Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Kapan Sejahtera?


Oleh : Dwi Nesa Maulani (Komunitas Pena Cendekia) 

"Terima kasih untukmu yang membuat peraturan ini, atas kebijakannya yang tiada tara. Terima kasih sudah menggores luka di banyak harapan kami. Terima kasih telah melambungkan harapan kami dengan melakukan tes PPPK, lalu kau hempaskan kami dengan standar passing grade yang luar biasa. Salam satu perjuangan. "

Sepenggal curhatan salah satu peserta tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) usia di atas 45 tahun ini sempat viral di media sosial. Sang guru honorer bercerita bahwa dirinya harus menempuh perjalanan dari kampung selama 2 jam dengan mobil. Kemudian menyeberangi laut selama 4 jam. Belum lagi tes swab sebesar Rp 130 ribu harus ditanggung masing-masing peserta. Setiba di lokasi ujian, rasa lelah, sedih, dan kecewa nampak di raut wajah para peserta karena soal yang diujikan sangat sulit. Tak sesuai dengan pekerjaan guru.

Semua duka menjadi guru honorer selama ini tak dirasa. Sang guru tak mempermasalahkan antara beban pekerjaan dengan upah yang tak seberapa. Namun adanya seleksi PPPK membuatnya punya harapan akan ada perbaikan kesejahteraan. Tak disangka harapan itu berujung kekecewaan.

Satu lagi kisah pilu guru honorer yang juga viral. Ia termasuk guru muda. Namun demikian tak lolos seleksi PPPK. Guru SMA tersebut sangat suka mengajar dan peduli dengan pendidikan di Indonesia. Namun karena tak lolos seleksi tahap satu, ia terancam tak bisa mengajar lagi di sekolah tempat ia bekerja saat ini. Padahal ia termasuk guru yang luar biasa. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini adalah seorang aktivis, penulis, dan founder @IDVolunteering.

Di atas adalah kisah-kisah peserta PPPK yang tidak lolos. Baik itu guru yang berpengalaman mengajar puluhan tahun maupun guru muda yang cerdas. Ada lagi cerita guru yang lulus tes tapi nihil kuota PPPK tahun 2019. Ada 621 guru honorer yang dinyatakan lulus seleksi dan berhak mendapatkan pengangkatan sebagai pegawai pemerintah di Kabupaten Pandeglang. Namun yang diangkat dan mendapatkan SK hanya 80 orang. Setelah dikonfirmasi ke Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) setempat, alasan Pemda karena APBD hanya cukup untuk membiayai 80 guru saja.

Melihat berbagai fakta di lapangan tentu berbagai persoalan PPPK bukan karena gurunya yang sudah tua kalah bersaing dengan guru muda. Juga bukan karena guru tidak kompeten. Guru yang sudah lulus pun sebagian tidak jadi diangkat. Lalu salah siapa? 

Semua berawal dari kurangnya visi negara dalam mencerdaskan generasi. Sumber daya manusia unggul dan berkepribadian mulia akan terwujud dengan pendidikan berkualitas. Guru sebagai pendidik generasi memiliki peran yang vital. Mereka adalah mesin yang memproduksi ilmuwan, insinyur, profesor, dokter, hingga pemimpin. Selayaknya jasa mereka dihargai. Bukan sekedar dipuji sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Bukan pula sekedar dibesarkan hati mereka dengan ungkapan "guru adalah profesi yang mendapatkan amal jariyah". Sedangkan upah layak tak mereka terima. 

Negara yang miskin visi pendidikan ini adalah negara kapitalisme. Salah satu cirinya adalah selalu memperhitungkan untung rugi secara materi. Menggaji guru secara adil dan merata tentu bukan hal yang menguntungkan secara materi. Walhasil ada guru PNS dengan gaji manusiawi. Sedangkan sebagian lagi masih berstatus honorer dengan gaji tak manusiawi.

Adanya PPPK bukanlah solusi atas ketimpangan gaji guru. Justru ini akan menutup kemungkinan guru honorer diangkat menjadi PNS. Meskipun guru yang diangkat sebagai PPPK akan mendapat gaji yang sama dengan guru PNS, tetapi mereka tak mendapatkan uang pensiun sebagaimana guru PNS. Belum lagi kapan saja mereka bisa diputus kontraknya. Solusi yang ditawarkan negara ini tentu tidak solutif. Tetap saja ada dikotomi gaji guru. Padahal baik guru honorer maupun PNS, mereka sama-sama mengajar. Mengapa gaji berbeda? 

Semua keluh kesah guru honorer tidaklah sekedar diviralkan dan diratapi saja. Hendaklah semua itu menjadi pemantik agar negeri ini segera berbenah mencari solusi jitu. Sudah cukup pendidikan kita diatur dengan sistem kapitalisme, yang ujung-ujungnya malah menciptakan berbagai masalah pada upah guru, serta tak mampu mencetak output berkualitas dan berkepribadian mulia. 

Lantas bagaimana Islam memberikan solusi? Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan pokok semua warga. Jadi, agar terbentuk generasi unggul dan Islami, negara harus membuat kurikulum yang berbasis akidah Islam. Sehingga siswa memahami bahwa ilmu tidak berdimensi dunia saja, tapi juga berdimensi akhirat. Ilmu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ilmu juga dimanfaatkan untuk membangun peradaban yang tinggi. Ilmu tak boleh digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Swt ataupun merugikan manusia.

Inilah peran strategis guru, tidak sekedar mentransfer ilmu. Guru adalah pembangun peradaban agung. Untuk itu negara harus menghargai jasa guru dengan mensejahterakan mereka dengan memberi upah yang layak. Sejarah mencatat ketika sistem Islam diterapkan guru sangat dihargai. Khalifah Umar bin Khattab pernah menggaji guru per bulan sebesar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas. Inilah bukti nyata hadirnya negara dalam mengatasi problem pengupahan guru.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar