Kontekstualisasi Fikih Buah Pemikiran Sekuler


Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Kementerian Agama menggelar  Annual Internasional Conference on Islamic in a Changing Global Context (AICIS), dengan tema “Islam In a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy.” Atau Reaktualisasi Fikih dan Kaitannya dengan Berbagai Kebijakan Publik. Acara ini diselenggarakan di Kota Surakarta. Forum diskusi ini dihadiri peneliti, dosen, hingga pakar lintas keilmuan. Mereka dianggap dapat memberikan kontribusi baik secara teoritik dan praktik dalam menyelesaikan dinamika yang tengah dihadapi. (Antaranews.com, 24 Oktober 2021)

Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama menyampaikan sambutannya pada acara AICIS ke 20. Ia menyampaikan, dunia terus mengalami perubahan. Maka dari itu,  pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon  tantangan zaman.

Menurutnya, ada empat alasan atau asumsi dasar pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Pertama, bahwa pengalaman Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya. Yakni, tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah. Kedua, model operasionalisasi harus dikontekstualisasikan dengan fakta aktual, agar praktek-prakteknya tidak bertentangan dengan pesan utama itu sendiri. Ketiga, dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, tidak menjadikan nonmuslim berpindah identitas agamanya menjadi muslim. (kemenag.go.id, Senin, 25 Oktober 2021) 

Pernyataan yang disampaikan Menteri Agama terkait rekontekstualisasi fikih, sekilas dikesankan bertujuan baik. Namun jika dielaborasi lebih jauh, nampak bahwa ide rekontekstualisasi fikih lebih mengarah kepada pencampakkan syariat Islam dan menggantikannya dengan pemikiran sekuler Barat. Selanjutnya produk pemikiran sekuler ini  dikamuflase dengan dilabeli  Islam agar dianggap sejalan dan tidak menyimpang dari syariat. Sungguh, ini adalah kebahayaan yang dapat menyeret umat pada ketidaksempurnaan pelaksanaan hukum-hukum Islam. Bahkan bisa jadi menyesatkannya.

Ide rekontekstualisasi sudah menjadi gaya yang sejak lama merupakan salah satu bentuk pemikiran Barat, yang memisahkan agama dari kehidupan. Buah dari pemikiran Barat ini menghasilkan para intelektual liberal, yang memiliki tujuan untuk menundukkan Islam agar sejalan dengan peradaban Barat. 

Dalam kitab Mafhum Tajdid ad-Din, Busthami Muhammad Sa’ad menerangkan bahwa di dunia Islam pada abad ke-19 ada tren pemikiran yang disebut modernisme. Pemikiran ini bukan berarti paham yang menghargai sains dan teknologi, melainkan manhaj berpikir terhadap ajaran agama yang harus disesuaikan atau ditundukkan kepada pemikiran-pemikiran Barat. Baik pemikiran  berupa hasil metode ilmiah atau ilmu alam, maupun ilmu sosial humaniora,  seperti politik yang berbuah demokrasi atau ekonomi yang melahirkan kapitalisme, dan lainnya.

Harus kita pahami, di saat umat Islam menghadapi berbagai persoalan baru yang sebelumnya tidak ada,  maka Islam mempunyai metode untuk mengatasinya, yakni dengan ijtihad. Akan tetapi, adanya ijtihad ini bukan bertujuan mengubah hukum yang ada untuk disesuaikan dengan fakta. Melainkan menggali hukum  dari fakta yang baru  berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunah. 

Namun, ijtihad berbeda dengan rekontekstualisasi. Ide ini, bukan menghasilkan hukum yang baru dari Al-Qur’an dan hadis. Justru mengubah hukum yang lama disesuaikan dengan fakta yang baru. Astaghfirullahal’azhiim. 

Rekontekstualisasi ini sejatinya memosisikan Islam sebagai objek yang diatur atau disesuaikan. Akibatnya, Islam diotak-atik sesuai keinginan yang berkuasa. Tentu hal ini membahayakan bagi muslim. Sebab akan terjadi desakralisasi fikih,  seperti wacana menetapkan haji di bulan Haram, bukan hanya Dzulhijjah. Tentu saja, wacana ini menyimpang dari syariat.

Pakar fikih K.H. M. Shiddiq al-Jawi menjelaskan tentang metode berpikir dari konsep rekontekstualisasi. Pertama, mereka akan berusaha memahami fakta apa adanya secara objektif. Kedua, dalam menyikapi fakta yang digunakan adalah  mengikuti konsep Barat. Ketiga, menyesuaikan syariat Islam dengan pemikiran Barat. Keempat, mencoba mencari pembenaran dari Islam. Seperti dari Al-Qur’an, hadis, atsar  para sahabat, atau konsep tertentu dari para ulama. Padahal sebenarnya tidak ada pembenarannya dalam Islam.

Seharusnya seseorang dalam mengemukakan fatwa atau hasil ijtihad, adalah yang berkompeten menjadi mufti dengan syarat-syarat mujtahid. Menurut Syaikh ‘Atha ibn Khalil, beliau menyebutkan ada dua syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin berijtihad. Pertama,  menguasai ilmu Bahasa Arab dan nahwu yang cukup. Kedua,  Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara, bagian-bagiannya, berbagai metode untuk menetapkannya, dan macam-macam dilalahnya. Harus mengetahui asbabun nuzul, nasikh (Ibnu Qudamah menyebutkan definisi nasikh dengan menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan dalil atau perkataan yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya.”), mansukh, mutlaq, dan muqayyad. Serta bagian-bagian al-Kitab dan As-sunah lainnya yang dibahas dalam kajian ushul fikih. 

Sekarang yang menjadi persoalannya adalah banyak pernyataan dari orang yang bukan ahlinya. Termasuk Menag yang mengeluarkan pernyataan ajaib. Fikih bukanlah buah pemikiran manusia, sebagaimana pendapat filosof  atau pemikir. Akan tetapi fikih merupakan pemahaman terhadap wahyu, yakni  Al-Qur'an dan As-sunah dengan kaidah yang ditetapkan syariat. Jika hal ini terus dibiarkan, akan menjauhkan umat dari syariat yang menjadi solusi paripurna.

Ada perbedaan sangat tajam antara hukum Islam dan Barat. Hukum Islam diibaratkan kompas yang menunjukkan arah yang tetap. Sedangkan hukum Barat seperti termometer, mengikuti suhu tubuh, yakni disesuaikan dengan kehendak dan hawa nafsu manusia. 

Faktanya, yang dibutuhkan umat saat ini adalah penerapan syariat Islam kafah. Bukan rekontekstualisasi fikih Islam. Dengan tidak menerapkan syariat secara total dan menyeluruh, baik di tanah air maupun di seluruh dunia, kita saksikan banyak persoalan yang tidak terselesaikan hingga tuntas. Hanya sebagian kecil saja syariat Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti fikih ibadah, fikih rumah tangga, dan sebagian kecil fikih muamalah.

Padahal kunci kebangkitan umat adalah ketika mereka menjalankan syariat Islam sebagaimana generasi terdahulu. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahullahu dalam Syari’atullah al-Khalidah menjelaskan,”Sekiranya kaum muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama Islam sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat terdepan dan paling bahagia.”

Walhasil, pernyataan Menag bahwa umat membutuhkan fikih alternatif menjadi hal yang rancu. Apalagi jika fikih alternatif ini adalah penafsiran terhadap Islam yang tunduk pada kepentingan kaum kapitalis dan liberal. Tujuannya, untuk melanggengkan imperialisme di dunia Islam. Ini pun merupakan strategi global dalam menghadapi dunia Islam. Hal ini akan terus berlangsung sampai mereka yakin bahwa hegemoninya tidak terancam. Sungguh sangat membahayakan.

Apakah kita sebagai muslim akan tinggal diam dan rela menerima hal ini? Tentu saja sebagai muslim sejati tidak akan diam dan rela menerimanya. Sesungguhnya kita mempunyai kekuatan besar, yakni ajaran Islam yang bersumber dari al-Al-Qur'an dan sunah. Pembawa cahaya yang membedakan antara yang benar dan salah. Maka dari itu, sebagai umat yang mendambakan hidup bahagia dunia dan akhirat, sudah saatnya berpegang teguh pada syariat kafah sebagai jalan menuju rida Ilahi.

Wallahu a’alam bish shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar