Lemahnya Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual, Negara Terbukti Abai


Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi dan Pegiat Dakwah)

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, dikabarkan beberapa pegawai KPI terlibat kasus pelecehan seksual. Tak hanya itu, KPI dinilai tak beretika dengan mengundang seorang aktor yang baru beberapa hari keluar dari penjara. Ia terjerat kasus pelecehan seksual.

Dalam hal ini kemunculan aktor Saiful Jamil di industri pertelevisian menimbulkan pro dan kontra. Kritikan pun terus dilayangkan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ernest Prakasa, ia bersuara melalui Instagram miliknya,  “Mantan narapidana pelecehan seksual di bawah umur disambut bagai pahlawan di televisi. Kemana KPI?” (Minggu, 5/9/2021)

Ia menilai tak ada tindakan tegas dari KPI, yang membuatnya mengeluarkan lontaran sindiran kepada lembaga pertelevisian Indonesia ini (Investing.com, 5 September 2021)

Belum usai terkait protes yang melibatkan aktor Saiful Jamil, KPI pun dihadapkan pada kasus pelecehan seksual dan perundungan yang diduga dilakukan oleh tujuh pegawainya. Kasus ini dialami seorang pegawai KPI pusat. Seorang pria yang mengaku sebagai pegawai pusat KPI  menjadi korban pelecehan selama periode 2011-2020. 

Pengakuannya terekspos lewat siaran tertulis yang diterima sejumlah media nasional di Jakarta. Korban mengaku mengalami trauma dan stres akibat tindakan keji yang dilakukan para pegawai KPI ini. KPI pusat pun menegaskan, pihaknya mendukung kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pelecehan seksual dan perundungan. Hal ini disampaikan Ketua Pusat Agung Suprio. (Republika.co.id, 2 September 2021)

Masyarakat dibuat kecewa dengan sikap KPI yang tidak bertindak terhadap salah satu stasiun televisi yang sengaja mengundang mantan pelaku pelecehan seksual. KPI sebagai lembaga pengawas pertelevisian  yang seharusnya menjaga kualitas tontonan dan moral bagi pemirsa. Justru cenderung abai dan tak peka terhadap perasaan masyarakat. Juga sikapnya yang seakan mendiamkan terkait kasus pelecehan seksual dan perundungan di lembaganya.

Dengan munculnya pemberitaan ini, menjadi bukti bahwa pelaku kekerasan seksual terus bermunculan. Pelakunya tidak hanya dari kalangan rakyat biasa, tindakan tak bermoral ini pun dilakukan oleh mereka yang mempunyai pendidikan tinggi. Bahkan lebih miris lagi keluarnya mantan pelaku pelecehan dari kerangkeng penjara justru diberi penyambutan bak seseorang yang baik dan berjasa. Kejadian ini tentu tidak terlepas dari sanksi yang diterima para pelaku, tiadanya hukuman yang memberi efek jera tentu saja akan menambah kasus baru. 

Ditambah abainya para aparatur negara yang sudah seharusnya menjamin keamanan dan perlindungan baik bagi individu, baik di tempat kerja, dan di tempat lainnya. Sebab kejahatan seksual dapat menimpa siapa saja dan di mana saja, baik perempuan maupun laki-laki.

Maraknya kasus pelecehan seksual dan perundungan, bukan hanya masalah individu yang tidak bisa menjaga diri. Namun hal ini terjadi akibat diterapkannya sistem sekulerisme liberal. Sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan, telah melahirkan manusia-manusia tak berhati nurani. Agama tidak dijadikan sandaran hidup dalam bermasyarakat. Sehingga sangat mudah melakukan pelecehan dan perundungan tanpa rasa takut.

Masalah ini tak akan tuntas meskipun hukum ada dan diberlakukan. Sebanyak apapun UU dibuat itu tidak menjadi solusi yang menyelesaikan, hanya sebatas meredam sesaat dan sekadar tambal sulam saja. Dalam kitab UU, sanksi bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Menurut pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002, bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Serta denda minimal Rp60  juta dan maksimal Rp 300 juta. Dapat kita lihat sanksi bagi pelaku pelecehan seksual dikenakan hukuman penjara 3 sampai 15 tahun. Bukan berarti hukuman ini tak berat, namun apakah sanksi yang diterima pelaku akan memberi efek menjerakan? Sedangkan dari sudut pandang korban, rasa trauma yang ditinggalkan tak akan sembuh dengan mudah. Bahkan akan membekas seumur hidupnya. Apalagi pelaku pun mendapat remisi 30 bulan dari total vonis hakim 8 tahun penjara. Hukuman tersebut merupakan akumulasi atas kasus tindak korupsi dan pencabulan. (Kompas.com, 2 September 2021). Bagaimana akan memberi dampak jika hukuman bagi pelaku tindak kejahatan mendapat remisi yang begitu banyak. Sehingga, sanksi yang saat ini diberlakukan tentu sangat jauh dari menjerakan. Buktinya tindak kejahatan yang sama terus berulang.

Berbeda dengan Islam. Islam bukan hanya agama yang mengatur urusan ibadah semata. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk mengatur kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Dalam Islam, umat akan mendapat pembinaan ruhiyah yang kuat agar terikat pada aturan syariat. Sehingga tak akan ada perbuatan yang menzalimi pihak lain atau berbuat sesuka hati. Sebab umat paham dan takut akan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Bahwa setiap perbuatan manusia akan dihisab, baik dan buruknya di sisi Allah.   

Kemudian adanya tindakan pencegahan perilaku kekerasan seksual. Seperti larangan mendekati zina, berduaan dengan yang bukan mahram, kewajiban menutup aurat sesuai syariat bagi perempuan, memisahkan tempat tidur anak perempuan dan laki-laki, serta aturan lainnya. Islam pun menetapkan penyaluran hasrat seksual dapat dilakukan hanya melalui hubungan pernikahan.

Apabila aturan preventif telah ditetapkan, namun masih saja ada yang melanggarnya, maka sistem sanksi tegas diberlakukan. Sistem sanksi dalam Islam menjadi solusi yang menjerakan. Ancaman bagi perzinaan dan perkosaan, bisa dikenai hukuman mati (rajam). Bagi pelaku pelecehan verbal saja, bisa terkena ta’zir penjara 6 bulan atau hukum cambuk. Inilah sistem sanksi yang akan memutus mata rantai kekerasan seksual dalam kehidupan. Solusi nyata yang melindungi seluruh anggota masyarakat dari tindak kejahatan. Sanksi ini akan dapat terlaksana secara konkret dengan penerapan Islam kafah melalui institusi Islam. Bukan lainnya.

Oleh karenanya, tindak kriminalitas apapun jika disandarkan pada hukum buatan manusia yang didominasi hawa nafsu tak akan mampu terselesaikan hingga tuntas. Ditambah abainya negara yang tak membina rakyat agar menjadi manusia yang takut pada Allah, akan memperparah kondisi di tengah masyarakat.  Maka dari itu, kembali pada syariat Islam sebagai jalan yang benar dalam segala sendi kehidupan. Akan memberantas tindakan kriminal yang merugikan masyarakat. Serta peran aktif negara dalam menerapkan sanksi tegas, yang akan membawa keamanan dan efek yang menjerakan.

Wallahu a’lam bish shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar