Anak Durhaka, Salah Siapa?


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Sebuah film singkat menceritakan tentang seorang anak yang meninggalkan sang Ibu di sebuah kursi yang terletak di pinggir jalan. Sang anak kemudian meminta ibunya untuk menunggu di sana, dan ia berjanji akan menjemputnya selepas kerja.

Sebelum pergi, anak tersebut meninggalkan secarik kertas, dan meminta agar sang Ibu memberikan kertas tersebut kepada siapa saja, jika ia telat menjemput ibunya. Anak itu pun kemudian pergi meninggalkan ibunya sendiri.

Sang ibu menunggu sepanjang hari, hingga ada seorang pemuda yang datang dan menanyakan kondisinya. Ibu tersebut pun menjawab bahwa ia baik-baik saja, dan sedang menunggu untuk dijemput anaknya.

Sang pemuda kemudian menawarkan agar ibu tersebut menghubungi anaknya melalui telpon genggam miliknya. Sang Ibu setuju, meski ia mengaku tidak memiliki nomor teleponnya. Namun, ia kemudian ingat dengan secarik kertas yang diberikan anaknya. Kemudian menyerahkan kertas itu pada pemuda tersebut.

Kertas itu dengan segera dibuka oleh pemuda tadi, kemudian ia tersentak setelah membaca tulisan yang ada di dalam surat. “Siapapun yang bertemu ibu ini, tolong bawa ia ke panti jompo”.

Kisah memilukan yang ada dalam film tersebut, nyatanya banyak terjadi dalam kehidupan. Seperti yang tengah viral baru-baru ini, kisah pilu tiga orang anak yang menitipkan ibunya di sebuah Yayasan Lansia, karena mereka merasa tidak sanggup untuk merawat sang Ibu.

Benarlah sebuah pepatah yang mengatakan, “Seorang ibu mampu merawat sepuluh anak, namun sepuluh anak belum tentu sanggup merawat seorang ibu.”

Mengapa bisa seorang anak tega menelantarkan ibu kandungnya sendiri? Perempuan yang telah bersusah payah mengandung, menyusui dan merawatnya ketika ia kecil.

Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebabnya. Di antaranya adalah:

Pertama, cara pandang hidup yang tidak sesuai dengan Islam. Seseorang bertingkah laku sesuai dengan pemahaman atau cara pandang hidup yang ia punya. Ketika pemahamannya salah, maka akan menghasilkan perilaku yang salah juga.

Dengan beragam alasan yang dikemukakan, mereka dengan tega menitipkan ibunya untuk diurus oleh orang lain, bahkan hingga akhir hayatnya pun, mereka serahkan kepada orang lain untuk mengurusnya. Tidakkah mereka merasa khawatir dengan hari penghisaban di akhirat?

Kedua, alasan kesulitan ekonomi. Inilah salah satu penyebab anak menitipkan ibunya ke panti jompo. Karena kondisi perekonomian mereka yang sulit. Bahkan mereka masih tinggal dengan mertua. 

Kondisi ekonomi yang sulit hari ini bukan hanya dialami oleh satu atau beberapa keluarga. Terlebih di masa pandemi, jumlah orang miskin mengalami peningkatan. Begitu menurut beberapa informasi media.

Ketiga, karena tidak adanya campur tangan penguasa yang adil. Biasanya, para pemegang kebijakan akan turun tangan ketika masalah sudah ramai. Padahal, kewajiban merekalah mengurus urusan rakyat, tanpa pandang bulu dan tanpa pandang waktu.

Ketika ada kasus ibu ditelantarkan anak, semestinya pemegang kebijakan turun tangan. Mencari penyebabnya, agar permasalahan tersebut bisa diselesaikan.

Ketiga faktor penyebab tadi bisa muncul akibat dari tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang hari ini jauh dari nilai-nilai Islam. Pendidikan yang diberikan selama bertahun-tahun di bangku sekolah, baik model pendidikan karakter atau apapun namanya, nyatanya belum mampu mencetak anak-anak shalih yang berbakti kepada orang tua.

Sistem ekonomi yang cenderung kapitalistik menyebabkan problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Lihatlah kabar yang disampaikan berbagai media, bahwa di masa pandemi, bertambahnya orang miskin, berbarengan dengan bertambahnya kekayaan orang kaya. Sungguh ironis!

Keberadaan pemegang kebijakan hari ini pun tidak terlalu dirasakan kehadirannya oleh rakyat, sebagai pengayom yang senantiasa siap memberikan solusi untuk setiap permasalahan rakyat. Justru sebaliknya, rakyat kerap merasakan kesulitan, akibat berbagai kebijakan yang tidak memihak mereka.

Karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan “anak durhaka”, membutuhkan solusi sistemik. Islam, sebagai agama yang sempurnalah yang betul-betul mampu menjadi solusi untuk setiap problem, termasuk mengatasi “anak durhaka”.

Islam sangat memperhatikan urusan berbakti kepada orang tua. Dilihat dari banyak dalil yang membahas tentang hal ini. 

Pertama, hadits tentang seorang lelaki yang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi berjihad, beliau bersabda:

أحَيٌّ والِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِما فَجَاهِدْ

“Apakah orang tuamu masih hidup?”. Lelaki tadi menjawab: “Iya”. Nabi bersabda: “Kalau begitu datangilah keduanya dan berjihadlah dengan berbakti kepada mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi)).

Ketiga, dalam hadits Nafi’ bin Al Harits Ats Tsaqafi, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ

“maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan masih banyak lagi dalil, baik di dalam al Quran maupun as Sunnah yang memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua. 


Mekanisme Islam Lahirkan Anak Shalih

Pertama, dengan menerapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, akan sangat mampu mencetak generasi sholih yang berbakti kepada orang tua. Karena di antara tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk mencetak manusia berkepribadian Islam.

Kedua, menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Selain memperhatikan masalah pendidikan, Islam pun memiliki aturan bagaimana mengatur permasalahan ekonomi. Sehingga tidak akan terjadi ketimpangan seperti hari ini. Kesejahteraan akan mampu dirasakan oleh semua rakyat.

Ketiga, adanya peran penguasa sebagai pengurus urusan rakyat. Ketika ada konflik antar anak dengan orang tua, maka penguasa dalam Islam wajib hadir untuk memberikan solusi bagi mereka. 

Pernah suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka, Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya. 

“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orangtua adalah dosa besar yang mengundang murka Allah?" Bentak Umar.

“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya?” Tanya si anak.

“Benar,” jawab Umar.

“Lantas, apa hak anak terhadap ayahnya tadi?” lanjut si Anak.

“Ada tiga,” jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik untuk putreanya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaklah ia mengajarinya al-Quran.”

Maka, si Anak mengatakan, “Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku; ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga dua dirham, lalu malamnya ia gauli sehingga ia hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al, dan ia tidak pernah mengajariku menghafal al-Quran walau seayat.”

Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. (Lihat Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).
“Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau ia durhaka kepadamu sekarang,” bentak Umar kepada si Ayah. (Disadur dari kuthbah Syaikh Dr. Muhammad Al-Arifi, Mas’uliyatur Rajul fil Usrah. Lihat Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, hal. 11-12.)

Begitulah Islam mampu menyelesaikan permasalahan manusia dengan sempurna. Karena Islam diturunkan oleh Zat yang menciptakan manusia, pasti paling mengetahui apa yang terbaik untuk manusia. Kita tidak perlu pusing membuat aturan, tinggal berusaha memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar