EKSISTENSI BALIHO, DEMI RAKYAT ATAU KURSI?


Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Baliho masih dianggap cukup efektif bagi mereka yang berniat mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri ini. Hal ini dapat terlihat dari maraknya baliho politik yang terpasang dengan berbagai ukuran di ruas-ruas jalan mulai pertengahan tahun ini meski pilpres masih akan berlangsung pada tahun 2024. Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Fiman Kurniawan menilai  pemasangan baliho memang memiliki keunggulan tersendiri karena akan mudah “memaksa” orang untuk melihatnya apalagi jika diletakkan di kawasan yang strategis. Namun menurutnya, yang perlu diingat adalah bahwa adanya kompetisi baliho di musim kampanye justru akan menimbulkan kejenuhan dan akhirnya akan menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat. (Detiknews,05/08/2021).

Pesan politik yang disebar melalui perang baliho saat ini menurut Direktur EksekutIf Indonesia Political Review, Ujang Komarudin seharusnya dapat lebih direm mengingat kondisi masyarakat yang sedang sulit. Pemasangan baliho politik adalah suatu hal wajar namun dapat menjadi masalah ketika seseorang itu memiliki jabatan publik karena dianggap tidak memiliki sense of crisis mengingat anggaran pemasangan baliho tersebut seharusnya dapat dialihkan ke jutaan masyarakat yang terdampak pandemi. (Rakyat Merdeka.id,04/08/2021 ).

Di saat yang sama ketika baliho politik dengan harga fantastis terpasang di berbagai titik strategis, mural yang berisi curahan hati rakyat dan kritik kepada penguasa justru menghilang karena adanya penghapusan. Penguasa yang sudah dipilih rakyat bukan memberi jawaban atas kritik terhadap mereka malah bersikap arogan dengan menghilangkan curahan hati rakyat yang dipimpinnya. Penguasa seakan anti kritik padahal bahasa publik adalah cermin. Ketika apa yang diterima rakyat baik maka respon yang muncul dari rakyat juga akan baik.

Penguasa seakan lupa bahwa ada tanggung jawab besar ketika mereka siap berkuasa. Berkuasa bukanlah aji mumpung yang dibalut pencitraan sana sini agar kekuasaan langgeng. Penguasa yang lahir dari sistem demokrasi kapitalis memang sulit untuk bersih, jujur dan hanya melayani rakyat. Biaya politik yang mahal mendorong penguasa untuk melakukan segala cara agar dapat “balik modal” dan tentu saja mendapat keuntungan. Mengurus rakyat, melayani dengan ikhlas dan mengayomi masyarakat hanya sekadar janji manis yang terus diulang ketika masa kampanye tanpa ada realisasi.

Kebijakan – kebijakan yang diambil penguasa dalam sistem kapitalis sangat jauh dengan apa yang dijanjikan ketika masa kampanye. Alih-alih memenuhi kebutuhan rakyat yang telah memilihnya, justru kepentingan pemilik modal yang menjadi perhatian utama. Penguasa seolah boneka yang mudah dikendalikan dari segala arah oleh para pemodal. Tak ada rasa takut atas kedzaliman demi kedzaliman yang dilakukan kepada rakyat karena sistem kapitalis berpaham sekulerisme yang memisahkan urusan agama dengan dunia. Aturan agama dipinggirkan demi memuaskan nafsu semata. Beraneka cara akan ditempuh penguasa demi kelanggengan kursi jabatan, kekuasaan yang berkembang dan bertambahnya harta dunia.

Maka masihkah kita tak ingin beralih kepada sistem yang berasal dari Sang Pembuat Kehidupan, Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yaitu Islam? Dalam Islam, semua bertumpu pada ridho-Nya. Segala aspek kehidupan sudah ada pada aturan yang jelas, aturan yang memang sudah menjadi ketetapan-Nya dan kita hanya tinggal melaksanakannya. 

Pemimpin yang lahir dalam sistem Islam akan senantiasa memperjuangkan rakyat, amanah dan bertanggungjawab. Kecintaan pada Sang Pencipta membuat pemimpin juga mencintai rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin akan memiliki kesadaran penuh bahwa kekuasaan yang diembannya akan menentukan nasibnya kelak di akhirat. Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga." (HR. Bukhari Muslim).

Wallahu a’lam bishawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar