Oleh : Fadhiilah
Selama masa pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini, penggunaan masyarakat terhadap media komunikasi internet semakin meningkat. Kebutuhan work from home, pendidikan, bahkan sampai urusan belanja kebutuhan rumah pun semua serba online. Tidak dipungkiri, hal ini berdampak pada pengguna internet terpapar konten negatif.
Demikian disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, dalam World Economic Forum (WEF) Global Coalition on Digital Safety Inaugural Meeting 2021. Politikus Nasdem itu menyampaikan marak konten negatif yang menyesatkan selama pandemi.
“Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir dua tahun, telah memunculkan seluruh aktivitas manusia bermigrasi. Dari interaksi secara fisik menjadi media komunikasi daring. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konten negatif di ruang digital," kata Johnny, dalam keterangannya yang dikutip pada Sabtu, 18 September 2021.
Dilansir siaran pers di laman Kominfo, Minggu (19/9/2021), hingga September 2021, Menkominfo menyebut mereka telah menghapus 24.531 konten negatif. Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19.
Maka dari itu, Menkominfo mengatakan, semua negara harus "berkolaborasi secara erat untuk mengatasi dan memerangi pelecehan, eksploitasi anak secara online, pornografi anak, konten kekerasan, radikalisme, terorisme, serta infodemi terkait Covid-19 dan vaksinnya." (liputan6.com, 19/09/2021).
Edukasi Tidak Berbasis Taqwa
Beredar luasnya hoaks dan misinformasi yang terjadi di tengah masyarakat hari ini, tidak lepas dari tanggung jawab negara dalam mengelola informasi, juga rendahnya literasi masyarakat, sehingga meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengedukasi masyarakat, tetap saja informasi hoaks mendera tiada henti.
Terlebih di era digital seperti saat ini, era di mana referensi informasi masyarakat kian beragam. Diperparah dengan rendahnya filterisasi informasi, berita hoaks dengan sumber yang tak kredibel begitu mudahnya menyelinap di benak masyarakat. Saat ini, edukasi dilakukan, masalah masyarakat mau mengikuti atau tidak jadi urusan belakangan.
Ketidak Tegasan Larangan Penyebaran Konten Negatif
Kini, media secara umum dikuasai para kapitalis. Jadi tidak mengherankan kalau isinya sesuai dengan paham kebebasan, baik dalam menyajikan berita, berpakaian, konten iklan, hingga hiburan. Semuanya terpengaruh dengan budaya kapitalisme.
Meski demikian, di negeri ini masih ada tayangan yang bernuansa islami meski jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Itu pun karena kapitalisme sendiri memang membolehkannya. Mabda yang menganggap semua agama benar tidak akan melarang agama apa pun melakukan penayangan acara rohani.
Hanya saja, hal itu tak berlaku bagi Islam. Acara keislaman yang ditayangkan tentu dipilah-pilah. Hanya acara keagamaan yang mengandung siraman rohani dengan zikir dan selawat yang ditayangkan. Ditambah hafiz Quran dan film-film islami. Tak ada muatan lainnya.
Jadi, rakyat hanya akan memahami Islam sebatas agama ritual yang tak ada kaitannya dengan kehidupan. Kapitalisme telah menjadikan media menyampaikan kebebasan beragama, bertingkah laku, hingga berpikir.
Berbagai tontonan yang membuka aurat, berpegangan tangan nonmahram, berpacaran hingga aktivitas terlarang seperti LGBT, telah memengaruhi masyarakat. Membuat masyarakat hidup dari kebiasaan media. Contohnya, maraknya film perselingkuhan, munculnya tokoh antagonis, hingga remaja yang borjuis membuat masyarakat juga mengikuti hal itu.
Dari sisi pembentukan opini umum, media akan menyiarkan sesuai dengan keinginan pemiliknya. Jika pro pemerintah, akan menampilkan tayangan dan berita yang meningkatkan elektabilitas pemerintah. Namun, jika ternyata media itu dimiliki kelompok oposisi, akan dipakai untuk menyerang kebijakan pemerintah.
Inilah kegagalan media siar dalam tata kelola negara sekuler kapitalisme. Mereka kehilangan visi sebagai medium dalam mengajarkan nilai-nilai luhur. Media hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun profit yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa petaka. Jika dapat menghantarkan cuan, konten tak bermutu pun menjadi andalan. Akibat media di bawah kendali korporasi, pemerintah seperti tak memiliki andil menentukan mana yang boleh tayang dan mana yang tidak.
Tidak Adanya Definisi Baku Terhadap Makna Konten Negatif
Ambigunya makna opini negatif di media, menimbulkan pertanyaan, benarkah radikal itu negatif? Bagaimana dengan pornografi? Bagaimana dengan liberalisme agama? Sekulerisme politik? Ekonomi neolib? Apakah itu semua positif bagi bangsa ini?
Media dalam sistem kehidupan hari ini juga sudah nyaris melupakan fungsi utama sebagai penjaga dan pendidik masyarakat agar nalar sehat dan moral kebaikan senantiasa hadir di tengah-tengah mereka. Media, bahkan menjadi alat penyebar hoax, penyebar fitnah sekaligus penebar racun pemikiran dan budaya yang merusak moral dan pemikiran masyarakat, khususnya generasi muda.
Akibatnya, tolok ukur kebenaran dan kebaikan pun makin pudar di tengah masyarakat. Benar dan salah terbalik-balik. Halal haram terkikis oleh diksi dan narasi soal kebebasan serta oleh berbagai produk paham permisivisme yang terus diaruskan oleh media. Wajar jika bencana moralpun tak bisa dihindarkan tersebab disfungsi peran media.
Gagasan yang membolehkan seseorang secara paksa mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara universal, disebut sebagai tindakan pencurian yang memang ilegal.
Gagasan yang membenarkan superioritas seseorang murni semata berdasarkan profil DNA, diakui secara universal sebagai rasisme. Gagasan yang memberikan hak asasi manusia secara berbeda berdasarkan faktor etnis, ekonomi, atau geografis, secara universal dipahami sebagai ketidakadilan/kezaliman.
Membunuh, menangkap, menculik, dan menyiksa anak-anak, secara universal dipahami sebagai kejahatan tingkat tertinggi. Bertindak di luar batas-batas hukum internasional, dipahami sebagai tindakan perang dan terorisme.
Namun, semua hal di atas dibenarkan secara linguistik dengan penggunaan bahasa yang mencuci otak orang, sehingga menerima hal yang sebenarnya tidak dapat diterima dengan cara mengindikasikan pembenaran.
Terorisme dianggap meresahkan masyarakat, namun pada saat yang sama liberalisasi agama, sekulerisasi politik, tidak menjadi urusan yang membahayakan masyarakat. Alih-alih fokus memberantas pornografi, pemerintah justru terus menumbuh suburkan hak kebebasan individu. Kebebasan yang mereka promosikan sejatinya adalah aturan Barat mengenai tata cara bertingkah laku, bukan semata kebebasan. Lihat saja bagaimana Barat menstigma pakaian muslimah yang serba tertutup sebagai “pengekang hak kebebasan pada perempuan”. Namun pada saat yang sama, perempuan dengan pakaian serba terbuka diapresiasi bahwa ini adalah bentuk kebebasan.
Lihat juga bagaimana Barat menstigma poligami sebagai wujud patriarki, tetapi pada saat yang sama menganggap free sex, childfree, eljibiti, adalah kebebasan yang membahagiakan. Beginilah cara kerja mesin propaganda Barat dalam mencederai syariat Islam, agar kaum muslim tertipu dan menganggap agamanya memiliki aturan yang buruk sehingga harus direvisi. Dari sinilah lahir Islam liberal atau Islam moderat yang ajarannya mengikuti Barat dan memotong-motong syariat menjadi sesuai keinginan Barat.
Peran Media Dalam Sistem Islam
Dalam Islam, media memegang peranan yang sangat penting dalam menanamkan dan menjaga pemahaman dan syariat Islam baik di dalam maupun luar negeri. Media ada di bawah kontrol penuh pemerintah (berada di dalam Departemen Penerangan). Pemerintah akan melarang keberadaan media yang berhaluan selain ideologi Islam.
Di dalam negeri, media berfungsi untuk membangun masyarakat yang kukuh, yaitu masyarakat yang beriman dan bertakwa. Media akan senantiasa menayangkan acara-acara yang dapat menjaga jawil iman dalam masyarakat. Media pun memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negara.
Sedangkan fungsi media di luar negeri adalah untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Maka, media adalah alat propaganda dakwah dan jihad, untuk memudahkan upaya menggabungkan negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari Khilafah Islamiah.
Lembaga ini langsung bertanggungjawab kepada khalifah, karena fungsi pentingnya itu. Dalam fungsinya sebagai alat propaganda dakwah dan jihad, hal ini berkaitan dengan informasi penting yang terkait dengan militer dan yang terkait dengannya, semisal mobilisasi tentara, perundingan, aktivitas intelejen, dan sejenisnya yang tentunya menjadi kewenangan pemimpin untuk menyiarkan atau tidak informasi tersebut.
Adapun informasi selain hal tersebut, seperti informasi keseharian, program atau acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang peristiwa dunia, juga mendapatkan arahan dan kontrol dari negara. Sebab semua informasi tersebut mempunyai kaitan erat dengan ideologi dan sikap negara terhadap hubungan internasional. Negara akan mengeluarkan undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi yang mendukung pengokohan masyarakat Islam yang kuat memegang syari’ah Islam sehingga melahirkan banyak kebaikan dari dan di dalam masyarakat.
Di tengah masyarakat Islam tidak ada tempat bagi penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif. Karena baik negara maupun warga negara terikat dengan pemahaman hukum syara’ yang melarang penyiaran berita bohong, propaganda negatif, fitnah, penghinaan, pemikiran porno dan a-moral, dan sebagainya. Sehingga media menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat.
Oleh karena itu, jika kita menginginkan media berhenti menciptakan konten negatif, urgen kiranya menjadikan media berhaluan Islam, yang mana kendali agar media senantiasa menayangkan konten bermanfaat dan syiar Islam hanya ada pada negara. Sementara, negara bersistem sekuler kapitalisme justru akan terus menyuburkan konten negatif kepada masyarakat.
Maka, mari kita berusaha mewujudkan negara yang memiliki kendali penuh atas media dan senantiasa menjadikan media sebagai wasilah dakwah dalam membangun suasana keimanan pada Allah Swt., dengan terlebih dulu merealisasikan adanya Khilafah Islamiah. Allahu Akbar!
Wallahu A’lam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar