Media, Pelaku Kejahatan Seksual, dan Petisi


Oleh: Astriani Lydia, S.S
Kesal, itulah ungkapan yang dilontarkan banyak pihak ketika melihat salah seorang pelaku kejahatan seksual anak yang notabene seorang artis ketika baru saja keluar dari Lapas disambut bak pemenang satu kejuaraan. Media televisi pun berebut menampilkan sosoknya, seolah meminta pengampunan dari masyarakat agar menerima sang artis untuk dapat tampil lagi menghibur masyarakat. Hal ini tentu mendapat reaksi keras dari masyarakat, salah satunya sutradara Angga Sasongko.  Lewat akun twitter pribadinya ia menulis: “Menyikapi hadirnya Saiful Jamil di televisi dengan cara yang tidak menghormati korban, maka kami memberhentikan semua pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dengan stasiun TV terkait karena tidak berbagi nilai yang sama dengan karya kami yang ramah anak,”.  (5/9/2021)

Petisi untuk boikot pun dilayangkan sebagai tanda keberatan masyarakat. Petisi tersebut sejauh ini sudah mendapat lebih dari 300.000 tandatangan. Sebagai bagian dari responnya, Ketua KPI Pusat Agung Suprio meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi terhadap peristiwa dan yang bersangkutan. (Tribunnews.com, 6/9/2021)

Sejatinya KPI pun sedang tersandung kasus serupa. Seorang pria pegawai KPI pusat mengaku mendapat pelecehan seksual oleh tujuh pegawai di kantor KPI pusat selama periode 2011-2020. Pengakuan korban muncul ke publik lewat siaran tertulis yang diterima olah sejumlah media nasional di Jakarta, Rabu (8/9/2021). Dalam pengakuan itu, korban mengaku mengalami trauma dan stres akibat pelecehan seksual dan perundungan yang menjatuhkan martabat dan harga diri korban. Korban menyampaikan ia sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian. Namun, saat melaporkan kasus yang dia alami, polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor. Korban pun melakukan apa yang diminta pihak kepolisian, namun aduannya hanya ditanggapi dengan pemindahan divisi kerja dan pelaku tidak mendapatkan hukuman. Pemindahan tersebut menurut korban tidak menghentikan perundungan dari para pelaku. (Republika.id, 8/9/2021)


Media dan Kejahatan Seksual

Media dipahami sebagai salah satu sarana membangun peradaban. Negara pun menggunakan media untuk menanamkan pemahaman kepada rakyat. Karena saat ini negara menganut sistem sekuler kapitalisme, maka isi media pun secara tidak langsung menanamkan pemahaman yang dianut oleh negara seperti paham kebebasan, baik dalam penyajian berita, berpakaian, konten iklan, hingga hiburan semuanya terpengaruh budaya kapitalisme. Media pun berada dibawah kendali korporasi yang hanya berhitung tentang profit bukan berhitung tentang masa depan generasi. Alhasil siapa pun orangnya, asalkan kehadirannya dapat menarik perhatian dan menaikkan rating, maka media akan terus menampilkan sosoknya. Padahal jika sosok tersebut adalah seseorang yang perilakunya tidak pantas dicontoh, seperti pelaku kejahatan seksual, hal ini sangat berbahaya bagi para generasi muda. Jika mereka menjadikannya idola, bukan tidak mungkin mereka akan mencontoh perilaku orang tersebut dan menganggap perilaku tersebut hal yang lumrah. Padahal hal tersebut adalah sesuatu yang diharamkan. Dan bisa jadi pada akhirnya juga memunculkan sikap permisif dalam masyarakat.


Negara Pelindung dari Kejahatan Seksual
  
Sesungguhnya jika negara menjalankan sistem yang shohih, petisi atau keberatan-keberatan dari masyarakat tentang glorifikasi pelaku kejahatan seksual tidak akan muncul. Sistem yang shohih itu adalah sistem Islam. Islam telah mengatur penetapan hukuman untuk pelaku kejahatan seksual pada anak sesuai perincian fakta perbuatannya. Jika yang dilakukan perbuatan zina, hukumannya adalah untuk pezina, yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan. Jika yang dilakukan adalah sodomi (liwath), hukumannya adalah hukuman mati. Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. Hukum-hukum ini dilakukan secara tegas oleh negara untuk menghilangkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. 
  
Media pun akhirnya menjalankan aktivitasnya sesuai fungsinya yaitu sebagai salah satu sarana pembentuk masyarakat yang beriman dan bertakwa. Untuk itu media hanya akan menayangkan konten bermanfaat dan berisi syiar-syiar Islam. Tidak ada tayangan atau situs-situs  yang mengarah pada perilaku porno yang memicu kejahatan seksual.  
Seperti itulah kejahatan seksual dihilangkan dengan peran negara sebagai pelindung dan penanggung jawab umat yang mewujudkan sistem Islam secara kaffah. Negara menjalankan pengaturan, pengayoman, dan perlindungan terhadap seluruhnya warga negaranya terutama menghentikan para pelaku kekerasan seksual secara tegas.

Wallahu a’lam bishshawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar