Seni “Menjual Diri” dalam Demokrasi


Oleh: Tita Anarita

Baliho, bilboard, adalah media untuk mempromosikan, mengiklankan sesuatu. Pemasangannya diluar ruang yang strategis (titik keramaian) agar dapat dengan mudah dilihat oleh publik secara jelas. Karena ukurannya besar biasanya akan menjadi pusat perhatian public sehingga mereka dapat mengingat dengan mudah. (Firman Kurniawan Sujono, Pakar Komunikasi UI; DW.com)

Saat ini, itulah yang dilakukan oleh para pesohor politik negeri ini dengan segala pesona dan statment simpatik yang menjanjikan. Padahal kontetasi pemilihan presiden masih dua tahun lagi (Tahun 2024). Tetapi mereka sudah  “menjajakan dirinya” di sudut-sudut keramaian agar terpilih untuk menjadi pemimpin negeri ini, dengan tidak peka terhadap situasi rakyat. Meski tak menyatakan langsung mereka hendak maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, tetatpi ada tulisan 2024 yang terpampang di baliho. Secara tak langsung, angka 2024 dapat diartikan sebagai Pilpres 2024.

Rakyat yang saat ini sedang dihadapkan pada situasi yang berat, mulai dari pandemic yang berkepanjangan, ekonomi semakin sulit, lapangan kerja semakin sempit, pengangguran semakin tinggi, harga-harga bahan pokok yang terus melambung, bukannya tertarik atas promosi pengenalan diri yang terpampang di baligho, justru malah merasa muak dan marah. Mereka lebih berkonsentrasi hanya untuk kepentingan dirinya dan golongan, yakni untuk meraih kursi kemenangan. Sementara bagaimana dengan kepentingan kesejahteraan rakyat?

Ditengah carut marutnya pengurusan (riayah) terhadap negara, perang baliho para calon pemimpin gencar untuk menarik simpati rakyat. Sementara rakyat menuangkan curhatan kesusahan dirinya saja pada penciptaNya di bungkam, seperti halnya tulisan mural “Tuhan Aku Lapar” di tengah Kota Tanggerang serta merta dihapus. Itulah yang membuat rakyat saat ini kehilangan simpatik pada para calon pemimpin yang mewarkan dirinya untuk disukai atau mungkin dipilih.

Seharusnya ini menjadi peringatan atau cambuk bagi rakyat untuk menyadari kelemahan sistem demokrasi yang realitasnya hanya untuk kepentingan mereka saja. Hal ini jelas karakterpemimpin  yang terbangun adalah pengabdi kursi bukan pelayan rakyat. Semua penyelesaian hanyalah untuk menghasilkan materil yang memperkaya dirinya dan golongan bukan untuk kesejahteraan umat.

Berbeda dengan Islam. Kepemimpinan dalam Islam haruslah mampu menciptakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, solutif, dan solidaritas tanpa kebablasan. Seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW dan didukung oleh para sahabatnya dan para pengikutnya. Beliau tidak pernah bergeser dari ajaran Allah. Tidak terdapat perbedaan apapun diantara mereka, semua berjalan dengan tertib. 
Semua itu bukan hanya disebabkan para sahabat itu dapat menanyakan langsung kepada Rasul tentang sesuatu problem yang dihadapi, tapi karena mereka senantiasa berpegang teguh kepada ajaran-Nya di dalam Al Qur’an. Setelah Rosulullah wafatpun sistem pemerintahan ini masih terus dijalankan oleh para sahabatnya sampai Islam Berjaya hingga 13 abad. Hal ini membuktikan bahwa penerapan Islam secara kaffah akan menjamin dan menjadi solusi atas segala permasalahan. Termasuk permasalahan politik.

Hakikat pemimpin dalam pandangan Islam adalah sebagai khodimul ummah atau pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Berpijak pada filosofi ini, maka seorang pemimpin harus melayani rakyat yang dipimpinnya dengan penuh rasa cinta dan keikhlasan. Selain itu juga  kepemimpinan dalam Islam adalah sebuah amanah, titipan Allah SWT, bukanlah sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab melayani rakyat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar