Hukum Demokrasi Sudah Tumpul Syariat Islam Incredible


Oleh : Muzaidah (Aktivis Muslimah)

Belakangan ini publik sedang dibuat ikutan ambigu, lantaran UU kekerasan seksual mulai kembali direvisi. Ujung-ujungnya bukan memberikan solusi, malah makin tak jelas. Hingga keadilan belum sempurna dirasakan publik dan pelaku kejahatan terus membabi buta. Dari hukum yang diberlakukan penguasa pun, sama sekali tak memberikan efek jerah, hanya sebatas peran sebagai regulator saat di depan awak media. 

Lantas ada apa dengan UU ini, publik bisa menjadi tenang dan aman, karena katanya demokrasi telah menjadi penjamin keselamatan. Tapi kenyataan saat ini, keadilan dan keamanan tak begitu dirasakan. Sehingga pelaku kejahatan masih terus berkeliaran dan membuat korban menjadi trauma seperti dikejar setan.

Ketegangan terjadi di gedung DPR, pasalnya RUU PKS kembali mulai direvisi pasca kekerasan seksual merebak begitu cepat. Wakil ketua baleg DPR Willy Raditya mengatakan, bahwa ada alasan, mengapa RUU PKS diubah menjadi TPSK (tindakan pidana kekerasan seksual).

Pertama, dengan adanya UU TPSK, pihak korban akan mendapatkan jaminan keadilan dan satu-satunya UU yang berpihak kepada korban, karena sejauh ini UU yang sudah ada, mengatur kekerasan seksual hanya secara terbatas. Kedua, ada tujuan agar aparat penegak hukum akan lebih mudah menenggakkan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. (cnn.indonesia.com, 10/09/2021).

Pengesahan UU bukanlah solusi dalam mengatasi berbagai penyimpangan yang terjadi. Akan mengakibatkan persoalan baru yang tak ada usainya. Karena sejatinya, UU ini berasal dari barat, akal manusia, yang menjunjung tinggi kebebasan. Sehingga yang mendapatkan hukuman, jika dilakukan berdasarkan pemaksaan bukan atas dasar suka sama suka.

Dengan begitu, berbagai janji keadilan tak pernah terterapkan, karena dasar hukumnya sudah menjunjung tinggi kebebasan. Bukti kegagalannya bisa dilihat oleh masyarakat, awak media hingga pejabat negara. Bahwa ternyata, hukum demokrasi bukanlah solusi, karena setiap keputusan ditetapkan tak bersandar kepada Al-Quran dan hadis nabi. Dengan begitu, banyak korban tak diberikan keadilan dan pelaku tak mendapatkan sanksi tegas.

Seperti kasus yang tak asing untuk sama-sama didengar, kejadian yang terjadi di komisi penyiaran Indonesia (KPI). Ternyata, salah satu pegawai yang berinisial MS, telah mendapatkan pelecehan dari sesama rekan kerjanya. Bermula sejak 2015 saat korban bekerja sebagai pegawai di KPI.

Kemudian korban berani melaporkan saat setelah 2019. Saat MS mengadu kepada aparat penegak hukum, hasil yang didapatkan selalu nihil, hingga ia disarankan agar menyelesaikan problem ini kepada pihak atasan saja. (cnn.Indonesia.com, 04/09/2021).

Jika sudah begini, kepada siapa harus mengadu dan upaya apa yang dilakukan agar keadilan dapat dirasakan tanpa pilih-pilih, apakah ia dari kalangan pejabat tinggi atau rakyat biasa. Padahal, penjamin keamanan dan keadilan sudah menjadi kewajiban pemerintah serta memberikan sanksi tegas sebagai efek jerah.

Beginilah potret sistem hari ini, sudah begitu gagal dalam menerapkan sanksi kepada pelaku kejahatan. Karena dasar hukum yang dianut bukanlah berdasarkan perintah penciptanya yaitu Allah Swt. melainkan nafsu dan akal manusia, yang tujuan hidupnya bukan untuk akhirat melainkan dunia yang sifatnya fana. 

Dalam pandangan Islam, kekerasan seksual adalah kejahatan yang tak bisa diberikan keringanan. Hukum yang diberikan harus tegas sesuai yang Allah perintahkan, baik dalam Al-Quran dan hadis. Seperti hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah dan takzir (sanksi) yang ditetapkan Al-Quran bagi pelaku zina yang belum menikah  atau hukum cambuk serta diasingkan. 

Hukuman ini berlaku terhadap penyimpangan lainnya seperti pemerkosaan, aborsi, homoseksual, LGBT dan sejenisnya. Akan dihukum sesuai ketetapan syara', bagi pelaku homoseksual harus dibunuh, itulah yang ditetapkan dalam Islam. Tujuannya sebagai penebus dosa saat di dunia menuju akhirat dan menjadi efek jera bagi manusia.

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (TQS. An-Nur: 2).

Semua penerapan sanksi hanya bisa dilakukan dalam sistem Islam, yang dipimpin oleh seorang khalifah (pemimpin). Dengan menerapkan segala perintah, hukum-hukum Allah. Hal semacam ini tidak bisa dilakukan dan diterapkan selain dari pada sistem Islam. Karena segala hukum bukan bersandar terhadap akal manusia atau nafsunya melainkan ketundukan kepada perintah Allah.

Keadilan ini pun pernah dirasakan oleh seorang muslimah, saat tahun 837M. Yang berada di Amuriyah jauh dari sebuah kota di Turki. Saat itu, seorang muslimah dilecehkan dan ditawan oleh pasukan romawi, kemudian ia berteriak dengan keras ''tolong aku, wahai Al-Mu'tashim billah''. Teriakannya ternyata begitu terdengar keras, sehingga suaranya pun terdengar oleh kalangan kaum muslim, lalu diadukan langsung kepada sang khalifah. Yaitu Al-Mu'tashim billah.

Respon yang didapatkan untuknya, begitu sigap tanpa bertele-tele. Al-Mu'tashim billah langsung mengirimkan banyak pasukannya, hanya untuk membela kehormatan seorang wanita. Akhirnya muslimah itu terselamatkan dan kehormatannya tetap terjaga. Peringatan tegas disampaikan khalifah kepada pasukan Romawi agar tak kembali lagi melakukan kejahatan, jika melakukan maka sanksi tegas akan berlaku kepadanya.

Bukti konkret saat sistem Islam terterapkan secara sempurna. Islam tak main-main dalam urusan mengayomi rakyat. Bahkan memberikan penuh atas hak dan keadilan rakyat. Karena dalam Islam, itu sudah menjadi tanggungan negara untuk meriayah (mengurus) rakyat.

Selain itu, usaha sistem Islam untuk menekan penyebaran kejahatan, dimulai melalui dari pendidikan. Awalnya harus dari pendidikan, sehingga generasi bisa ditanamkan mengenai nilai akidah dan ketakwaan dalam dirinya. Dengan begitu, saat bertindak pun akan berhati-hati, bahwa standar perbuatan dan ibadahnya hanya dipersembahkan untuk Allah dan kepatuhannya hanya kepada Allah.

dilanjutkan melalui batasan pergaulan, dalam pergaulan tak boleh bebas dan asal-asalan. Antara laki-laki dan wanita harus dipisahkan dan tak boleh berdua-duaan (khalwat) apalagi campur baur (ikhtilat). Hanya boleh terjadi, jika ada keperluan syar’i, seperti di pasar, pendidikan, kesehatan dan hajat syar'i lainnya. Dengan begitu kejahatan apa pun tak pernah ada. Keadilan, ketaatan, keamanan rakyat pun akan terjamin aman dengan selamat.

Oleh karena itu, hanya Islamlah yang mampu meriayah umat dengan seadilnya. Dengan menerapkan hukum Allah secara nyata bukan semu belaka. Menjadikan pemimpinnya sebagai wadah pelaksana keadilan saat pelanggaran dan kejahatan terjadi, agar bisa menekan kemaksiatan. Tidak memilih pemimpin dengan cara asal-asalan, yang akan mengakibatkan kekacauan.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar