Guru Dimuliakan Hanya dalam Sistem Islam


Oleh: Astriani Lydia,S.S

Oemar Bakrie, Oemar Bakrie
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakrie,Oemar Bakrie
Banyak ciptakan menteri
Oemar Bakrie
Bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie
Seperti dikebiri
Lirik lagu Oemar Bakrie diatas menggambarkan nasib guru puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi kenyataannya sampai hari ini beberapa guru masih memiliki nasib yang sama. Seperti di Bekasi, seorang guru honorer K2 di SDN Wancimekar 1 Desa Wancimekar, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat jadi sorotan. Imas Kustiani, guru honorer berusia 53 tahun yang tak kenal lelah dan putus asa untuk tetap mengajar meski sedang mengalami sakit stroke selama tujuh tahun. Biasanya beliau selalu diantar suaminya ketika akan mengajar, jika suaminya tidak bisa mengantar, beliau akan menggunakan ojek. Bu Imas sudah 13 tahun mengajar di sekolah tersebut, namun statusnya masih seorang tenaga honorer K2. Beliau cukup menjadi sorotan pada seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di SMAN 3 Karawang. Pasalnya, beliau hadir mengikuti tes dalam kondisi fisik yang tak bisa berjalan, yaitu digendong oleh suaminya. Bu Imas berharap keikutsertaannya dalam seleksi guru PPPK bisa meningkatkan statusnya dari guru honorer K2 menjadi guru PPPK. (PR Bekasi, 17/9/2021)
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui seleksi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya berdasarkan masa pengabdian seorang guru, tidak melalui proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang lebih muda masa pengabdiannya. “Mereka sudah mengabdi sangat lama dan mereka mengajar itu di pelosok-pelosok daerah, seharusnya itu menjadi perhatian pemerintah,” katanya. Oleh karenanya Irwan meminta pemerintah memperhatikan nasib para guru honorer yang cukup masa pengabdiannya dengan melakukan pengangkatan secara langsung menjadi PPPK atau CPNS tanpa proses seleksi. Ia pun mengatakan, “Saya sangat prihatin melihat nasib para guru honorer tetapi belum diangkat juga. Padahal mereka harusnya diapresiasi dan diafirmasi atas pengabdiannya.” (SINDONEWS.COM, 19/9/2021)
Di sisi lain, seorang Anggota Komisi IX DPR RI, Krisdayanti blak-blakan soal gaji dan tunjangan anggota dewan saat diwawancarai oleh politikus Akbar Faizal di kanal YouTubenya. Sebagai wakil rakyat, Krisdayanti menerima gaji pokok sebesar Rp. 16 juta per bulan setiap tanggal 1, tunjangan Rp. 59 juta pada tanggal 5, dana aspirasi Rp. 450 juta yang diperoleh lima kali dalam setahun, serta dana reses sebesar Rp. 140 juta. (Tribunnews.com,18/9/2021). Sungguh miris jika disandingkan dengan kisah para guru honorer yang harus bercucuran keringat dan berderai air mata, berjuang demi mendapatkan pengakuan negara sekaligus memperbaiki nasib untuk hidup yang layak. Padahal peran mereka sangat penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan dalam membangun peradaban. Inilah nasib guru di sistem yang tidak tahu berterimakasih dan pilih kasih.


Mulianya Guru dalam Sistem Islam
Islam memberikan tempat mulia bagi guru karena perannya yang sangat penting bagi sebuah peradaban. Imam Jalaluddin as-Suyuthi menuliskan Lubab al-hadits, bahwa pahala memuliakan guru adalah surga. Disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah swt, maka tempatnya di surga.”
Dalam sistem Islam, guru adalah pegawai negara, tidak dibedakan status guru pegawai negeri atau honorer. Semua guru dimuliakan dalam Sistem Islam karena perannya yang begitu penting. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan riwayat dari Wadliyah bin Atha bahwa di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas, yang jika di rupiahkan kurang lebih Rp. 61.773.750. Atau pada masa Shalahuddin al Ayyubi, yang menggaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiyah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar 11-40 dinar, yang jika dirupiahkan kurang lebih Rp. 45.300.750-Rp. 164.730.000. Sungguh sangat jauh berbeda dengan gaji guru honorer khususnya di daerah terpencil pada saat ini dimana hanya berkisar Rp.200 ribu-Rp. 1 juta per bulan. 
            
Darimana biaya untuk mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas semacam itu? Dalam sistem ekonomi Islam, negaralah yang mengelola seluruh kekayaan alam berdasarkan syariat Islam. Untuk pembiayaan pendidikan, ada dua sumber pendapatan baitulmal yang dapat digunakan, yaitu: (1) pos fai` dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi negara dengan dana dari dharibah yang dipungut dari kaum muslimin. Biaya pendidikan dari baitulmal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, membayar gaji segala pihak yang terkait pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Melihat hal diatas, maka sudah saatnya para guru menyadari bahwa sistem sekulerlah yang telah menzhalimi dan merendahkan martabat guru dari derajatnya yang mulia. Dan hanya sistem Islamlah yang menyejahterakan dan memuliakan posisi serta peran para guru. Semoga kehadirannya akan segera terwujud. Aamiin yaa Robbal’aalamiin. Wallahu a’lam bishshawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar