Miss Queen: Negara Minim Proteksi, Suburkan Kemaksiatan


Oleh : Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Kaum pelangi tampaknya tak mudah menyerah untuk terus mengeksiskan diri. Setelah tahun 2018 kontes LGBT batal digelar karena ditolak masyarakat Bali (republika.co.id, 10/10/2018), akhirnya pada tahun 2021 mereka sukses menggelar kontes ini di Pulau yang sama. 

Di ajang ini, Millen Cyrus dinobatkan sebagai juaranyanya. Ia seorang transgender berusia 22 tahun. Karena kemenangannya ini, Millen Cyrus akan membawa nama Indonesia ke kancah Miss Queen International 2022 tahun depan di Thailand. Millen Cyrus mengalahkan tujuh belas kontestan di Miss Queen Indonesia 2021. Ia berhasil menjadi juara berkat usahanya dan pesan yang akan dibawa ke masyarakat. Sesuai dengan apa yang disampaikannya di acara tersebut (celebrity.okezone.com, 1/10/2021). 

Jawabannya pada sesi final question tiga besar sepertinya sangat mengena di hati para juri. "Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memanusiakan manusia," ujar Millen Cyrus. Ia berharap masyarakat Indonesia ke depannya bisa lebih menghargai perbedaan khususnya bagi Transpuan (baca: transgender).

Suksesnya acara kontes LGBT tersebut tentu sangat membuat miris terutama kaum muslimin di negeri ini. Kita ketahui bahwa aktivitas LGBT merupakan dosa besar. Sayang sekali, kampanyenya yang gencar membuat aktivitas ini semakin diterima dan ditolerir oleh masyarakat.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Utang Ranuwijaya angkat bicara terkait acara Miss Queen Indonesia yang merupakan ajang untuk para transgender. Menurutnya, ajang-ajang tersebut mestinya tidak boleh diadakan di Indonesia karena negara ini berasaskan Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, sesuai sila pertama, yaitu ketuhanan yang Maha-Esa (republika.co.id, 3/10/2021).

Gencarnya kampanye LGBT tidak terlepas dari program liberalisasi di dunia Islam. Ide ini lahir dari akidah Ideologi Kapitalisme yakni sekularisme (baca: memisahkan agama dari kehidupan). Menurut kaum liberal, menjadi lesbian, gay, biseks maupun transgender adalah sebuah pilihan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kalau pun kemudian muncul masalah, maka itu dianggap karena kurangnya pengaturan baik dari masyarakat maupun negara, bukan karena salahnya pilihan mereka.

Ini jelas pandangan yang salah. LGBT bukan pilihan bagi orang normal, tapi pilihan bagi orang abnormal. LGBT adalah sebuah penyimpangan dari fitrah manusia. 
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa masalah LGBT adalah masalah yang bersifat sistemis karena menyangkut banyak faktor yang saling terkait satu sama lain. Untuk menghentikan semakin meluasnya kerusakan ini, negara perlu mengganti ideologi kapitalisme yang selama ini diadopsinya. Termasuk di dalamnya ide kebebasan (liberalisme). Sebab, LGBT adalah buah liberalisme yang dihasilkan oleh ideologi Kapitalisme. Selama ideologi kapitalisme masih dipakai dalam sistem kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, mustahil masalah LGBT ini dapat diselesaikan.

Dalam pandangan Islam, perilaku LGBT adalah haram. Pelakunya dilaknat dan layak mendapat sanksi sesuai syariat Islam.  Rasul saw. bersabda, “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual).” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Al Qur’an juga menyebutkan perilaku homoseksual yang dipresentasikan kaum Nabi Luth ‘alaihissalam di beberapa ayat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini kaum yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf ayat 81).

Pakar ilmu tafsir, Al-Baghawi rahimahullah, menjelaskan makna “musyrifiin (melampaui batas)” dalam ayat ini, “Melampui batasan yang halal (beralih) kepada perkara yang haram.” (Tafsir Al-Baghawi)

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Melampui batasan yang telah Allah tetapkan lagi berani melanggar larangan-Nya yang haram dikerjakan.” (Tafsir As-Sa’di)

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kriminal itu.” [Al-A’raaf: 80].

Dalam ayat di atas, Allah SWT sebut kaum Nabi Luth ‘alaihis salam yang melakukan perbuatan sodomi tersebut dengan sebutan “para pelaku kriminal”! Dengan demikian, mereka ini sesungguhnya layak untuk disebut “penjahat seksual” karena telah melakukan kejahatan (kriminal) dalam menyalurkan hasrat seksual mereka di tempat yang terlarang.

Dikutip dari MuslimahNews.com (7/7/2020), di dalam Kitab Fiqh Sunnah jilid 9, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para Ulama fiqh telah sepakat atas keharaman homoseksual dan penghukuman terhadap pelakunya dengan hukuman berat. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan. Dalam hal ini dijumpai tiga pendapat. 1. Pelakunya harus dibunuh secara mutlak. 2. Pelaku dikenai had zina. 3. Pelaku diberikan sanksi berat lainnya.

Pendapat yang pertama, berdasarkan pada pendapat para shahabat Rasulullah Saw, Nashir, Qashim bin Ibrahim dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat). Pelaku harus dibunuh berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath (sebagaimana yang dilakukan kaum Luth), maka bunuhlah kedua pasangan liwath tersebut”(HR Al Khamsah kecual Nasa’i). Liwath atau sodomi, yaitu senggama melalui dubur atau anus.

Para shahabat Rasulullah saw berbeda pendapat tentang cara membunuh pelakunya. Menurut Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, pelakunya harus dibunuh dengan pedang. Setelah itu dibakar dengan api, mengingat besarnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa pelakunya dijatuhi benda benda keras sampai mati. Ibnu Abbas berpendapat bahwa pelakunya dijatuhkan dari atas bangunan paling tinggi. Al Baghawi menceritakan dari Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishak, mengatakan pelakunya harus dirajam. Hukum serupa juga diceritakan oleh Tirmidzi dari Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishak (Sayyid Sabiq, Fqih Sunnah jilid 9).

Sedangkan pendapat kedua, menurut Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) mengatakan bahwa pelakunya dikenai had sebagaimana had zina. Jika pelakunya masih perjaka maka dikenai had dera dan dibuang. Sedangkan jika pelakunya sudah menikah maka dijatuhi hukum rajam.

Dan terakhir, pendapat ke tiga, pelakunya mendapat sanksi berat, tapi tidak seperti zina karena perbuatan tersebut bukanlah hakekat zina. Disampaikan oleh Abu Hanifah, Muayyad, Billah, Murtadha dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) (Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah jilid 9)

Dengan hukuman (sanksi) yang demikian berat kepada para pelaku liwath, maka akan membuat siapapun berpikir berkali-kali untuk melakukan hal tersebut.

Di samping Negara yang berperan besar dalam pemberantasan LGBT, Islam juga menetapkan tugas kepada kaum muslimin secara umum untuk menjalankan syariat Islam di keluarganya masing-masing. Para orang tua harus terus berusaha membentengi anak anak mereka dari perilaku LGBT dengan penanaman akidah dan pembelajaran syariat Islam di keluarga.

Islam juga memerintahkan kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam pemberantasan LGBT ini dengan cara ikut terlibat secara aktif dalam dakwah, melakukan amar makruf nahi munkar ke masyarakat yang ada di sekitarnya agar taat kepada perintah juga larangan Allah dan Rasul-Nya. Ketika ada kemunkaran (pelanggaran hukum syariat) oleh para pelaku LGBT ini, maka semua anggota masyarakat harus berusaha mencegah, mengingatkan, menegurnya bahkan ikut memberi sanksi sosial , tidak mendiamkannya.

Negara yang sanggup melakukan semua tugas dan tanggung jawab tersebut tak lain adalah Negara Khilafah. LGBT akan bisa dicegah dan dihentikan hanya oleh Khilafah. Di dalam naungan Khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai syariah Islam. Maka, Islam akan mewujud sebagaimana yang telah Allah tetapkan yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin. 

Wallahu’alam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar