Kerja Maksimum Upah Minimum, Gimana bisa Senyum?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Rupanya kabar gembira yang dibawa oleh Kementerian Ketenagakerjaan tentang akan adanya  kenaikan UMP pada 2022, malah mengundang gelombang protes dari para buruh. Hal ini dikarenakan nilai kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah jauh lebih kecil dibanding inflasi yang diprediksi akan terjadi pada 2022. Indikator yang umum digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) yang disandarkan pada survei biaya hidup oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 

Inflasi menyebabkan biaya hidup makin mahal seiring kenaikan harga barang dan jasa. Artinya, nilai uang makin turun sehingga daya beli masyarakat akan berkurang. Laju inflasi yang naik setiap tahun bisa diimbangi dengan kenaikan upah buruh/ karyawan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, jika 2022 diproyeksikan inflasi naik sebesar 4%, semestinya pemerintah menaikkan upah minimum yang sebanding dengan naiknya laju inflasi, bukan sebaliknya. Pekerja menuntut kenaikan UMP tahun 2022 sebesar 7-10% sementara pemerintah menetapkan sebesar 1%.

Dikutip dari akun Instagram @kemnaker, berikut daftar 10 Provinsi yang memiliki UMP tertinggi di 2021:
1. DKI Jakarta: Rp 4.416.186,548
2. Papua: Rp 3.516.700,00
3. Sulawesi Utara: Rp 3.310.723,00
4. Bangka Belitung: Rp 3.230.023,66
5. Sulawesi Selatan: Rp 3.165.876,00
6. Aceh: Rp 3.165.031,00
7. Papua Barat: Rp 3.134.600,00
8. Sumatera Selatan: Rp 3.043.111,00
9. Kepulauan Riau: Rp 3.005.460,00
10. Kalimantan Timur: Rp 2.981.378,72

Jelang penetapan upah minimum 2022, Kementerian Ketenagakerjaan menggelar perbincangan bersama Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (BP LKS Tripnas) di Jakarta. Hasil dari pertemuan ini sepakat untuk mendorong penetapan Upah Minimum yang sesuai dengan ketentuan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, memahami bahwa penetapan UM tahun 2022 yang mengalami kenaikan belum dapat memenuhi ekspektasi sebagian pihak, mengingat saat ini masih dalam masa pemulihan dari dampak Covid-19. (ekonomi.bisnis.com, 25/10/2021)

Alasan senada dipaparkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Menurut beliau ada beberapa alasan Pemerintah hanya menaikkan tipis upah minimum provinsi (UMP) pada 2022 sebesar 1,09%. Pertama, mempertimbangkan kebutuhan buruh. Kedua, pertimbangan kondisi dunia usaha yang saat ini masih tertekan pandemi Covid-19. Penyesuaian upah minimum ini mengacu pada aturan turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja untuk mengatasi kesenjangan pengupahan antar daerah. Formulasi pengupahan dengan metode baku ini diharapkan dapat menjaga stabilitas iklim usaha dalam negeri. (Bisniscom, 16/11/2021)

Padahal, yang terdampak pandemi bukan hanya pelaku usaha, tetapi mayoritas masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada pekerjaan mereka. Jika benar perhatian terhadap kebutuhan buruh, bukankah kenaikan tipis tersebut tidak banyak berpengaruh pada kebutuhan buruh? Buruh membutuhkan kecukupan nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa pengaruh kenaikan 1,09% terhadap pengurangan beban hidup mereka? 

Pemerintah menjelaskan upah Indonesia terlalu tinggi karena nilai produktivitas tenaga kerja Indonesia lebih rendah dari upah yang mereka dapatkan. Kemampuan bekerja efektif dan efisiennya masih rendah, jam kerjanya masih sedikit dan jumlah liburnya masih besar sehingga sulit terjangkau sebagian besar pengusaha yang nantinya akan berdampak negatif pada implementasi di lapangan. Perhitungan upah minimum sudah menyesuaikan aturan baru. Semua perhitungan ini sesuai dengan UU Omnibus Law dan turunannya, yakni PP 36/2021 mengenai pengupahan. Merujuk pada median upah standar internasional. Indeks median upah yang ideal berada di kisaran 0,4—0,6%. Sedangkan indeks median upah Indonesia lebih dari 1%. 

Hal itulah yang membuat para buruh di beberapa wilayah cukup gencar menyuarakan protes terhadap rencana penetapan UMP 2022 tersebut disusul rencana mogok nasional yang akan digelar 6-8 Desember 2021 mendatang. Dikutip dari Makassar.terkini.id (20/11/2021), Organisasi buruh di Sumatera Utara (Sumut) mengungkapkan kecewaannya atas keputusan kenaikan UMP Sumut 2022 yang baru saja disahkan oleh Gubernur Edy Rahmayadi. Pasalnya, kenaikan UMP 2022 yang disahkan tersebut diduga tidak lebih tinggi dari tarif parkir sepeda motor. 

Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Sumatera Utara, Willy Agus Utomo menyampaikan bahwa UMP tersebut sangatlah menyedihkan sebab jika dihitung hanya naik Rp 23 ribu atau tidak lebih dari satu persen. 

“Kalau hanya naiknya segitu, kenaikan tersebut lebih murah dari biaya parkir sepeda motor. Kita lihat UMP tahun 2021 hanya sebesar Rp 2.499.423 artinya kenaikan yang tidak sampai satu persen itu perhari kurang dari Rp 2000, bahkan jika dihitung dengan UMK. Sedang kita semua bayar parkir motor saja dua ribu setiap hari, bahkan bisa berkali kali dalam sehari. Ini sangat terlalu, dan miris nasib kaum buruh saat ini,” ujar Willy. (Era.id, 20/11/2021). 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan fakta besaran kenaikan upah minimum yang nilainya lebih kecil dari inflasi sudah cukup membuktikan sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap masa depan buruh. Pertimbangan kebijakan ini lebih mementingkan kondisi para pelaku usaha, bukan nasib buruh yang masih terkatung-katung dengan kesejahteraan hidup. (Mnews, 21/11/2021)

Jelas mekanisme upah minimum ini tidak menyejahterakan. Dalam kapitalisme, penetapan upah tidak berdasarkan manfaat tenaga atau jasa yang ia berikan kepada masyarakat. Melainkan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL). KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/ buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan. KHL disesuaikan setiap tahun dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yaitu berjalan sesuai tingkat inflasi nasional. 

KHL terdiri dari beberapa komponen kebutuhan hidup yang amat sederhana dan cukup untuk memenuhi standar hidup paling minimal dari masyarakat. Dengan penetapan seperti ini, upah buruh tidak akan memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebab, di wilayah yang taraf hidupnya tinggi, upah tinggi belum menjamin kesejahteraan hidup. Boleh jadi pendapatan tinggi, tetapi pengeluaran juga tinggi karena harga barang dan jasa lebih mahal daripada wilayah yang taraf hidupnya rendah. 

Sejatinya, besaran upah bisa berbeda-beda sesuai jasa yang pekerja berikan, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja, tidak dikaitkan dengan standar hidup minimum masyarakat. Pekerja yang profesional/ mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula. Sekalipun pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, upah yang diberikan seharusnya juga akan berbeda. 

Itulah aturan main sistem ekonomi kapitalisme yang lemah dan cacat. Sistem ini memposisikan pekerja sejajar dengan faktor produksi lainnya. Buruh tidak dipandang sebagai manusia yang membutuhkan kesejahteraan dalam hidupnya. Para konglomerat itu memperlakukan buruh seperti budak yang tidak memiliki hak hidup layak. Inilah era perbudakan pada abad modern, lebih sadis dan biadab. 

Upah dalam sistem ini merupakan variable cost yang paling mudah ditekan. Akhirnya, para pengusaha membuat formulasi yang tepat untuk merumuskan besaran upah. Hal ini karena jika upah terlalu kecil pun akan menghambat produktivitas, maka pengusaha membutuhkan penguasa yang siap memberlakukan aturan yang korporasi kehendaki. Dari sini, lahirlah teori “upah besi”, alias kisaran upah yang tidak bisa ditekan lagi karena jika ditekan akan memengaruhi produktivitas pekerja. Upah hanya bermakna sebagai ongkos yang perusahaan keluarkan untuk bisa menggerakkan manusia dalam bekerja. Itulah sebab formulasi upah berdasarkan taraf kebutuhan fisik minimum (KFM) dalam rumusan UMP.

Berbeda dengan sistem upah dalam Islam. Syariat Islam mengatur akad ijarah antara pekerja dan pengusaha. Penetapan besaran upah kerja, jenis pekerjaan dan waktu kerja merupakan akad berdasarkan keridhaan kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa terpaksa dan rugi. Islam menetapkan besaran upah buruh berdasarkan manfaat tenaga pekerja, bukan kebutuhan hidup paling minimum. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. 

Prinsip pengupahan dalam Islam tidak terlepas dari prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah) secara umum, yakni asas keadilan dan kesejahteraan. Untuk mengontrak seorang pekerja, terlebih dahulu harus menentukan jenis pekerjaannya sekaligus waktu, upah dan tenaganya. Jenis pekerjaan harus jelas sehingga tidak kabur. Waktu bekerja juga harus ditetapkan, harian, bulanan atau tahunan. Tenaga yang dicurahkan pekerja juga harus ditetapkan agar para pekerja tidak terbebani pekerjaan di luar kapasitasnya. Begitu pun dengan upahnya. 

Nabi Muhammad Saw. Bersabda, 
Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR Ad-Daruquthni) 

Perusahaan harus membayarkan upah tepat waktu, tidak boleh menundanya karena menunda-nunda pembayaran upah adalah bentuk kezaliman. Penentuan upah tidak akan berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai barang atau laku tidaknya penjualan dari barang tersebut. Meskipun produknya tidak laku atau produk barangnya bernilai rendah, ketika seorang pekerja sudah memberikan manfaatnya pada majikan, majikan itu wajib membayar upah pekerja tersebut. Jika tidak, majikan tersebut akan menjadi musuh Allah Swt. di akhirat. Dari sini saja akan lahir para majikan yang sangat memperhatikan hak pekerjanya.

Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan ath-Thabrani) 

Jika terjadi perselisihan antara pekerja dan majikan terkait upah, pakarlah (khubara’) yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika masih bersengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. 

Islam tidak akan menilai standar kesejahteraan dengan perhitungan pendapatan per kapita yang tidak menggambarkan taraf hidup masyarakat secara nyata. Islam akan memastikan setiap individu sejahtera dengan pembagian distribusi kekayaan secara adil dan merata ke seluruh masyarakat. Negara adalah institusi yang bertanggung jawab memastikan ijarah berjalan sesuai akad antara majikan dan pekerja. Mendapatkan upah yang adil dan layak adalah hak pekerja. Jika pekerja sudah mendapat upah, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, jenis pekerja seperti ini terkategori fakir. Ia berhak mendapat zakat yang dikumpulkan dari para muzaki. 

Negara juga akan memberikan santunan jika zakat belum mencukupi kebutuhannya. Negara akan memfasilitasi para pekerja dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, seperti pelatihan atau kursus agar setiap orang dapat bekerja sesuai kapasitasnya. Inilah prinsip pengupahan dalam sistem Islam. Dengan penerapan syariat Islam kaffah, bukan hanya pekerja yang untung, para majikan pun akan mendulang manfaat dari produktivitas para pekerjanya karena upahnya sepadan dengan usaha yang ia lakukan. 

Dari sistem Islam terkait pengupahan saja akan lahir pekerja dengan etos kerja yang tinggi dan majikan yang sangat memperhatikan hak pekerjanya. Inilah yang memajukan ekonomi bangsa dan pada gilirannya akan menyejahterakan semua warga. Sungguh perubahan nasib pekerja hanya akan terwujud dengan politik ekonomi Islam. Masihkah kita berharap dari sistem lain?

Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar