Nihil Jaminan Pangan Halal, Wujud Negara Gagal?


Oleh : Ummu Sansan (Komunitas Pena Cendekia)

Makanan halal dan thoyyibah merupakan makanan yang disyariatkan untuk dikonsumsi umat Islam. Sejauh mungkin menghindari yang haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu kondisi antara hidup dan mati. Ironisnya, negeri dengan pemeluk Islam terbesar di dunia ini ternyata memberikan peluang transaksi pangan haram di pasar rakyat.

Dilansir dari m.republika.co.id, 12/9/2021, bahwa terdapat oknum pedagang yang menjual daging anjing di Pasar Senen Blok III, Jakarta Pusat. Kondisi tersebut dibenarkan pihak Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya. Bahkan penjual telah beroperasi selama 6 tahun dengan penjualan minimum per hari sebanyak 4 ekor anjing. Padahal daging anjing tidak termasuk dalam komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Keberadaan lapak tersebut terungkap setelah sebelumnya viral video yang direkam oleh Animal Defenders Indonesia (ADI).

Pelakunya disebutkan telah dijatuhi sanksi administratif berupa teguran dan penutupan lapaknya sementara atau secara permanen. Demikianlah yang disampaikan Gatra Vaganza, Manajer Umum dan Humas Perumda Pasar Jaya, sebagaimana dikutip dari metro.kompas.co, 12/9/2021.

Sejatinya penjualan daging anjing bukan sekali ini terjadi di negeri ini. Di Soloraya bahkan ditemukan sekitar 500 warung yang menjual daging olahan anjing (m.solopos.com, 17/4/2021). Namun tidak semua kepala daerah bersikap sama terhadap perdagangan daging anjing untuk keperluan konsumsi. Ada yang menertibkan, ada pula yang membiarkan. 

Beberapa regulasi telah ditetapkan untuk melarang konsumsi daging anjing ini. Antara lain UU No.18/2012 tentang Pangan. Pada Pasal (1) UU itu menyebutkan bahwa anjing tidak termasuk makanan konsumsi. Selain itu kesejahteraan hewan termasuk anjing diatur dalam Undang-undang No.18 Tahun 2019 juncto No. 41 Tahun 2014. 

Meskipun demikian, banyak yang beralasan mengkonsumsi daging anjing demi kesehatan dan sebagai obat penyembuh demam berdarah atau thypus. Karenanya ada yang menjual dagingnya untuk memenuhi permintaan tersebut. Sebagaimana hukum supply and demand dalam ekonomi. Titik muaranya adalah keuntungan dari sisi materi. Aspek lain diabaikan termasuk sisi kesehatan. Padahal daging anjing yang dijual biasanya anjing liar yang belum mendapat vaksin rabies, sehingga mengkonsumsi dagingnya beresiko tertular rabies bila tidak dimasak dengan matang.

Nampak bahwa penjualan daging anjing bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari sisi materi. Demikian pula pelarangannya bertolak bukan dari aturan syariat. Wajarlah ini terjadi di negeri penganut demokrasi yang menyerahkan kedaulatan pada manusia. Karenanya aturan buatan manusialah yang dijadikan pegangan. Aspek keyakinan masyarakat yang mayoritas muslim diabaikan. Inilah sistem kapitalisme sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. 

Padahal jelas-jelas ada larangan konsumsi anjing dalam syariat Islam. Jumhur ulama menghukumi daging anjing haram untuk dimakan, meski disembelih secara syariat. Alasannya, anjing termasuk dalam binatang bertaring yang keharamannya jelas. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Idris al-Khaulani dari Abi Tha'labah al-Khusyani, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring." (Muttafaq 'Alaih). Juga dalam sebuah hadis dari Uqbah bin Amr RA, dia berkata, "Rasulullah SAW melarang (penggunaan) uang hasil jual beli anjing, uang hasil melacur, dan uang hasil perdukunan." (Muttafaq 'Alaih). Jika jual beli anjing saja dilarang, proses jual beli daging untuk konsumsi turut diharamkan pula.

Ironis bukan, di negeri dengan mayoritas penduduk muslim justru keberadaan lapak penjualan daging anjing, juga warung olahan daging anjing telah ada selama bertahun-tahun. Hal ini menjadi bukti nihilnya jaminan pangan halal dari penguasa negeri. Jelas pangan halal tidak cukup diserahkan pada individu saja. Butuh pengaturan secara sistemik melalui penerapan aturan Islam kaffah agar segala pangan benar-benar terjamin kehalalannya. Wallahua'lam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar