakyat dengan cita-cita mewujudkan kesejahteraan.

Alih-alih menyelamatkan rakyat dari keterpurukan di berbagai bidang, negara malah sibuk mencari celah untuk memperbanyak pungutan dari rakyat. Bahkan pendidikan anak negeri yang sudah sekaratpun tidak luput dari incaran pajak. Seolah-olah  negeri ini kekurangan sumberdaya sehingga tidak mempunyai modal untuk mensejahterakan rakyatnya. 

Padahal negeri ini justru telah dianugerahi kekayaan yang luar biasa, baik berupa potensi demografis, maupun kekayaan alam dalam berbagai bentuk. Potensi pertanian, kehutanan, perairan termasuk lautan Indonesia begitu melimpah ruah. Demikian pula dengan potensi tambang yang jika dikelola dengan benar tentu akan memberi maslahat besar bagi seluruh rakyatnya.

Namun kenyataannya, sumber-sumber ekonomi dan kekayaan itu terkonsentrasi pada segelintir orang, bahkan asing. Sementara mayoritas masyarakat justru hidup dalam kemiskinan dan kelaparan dengan daya beli yang sangat minim dan mengenaskan.

Begitu pula dalam masalah kesehatan dan pendidikan. Semakin sedikitnya kesempatan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan dengan layanan yang maksimal. Termasuk ketika pemerintah menjalankan program-program bantuan yang terkesan alakadarnya dan seringkali salah sasaran.

Seharusnya, negara berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan menerapkan aturan yang menjamin distribusi kekayaan berjalan ideal. Sehingga setiap orang akan memiliki kesempatan memperoleh ruang mencari nafkah secara halal, sekaligus mampu mengakses faktor-faktor ekonomi dengan peluang yang sama tanpa hambatan.

Negara semestinya berusaha menghilangkan segala bentuk aturan yang memberi ruang penguasaan kekayaan milik rakyat oleh asing atau perorangan. Begitu pun, wajib bagi negara menghilangkan berbagai transaksi batil semacam saham, asuransi dan riba yang mengakumulasi modal pada satu-dua perusahaan, beserta segala praktek curang yang melegitimasi ketidakadilan dengan menerapkan aturan yang ideal.

Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Sistem kepemimpinan Islam tegak di atas landasan keimanan akan hak prerogatif Allah Swt. yang mengatur alam semesta dengan risalah yang diturunkan-Nya. Risalah inilah yang mengarahkan manusia, menjalani kehidupan yang diamanahkan Allah Swt. untuk dikelola dengan sebaik-baiknya. Sehingga keadilan dan kesejahteraan pun akan terwujud dengan sendirinya.

Risalah Islam mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, persanksian hingga hubungan antar negara. Semuanya didedikasikan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Dengan penerapan risalah itulah, kezaliman, ketidakadilan dan kerusakan akan tercegah. Baik yang dilakukan oleh perorangan, sekelompok orang bahkan oleh negara. Semua ini dibuktikan dalam sejarah penerapan sistem Islam yang berlangsung belasan abad lamanya.

Saat itu, rakyat hidup dalam taraf kesejahteraan yang tiada bandingan. Penerapan sistem Islam secara kaffah memastikan kekayaan negara begitu melimpah. Sehingga negara benar-benar berdaulat sebagai pengurus dan penjaga rakyatnya.

Keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, baik yang muslim maupun non muslim. Setiap warga negara mendapat hak yang sama untuk memperoleh kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan komunal mereka, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dan itu dapat diperoleh secara gratis.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem kufur yang hanya membawa kesengsaraan dengan khayalan keadilan dan kesejahteraan semu. Mari kita beralih kepada sistem Islam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam dimana keadilan dan kesejahteraan akan dapat diraih dengan ridha dan kasih sayang-Nya, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Wallahu'alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar