Pandemi Tak Diurusi, Berebut Kursi Lebih Disukai


Oleh : Ummu Sansan (Komunitas Pena Cendekia)

Pesta demokrasi masih tiga tahun lagi. Namun, suasana kontestasi demi kursi sudah terjadi. Merapatnya partai politik untuk berkoalisi dengan pemerintah saat ini adalah salah satu contohnya, seperti yang dilakukan PAN. Disebutkan oleh Pangi Syarwi Chaniago, Analis politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center, bahwa koalisi pemerintah telah mencapai 82%. Tersisa hanya 2 partai politik saja di luar koalisi yaitu PKS dan Demokrat (www.tribunnews.com, 28/8/2021). Akankah dua partai terakhir konsisten sebagai oposisi? 

Sedangkan dalam perjalanannya hanya PKS yang nampak melakukan kritik asal beda dengan pemerintah yang berkuasa sejak 2014. Adapun demokrat lebih memilih bermain aman dengan kritikan halusnya (nasional.sindonews.com, 12/1/2021). Padahal dalam demokrasi wajar terbentuk dua kubu. Koalisi dan oposisi. Posisi keduanya setidaknya berimbang dengan harapan kepemimpinan akan menjadi ideal. Di Indonesia peran oposisi tak sepenuhnya terjadi. Karenanya demokrasi di Indonesia dinilai mundur dan tidak ideal. 

Namun lagi-lagi dalam demokrasi yang asasnya kapitalisme sekularisme ini maka kepentingan-kepentingan yang bermunculan secara individu atau kepartaian tak terelakkan. Jika dirasa berkoalisi lebih menguntungkan dari sisi perolehan kursi maka "menyeberang" dari posisi awal dianggap bukan masalah. Dengan demikian idealisme peran parpol menjadi luntur. Sebaliknya perolehan kursi lebih menjadi prioritas.

Karenanya aroma mencari keuntungan dari perolehan kursi kelak menjadikan alpanya pihak-pihak ini terhadap pandemi yang masih berlangsung. Kesibukan demi kursi lebih mendominasi daripada kesibukan mengurus urusan rakyat. Lantas bagaimana kabar rakyat? Rakyat jelas hanya dilirik untuk mendulang suara menjelang pesta demokrasi. 

Adapun saat pandemi ini, jelas rakyat masih bergulat dalam kesulitan. Baik dalam aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainnya yang terdampak pandemi. Berharap pandemi segera usai, apalah daya tidak ada kekuatan. Alhasil karena asap dapur tak konsisten mengepul maka berbagai cara ditempuh demi bertahan hidup. 

Sebaliknya para parpol justru memanfaatkan situasi yang ada demi berkesempatan mendapatkan jatah kursi. Manuver politik dilakukan. Merapat pada koalisi menjadi pilihan. Idealisme ditinggalkan. 

Inilah tujuan keberadaan parpol dalam demokrasi. Semata demi meraih kekuasaan. Padahal fungsi parpol sejatinya mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Termasuk mengkritisi peran pemerintah ketika tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Sayangnya dengan demokrasi, peran parpol ini tergerus dengan kekuatan kepentingan demi golongan. Jelas tidak ada keberpihakan kepada rakyat. Wajar jika demokrasi masih keukeuh dipertahankan karena dianggap sistem terbaik. Justru sistem ini seharusnya dicampakkan. Keberadaannya hanya berpihak pada segelintir golongan saja dan tidak berpihak pada rakyat.

Selain itu fungsi parpol seharusnya memberikan edukasi politik pada rakyat. Realitanya jauh panggang dari api. Rakyat justru dibodohi alih-alih diedukasi. Janji-janji kampanye dan pendulangan suara pada rakyat serta bergemingnya rakyat dengan segala kebijakan yang ada menjadi bukti edukasi tidak pernah terjadi.

Kondisi ini sungguh miris. Pandemi belum jua usai. Para elit politik justru sibuk memikirkan kepentingannya masing-masing. Lagi-lagi rakyat berjuang sendiri demi bertahan hidup. Inilah dampak sistem demokrasi yang berasaskan kapitalisme sekularisme. Hanyalah kemanfaatan dan keuntungan materi yang dicari.

Sungguh berbeda dengan sistem Islam, muara dari semua aktivitas yang dilakukan adalah demi meraih ridlo Allah SWT. Karenanya keberadaan parpol dalam Islam bukanlah mencari kekuasaan melainkan mengkritisi kebijakan pemerintah agar tetap berada di rel syariat. Edukasi pada rakyat dilakukan agar melek politik. Semuanya semata demi tegaknya syariat Islam di muka bumi yang pasti akan membawa kemaslahatan dan menjadi rahmatan lil alamin. Wallahua'lam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar