LGBT, Haruskah Diapresiasi atau Diedukasi?


Oleh: Siti Aminah, S. Pd (Pemerhati Sosial Media Lainea Sulawesi Tenggara)

Indonesia adalah sebuah negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Namun, sangat disayangkan menjadi negeri mayoritas tetapi minim aturan agama. Malah lebih condong pada aturan manusia ketimbang aturan agama. Dengan dasar hak asasi transgender mencari sensasi. Tidak tanggung-tanggung kontes kecantikan transgender pun diadakan di negeri ini.

Seperti yang dilansir oleh (Terkini.id, 2/10/2021) Millen Cyrus terpilih menjadi Miss Queen Indonesia 2021. Miss Queen Indonesia 2021 merupakan kontes kecantikan bagi para transgender yang diselenggarakan di Bali. Terpilihnya Millen Cyrus, ia kemudian berhak ikut Miss Internasional Queen 2021 di Thailand.

Jika Miss Queen diadakan di negeri yang tidak memiliki agama, itu adalah sesuatu yang wajar atau lumrah. Namun, jika diadakan di negeri dimana negeri itu adalah negeri mayoritas muslim, perlu dipertanyakan agamanya. Karena jelas transgender sesuatu yang dilaknat dalam agama. Lalu mengapa semua ini terjadi di negeri muslim terbesar dunia? Bukankah nantinya dengan adanya kontes waria atau transgender bisa memberikan peluang atau membiarkan kemaksiatan di negeri ini? Kemana peran negara untuk menjaga moral dari warganya? 

Adanya kontes Miss Queen di Indonesia menunjukkan betapa amburadulnya tatanan kehidupan masyarakat yang diatur dengan aturan manusia. Aturan manusia hanya fokus memperhatikan hak asasi sementara penyimpangan moral menghancurkan generasi secara terang-terangan di depan mata.

Sistem kapitalisme sekularlah yang menjadikan manusia bebas berbuat semaunya dan tidak terkendali. Negara tidak hadir untuk menyelesaikan persoalan ini. Seakan perbuatan menyimpang dibiarkan terjadi di depan mata. Bahkan diberikan panggung dan diapresiasi. Padahal perbuatan seperti ini adalah perbuatan terlaknat yang harus diedukasi kepada masyarakat dan generasi karena bisa memusnahkan eksistensi manusia. Perbuatan seperti itu pulalah yang mendatangkan mudharat dan mestinya bagi pelaku diberi sanksi tegas agar tidak melakukan hal yang sama.

Akan tetapi, jika berpatokan pada hak asasi mustahil penyimpangan moral dituntaskan sampai ke akarnya. Sehingga, bibit-bibit baru akan senantiasa tumbuh dan tidak terkendali. 

Semua ini tentu tidak lepas dari sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Baik muslim ataupun non muslim tidak bersandar pada agama yang dianutnya. Namun, bersandar pada hak asasi dan kebebasan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa sistem yang diterapkan saat ini bertentangan dengan fitrah manusia. 

Sedangkan Islam datang sesuai dengan fitrah manusia dan sesuai akal. Karena jelas Islam datang dari yang mengetahui manusia. Maka, aturan yang diterapkan pun pasti baik untuk eksistensi manusia dan tidak memberikan mudharat.

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) merupakan perbuatan terlaknat dan menyimpang. Tidak boleh ada dan harus dihentikan keberadaanya. Bukan malah diapresiasi dan diberikan panggung atau bahkan difasilitasi. 

Boleh jadi datangnya berbagai musibah atau wabah di negeri ini salah satu faktor yang mempengaruhi adalah adanya LGBT. Apalagi keberadaan dianggap biasa saja atau sesuatu yang lumrah dan tidak ada rasa marah di dalam diri seorang muslim.

Karena jelas dalam Al Qur'an dan hadits Rasulullah SAW melaknat perbuatan seperti kaum Luth atau wanita yang menyerupai laki-laki atau sebaliknya. Sebagaimana Rasulullah SAW dalam haditsnya: 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki (HR. Imam Bukhori)

Maka, akan terjaga fitrah manusia sesuai tujuan diciptakannya yaitu melangsungkan eksistensi manusia, ketika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan. Penyimpangan moral dibutuhkan sebuah negara yang perduli dengan warganya dan dibutuhkan pemimpin yang tegas untuk menerapkan peraturan. Sehingga sistem Islam wajib hadir untuk menyelesaikan segala persoalan hidup. Karena hanya sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Jadi, akan terwujud semua itu hanya dalam bingkai khilafah. Walla a'lam bi Al-Shabab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar