Demokrasi Tidak Tegas! Daging Haram Dijual Bebas


Oleh : Hanifah Afriani

Lagi dan lagi, penjualan daging haram dijual bebas di pasaran. Ditemukan satu lapak di Pasar Senen Jakarta Pusat penjualan daging Anjing yang sudah beroperasi lebih dari 6 tahun. Berita tersebut viral setelah ADI (Animal Defenders Indonesia) mengupload sebuah video yang mempraktikan penjualan daging Anjing di Pasar Senen Jakarta Pusat melalui instagramnya @animaldefendersindo Jumat, 10/09/2021.

Pihak Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya membenarkan adanya oknum pedagang yang menjual daging Anjing di Pasar Senen Blok III, Jakarta Pusat. “Kami dapat memberikan klarifikasi bahwa benar adanya pedagang dari Perumda Pasar Jaya yang melakukan penjualan daging Anjing tersebut di Pasar Senen Blok III," kata Manajer Umum dan Humas Perumda Pasar Jaya Gatra Vaganza saat dikonfirmasi di Jakarta, Ahad (12/9).  Gatra menjelaskan, penjualan daging Anjing tersebut tidak sesuai dengan peraturan Perumda Pasar Jaya. Dalam peraturan tersebut, daging Anjing tidak termasuk dalam komoditas yang dapat diperjualbelikan di jaringan pasar milik Pemprov DKI Jakarta tersebut. (Republika.co.id, 12/09/2021).

Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad  menanggapi penjualan daging Anjing di salah satu pasar di DKI Jakarta yang mulai meresahkan masyarakat. Menurutnya, jual beli hewan untuk dikonsumsi harus memenuhi unsur keselamatan, kehalalan dan kesehatan. Terkait jual beli daging Anjing, ia menilai berpotensi merugikan kesehatan konsumen. Salah satunya memungkinkan adanya penularan penyakit rabies. (rri.co.id, 10/09/2021)

Menurutnya juga, negara wajib hadir untuk menjamin kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen yang menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. 
"Negara harus memberikan sanksi berupa penutupan dan penarikan produk tersebut di pasaran dan memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa daging Anjing tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama UU Pangan, yang mengamanatkan bahwa pelaku usaha harus menjamin bahwa barang yang dijual harus memenuhi unsur halal dan tidak melanggar norma agama yang berlaku. (rri.co.id, 10/09/2021)

Kasus tersebut baru ditangani ketika sudah merebak dan merugikan masyarakat atas penjualan daging Anjing dengan bebas. Padahal, penjualan daging Anjing tersebut sudah berlangsung lebih dari  6 tahun, bahkan per harinya bisa terjual sampai 4 ekor Anjing. Pemerintah baru bertindak setelah terjadi, seolah hanya menjadi pemadam kebakaran. 


Hukum Hasil Demokrasi Gagal Menjamin Pangan Halal

Kasus jual beli makanan atau daging haram bukan pertama kalinya terjadi, sebelumnya pernah terjadi penjualan daging Babi Celeng dijual secara bebas, seperti yang terjadi di Lampung. 

Polisi menangkap tiga penjual daging babi celeng di Lampung, Sumatera Selatan. Hal itu terungkap setelah salah satu pembeli melapor ke polisi. “Warga itu memesan daging sapi, tetapi yang dikirim adalah daging babi,” kata Kasat Reskrim Polres Lampung Timur, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Faria Arista saat dihubungi,  Rabu (21/4/2021). (Kompas.com, 21/04/2021)

Hal seperti di atas hanya salah satu contoh kasus yang ada, mungkin ada banyak kasus lainnya yang telah terjadi penjualan daging haram yang bertebaran di pasaran. 
Padahal di Indonesia terdapat undang-undang yang mengatur terkait Jaminan halal dan Lembaga perlindungan konsumen. 

UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Produk Jaminan Halal, jaminan mengenai produk halal dilakukan sesuai dengan asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektifitas dan efisiensi, serta profesionalitas.

UU Nomor  8 Tahun 1999 Pasal 7 huruf (d) tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 

Lantas, kenapa penjualan daging haram seolah tidak ada matinya dan terus terjadi? Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur tentang Produk Jaminan Halal dan Perlindungan Konsumen. Kita bisa melihat hukum di negara ini yang memakai sistem demokrasi kapitalis, yang sekiranya itu menguntungan maka diambil celahnya, bukan lagi asas halal haram. Akan tetapi, asas menguntungkan atau tidak. Berpotensi jadi materi atau tidak. Sistem sekuler kapitalis pun memisahkan antara agama dan kehidupan. Maka tidak heran, hal semacam ini akan terjadi, karena bukan sistem Islam yang diterapkan.

Undang-undang Jaminan Halal dan Lembaga Perlindungan Konsumen tidak bisa menjadi panglima penjamin pangan halal di masyarakat. Disini jelas bahwa hukum hasil demokrasi gagal menjamin pangan halal untuk masyarakat.


Islam Mengatur Makanan Halal dan Haram

Dalam hukum Islam perihal halal haram bukan perkara main-main, seperti makanan yang dikonsumsi umat muslim tidak lepas dari perkara halal dan haram yang diatur dalam syariat Islam. Mana makanan yang boleh dimakan yang halal dan thoyyib, mana makanan yang harus dijauhi atau diharamkan oleh Allah SWT. 

Seperti Firman Allah SWT. dalam Surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya "Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al Baqarah: 168).

Dalil lain terkait tentang makanan yang diharamkan oleh Allah SWT.  juga terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 3 yang artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik…...”. (QS. Al-Maidah: 3).

Terdapat juga hadits Nabi SAW. Tentang pelarangan memakan daging Anjing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Idris al-Khaulani dari Abi Tsa'labah al-Khusyani, "Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring." (Muttafaq 'Alaih)

Dalam hadis lain, dari Ubaidah bin Sufyan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, "Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram." (HR Ibnu Majah)

Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Disini jelas bahwa daging Anjing haram dikonsumsi untuk umat Islam. 

Ketika Islam tidak ditegakkan tidak ada penjagaan akidah terhadap umat Islam. Bagaimana umat Islam dibiarkan oleh negara untuk memilihnya sendiri. Ketika khilafah tegak, orang yang melakukan penjualan barang haram maka ini akan ditindak tegas, tidak akan dibiarkan, karena berkaitan dengan hukum syara, kemaslahatan umat Islam. Negara Islam akan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku penjualnya. Perihal haram dan halal ini merupakan persoalan yang sangat penting untuk diurusi. 

Begitu juga terkait makanan halal dan haram, negara khilafah akan mengedukasi warganya terkait ini, hukum syara pun akan ditegakkan. Al-Quran dan sunnah sebagai pedoman. Karena dalam Islam hukum memakan makanan yang halal adalah wajib, semua yang dimakan umat muslim harus halal.

Kesejahteran warga negara khilafah juga akan dijamin dan diperhatikan oleh khilafah. Khilafah pun akan mengontrol pasar sehingga tidak ada praktik curang dalam bermuamalah, juga mencegah pedagang menjual barang haram pada kaum muslim.

Terkait orang kafir yang menjadi warga negara khilafah berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik. Islam membolehkan mereka memakan daging babi dan meminum khamar dan menjalankan aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat. Selama mereka melakukan hal tersebut dalam ranah kehidupan pribadi dan tidak dilakukan ditempat umum negara khilafah tidak berhak untuk mengusik masalah-masalah mereka.

Hanya Islam solusi paripurna mengatur seluruh kehidupan. Tidak hanya perihal ibadah yang diatur, akan tetapi menyeluruh seluruh aspek kehidupan. Semoga negara khilafah segera kembali tegak di muka bumi ini. Aamiin Yaa Rabbal’aalamiin.

Wallahu’alam bi shawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar