Konten Negatif di Media Dihapus, Solutifkah?


Oleh : Ummu Sansan  (Komunitas Pena Cendekia)

Media bagai dua sisi mata uang. Ada kelebihan dan kekurangan dari keberadaannya. Jika salah penggunaan maka media akan menjerumuskan. Sebaliknya jika dimanfaatkan dengan benar maka akan membawa kebaikan. Dalam kondisi pesatnya teknologi saat ini, keberadaan media menjadi keniscayaan dan tidak mudah untuk mengabaikan keberadaannya.

Karenanya pemerintah juga memberikan perhatian terkait media ini. Dilansir dari m.liputan6.com, 19/9/2021, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate menyampaikan bahwa aktivitas daring selama pandemi menyebabkan banyak warganet terpapar konten negatif. Padahal hingga September 2021, sebanyak 24.531 konten negatif telah dihapus. Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19.

Konten negatif diperangi agar masyarakat dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang benar. Termasuk dalam kondisi pandemi covid-19, mencegah banyaknya tindak kejahatan, juga pelecehan seksual. Sejauh ini pemerintah telah menempuh tiga pendekatan yang mencakup tingkat hulu, menengah, dan hilir dalam menanggulangi konten negatif ini. 

Terkait pendekatan di tingkat hulu, Kementerian Kominfo gencar melakukan literasi digital. Program ini untuk mendidik masyarakat untuk menyebarkan informasi yang akurat, tidak hoax, dan bukan konten negatif. Pada pendekatan menengah, pemerintah melakukan pencegahan dengan menghapus akses konten negatif. Adapun pendekatan di tingkat hilir, pemerintah akan mengambil tindakan hukum jika masih ada yang merilis konten negatif (aptika.kominfo.go.id, 20/9/2021).

Akankah solusi yang ditawarkan pemerintah tersebut efektif? Yang jelas Kominfo tidak akan sampai memblokir google atau kanal informasi lain,  tapi hanya menghapus konten negatif saja. Alasannya karena Indonesia menganut 'open sky policy' dan merupakan negara demokrasi. Namun justru inilah akar persoalan yang terjadi di dunia maya.

Demokrasi digadang-gadang sebagai sistem yang terbaik dan diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan. Karenanya media akan terbuka dan bebas atas segala informasi. Memang demikian bukan dalam demokrasi yang mengedepankan kebebasan? Setali tiga uang dengan hal tersebut, aturan yang ditetapkan adalah buatan manusia. Alhasil tidak ada aturan yang menyebutkan secara tegas atas definisi konten negatif. Bahkan pornografi yang disebut termasuk dalam konten negatif saja tidak memiliki definisi yang tegas pula. Tidak heran jika konten negatif tetap tumbuh subur walaupun penghapusan gencar dilakukan. Belum lagi jika ada keuntungan materi yang didapat jika konten negatif viral dan tersebar luas.

Hal ini karena tidak ada standar yang jelas dalam melihat suatu persoalan. Terlebih semua standar dan aturan berpulang pada manusia yang sarat kepentingan. Inilah sisi lemah demokrasi yang tidak layak dijadikan sandaran. 

Oleh sebab itu dibutuhkan persepsi yang sama dari masyarakat dengan standar yang jelas dalam masalah media ini. Sejatinya Islam memiliki jawabannya. Keberadaannya bukan saja sebagai agama ritual, tapi juga sebagai ideologi yang memiliki seperangkat aturan atas persoalan kehidupan termasuk media.

Ketakwaan pemeluknya menjadi modal dasar. Berangkat dari ketakwaan ini akan menjadikan masyarakat hanya taat pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, hukum syariat Islam menjadi standar yang tegas. Misal saja, disebut pornografi ketika aurat diumbar di mana-mana, baik foto, gambar, maupun video. Maka konten negatif terkait pornografi memiliki batasan yang tegas.

Selain itu, bekal ketakwaan ini tidak akan membiarkan arus informasi bebas masuk dalam benak masyarakat. Pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif tidak akan dibiarkan mengontaminasi benak masyarakat. Apalagi standar hukum syariat telah tegas melarang itu semua. Tak segan-segan pemblokiran akan dilakukan. Inilah kebijakan yang akan ditempuh ketika sistem Islam diterapkan dengan menjalankan syariat Islam secara sempurna. Teknologi dan media akan berjalan semata untuk kebaikan masyarakat semuanya. Wallahua'lam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar