Putus Kuliah Karena Pandemi, Rindu Negara sebagai Junnah


Oleh : Ummu Sansan (Komunitas Pena Cendekia)

Pandemi tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan saja. Aspek lain dalam kehidupan juga merasakan dampaknya. Ekonomi misalnya. Banyak usaha yang harus gulung tikar, pekerja yang diputus hubungan kerja, pendapatan yang menurun dan sebagainya. Semakin sulitnya nafkah didapat akhirnya berdampak juga pada biaya pendidikan.

Ya, aspek pendidikan pun terdampak pandemi. Tidak hanya pembelajaran yang sulit dipahami oleh siswa karena secara daring, tapi minimnya sarana prasarana yang mendukung pembelajaran seperti paket data, gawai, dan sebagainya. Di sisi lain pembelajaran tatap maya tetap dianggap terjadi proses belajar mengajar. Karenanya uang sekolah otomatis harus dibayar. Disinilah banyak mahasiswa yang berguguran karena tak mampu membayar UKT (Uang kuliah tunggal) dan biaya-biaya lainnya.

Kepala Lembaga Beasiswa Baznas, Sri Nurhidayah memyampaikan informasi tentang angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang sepanjang tahun lalu. Data ini dikutip dari Kemendikbudristek dan disampaikan Sri dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (www.jawapos.com, 16/8/2021).

Di sisi lain, pemerintah akan memberikan bantuan UKT untuk mahasiswa. Bantuan ini akan mulai disalurkan pada September 2021 dengan total anggaran sebesar Rp 745 miliar (nasional.kontan.co.id, 18/8/2021). Selain itu juga ada bantuan kuota data internet bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen. 

Apa yang dilakukan pemerintah nampak sebagai angin segar dan solusi bagi mereka yang terancam putus kuliah. Namun benarkah solusi itu benar-benar menuntaskan persoalan pendidikan yang terdampak pandemi?

Sejatinya pendidikan merupakan hak bagi semua rakyat. Tugas negaralah untuk mencukupi kebutuhan pendidikan ini dengan pemenuhan yang optimal. Baik dari segi biaya, sarana dan prasarana yang mendukung, tenaga pendidik, dan sebagainya. Hal ini mengingat betapa pentingnya pendidikan bagi keberlangsungan generasi dan peradaban.
Dalam sistem Islam yang disebut khilafah, maka aspek pendidikan sangat diperhatikan. 

Di masa Khalifah Al-Hakam II pada 965 M, terdapat 80 sekolah umum Cordoba dan 27 sekolah khusus anak-anak miskin. Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim. Semua kelas sosial bisa menjangkau pendidikan dan negaralah yang membayar para gurunya.

Biaya pendidikan juga ditanggung negara. Didapatkan dari pengelolaan harta kepemilikan umum seperti barang tambang ataupun sumber daya alam. Negara mengelolanya dan keuntungannya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, antara lain dalam persoalan pendidikan. Karenanya para pendidik akan fokus mengajarkan dan mendidik anak didik. Sebaliknya anak didik akan fokus belajar demi mendapatkan ilmu. Tak heran jika dari sistem pendidikan yang demikian muncullah ilmuwan dari kalangan muslim. Merekalah peletak dasar keilmuan saat ini. 

Jelas kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang menganut sistem kapitalisme sekularisme. Kekayaan alam "dijual" pada asing ataupun swasta. Alhasil negara tidak mendapatkan apa-apa ataupun keuntungan yang sedikit, tak sebanding dengan kekayaan yang didapat oleh asing yang mengeruk kekayaan alam negeri ini. Ibaratnya melarat di negeri yang kaya. Wajar jika negara sangat minim pendapatannya sehingga tak mampu menanggung biaya pendidikan rakyatnya.

Di sisi lain, kurikulum dibuat justru untuk menghasilkan lulusan "pekerja/buruh" untuk siap terjun di bidang industri saat kelak lulus sekolah. Keilmuan yang minim. Belum lagi biaya pendidikan yang tinggi. Maka tak heran jika output pendidikan jauh dari harapan. Itulah hasil dari sistem yang dianut yaitu kapitalisme sekularisme. Akankah kita mempertahankan sistem ini dengan output yang jauh dari harapan? Saatnya mencetak generasi cerdas dengan sistem pendidikan islam yang biayanya sepenuhnya ditanggung negara. Karena negara menjalankan fungsinya sebagai junnah (pelindung). 

Wallahua'lam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar