Kekayaan Pejabat Meningkat, Rakyat Makin Sekarat


Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi Untuk Peradaban)

Pandemi belum juga menujukkan tanda-tanda berakhir. Rakyat semakin hari semakin getir. Banyak diantara mereka kehilangan pekerjaan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan Indonesia mengalami resesi karena aktifitas ekonomi terganggu. Jika demikian, siapa lagi yang paling menderita kalau bukan rakyat?

Namun begitu, melansir Jakarta, CNN Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sebanyak 70,3 persen harta kekayaan para pejabat negara naik selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, laporan kenaikan itu tercatat setelah pihaknya melakukan analisis terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020 (7/9).

Sangat fantastik, kekayaan pejabat negara naik drastis saat pandemi.  Kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR yang angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar.

Sebuah fakta menyedihkan. Setiap pergantian pemimpin, rakyat menaruh harapan pada pemimpin baru. Bisa memberikan kesejahteraan serta keadilan yang merata. Tetapi mereka lupa, di balik terpilihnya para pejabat negara tersebut sistem demokrasi tetaplah diberlakukan. Demokrasi yang dipropagandakan “dari, oleh, dan untuk rakyat” pada praktiknya hanya untuk melayani para pemilik modal dan korporasi, bukan melayani kebutuhan/kepentingan rakyat.

Suara rakyat terasa nyaring jika dibutuhkan. Rakyat hanyalah alat mendulang suara. Demokrasi butuh tumbal, dan rakyat adalah tumbalnya. Nonsense jika sistem ini digadang menjamin keadilan dan melahirkan aparatur serta pejabat yang menjamin kesejahteraan rakyat.

Bahkan tanpa malu sosok wakil rakyat mengakui menerima gaji dan tunjangan dalam jumlah mencapai milyaran per tahun. Padahal, menurut  Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 10 persen penduduk Indonesia memiliki rata-rata pengeluaran per bulan kurang dari Rp472.525 hal ini terkategori penduduk miskin. Bagaimana bisa hidup layak dengan penghasilan seminim itu di jaman semua kebutuhan berbiaya mahal. 

Walaupun para pejabat telah memperoleh harta begitu besar dari anggaran negara yang telah dialokasikan untuk tunjangan dan gaji yang mereka peroleh faktanya kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik.

Inilah bukti sistem ini membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan rakyat hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar saja tertutup aksesnya. Lebih-lebih demokrasi penghasil undang-undang liberal menjadi pintu masuk bagi negara-negara penjajah untuk menguasai kekayaan alam Indonesia.

Demokrasi melahirkan sekulerisme sumber kepahitan hidup di tengah masyarakat. Karena sistem ini mendewakan hukum manusia. Hukum yang dibuat manusia pastilah maju mundur tergantung kepentingan gerbongnya. Kesejahteraan dan rasa keadilan bagi manusia jauh panggang dari api. 

Sesungguhnya Allah telah memberikan seperangkat hukum untuk ditaati dan dilaksanakan agar manusia beroleh ketentraman dan keadilan. Karena sebenar-benarnya tiada yang keliru atas aturan yang bersumber dari-Nya.

Islam merupakan sistem kehidupan yang sempurna. Mampu memecahkan seluruh problem kehidupan. Tidak ada rakyat sengsara dalam sistem ini, tidak ada rakyat yang tidak bekerja. Semua kebutuhan terpenuhi baik sandang pangan maupun papan.

Dalam sistem Islam kekuasaan adalah amanah. Karena kepemimpinan dalam Islam bertujuan menegakan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kafah untuk mensejahterakan rakyat. Kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

Memang benar kepemimpinan jika asasnya wahyu Ilahi akan melahirkan pemimpin sekelas Khalifah Umar bin al-Khaththab ra, sosok pemimpin yang sangat sederhana. Teladan di masa susah. Pada masa Kepemimpinannya biasa memakai jubah yang bertambal di dua pundaknya. 
Wallahu'alam Bissawab[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar