KOTAK PANDORA PEMBANGKRUTAN NEGARA MELALUI PROYEK INFRASTRUKTUR


Oleh : Irma Alkhaldah

Pandemi boleh saja masih melanda tapi pembangunan infrastrukur yang ada di Indonesia nyatanya masih tetap berjalan seperti Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang mana kini mengalami pembengkakkan biaya yang mencapai US$ 1,9 miliar atau Rp. 26,9 triliun (dalam kurs terkini Rp. 14.200) setelah ada tinjauan dari konsultan yang dilakukan PT Konsorsium Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) selaku pemilik proyek.

Pembengkakkan ini menurut Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya terjadi paling banyak pada pembebasan tanah  yang melewati daerah komersial dan kawasan industri yang relokasinya cukup costly (mahal). Juga terjadi pada biaya pra-oparasional dan head office yang mengalami kenaikan US$ 200 juta dan keperluan lainnya yang naik mencapai US$ 50 juta. (https://finance.detik.com/2021/09/01)

Bukan hanya pembengkakkan pada proyek kereta cepat, media sosialpun riuh mengenai Tol Cibitung-Cilincing yang dijual rugi karena biaya pembangunannya mencapai Rp. 10,8 triliun namun PT Waskita Toll Road hanya menjual sahamnya seharga Rp. 2.44 triliun (https://money.kompas.com/ 2021/10/12).


Negara Bangkrut

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini ditanggapi oleh ahli ekonomi Fuad Bawazier agar pemerintah perlu mempertimbangkan kembali proyek kereta tersebut. Argumentasi Fuad, dirinya jauh-jauh hari telah menghitung bahwa proyek tersebut tidak menguntungkan negara sama sekali. Bahkan Fuad mengaku khawatir proyek tersebut justru menumpuk utang. Dia mencontohkan proyek sebelumnya yang mubazir dan membuat negara rugi. Contohnya KA ke Bandara Soetta yang sepi penumpang dan rugi atau LRT di Palembang yang juga rugi. (https://politik.rmol.id/2021/10/12)

Sama halnya dengan proyek diatas pada kasus Tol Cibitung-Cilincing, Corporate Secretary Perseroan, Ratna Ningrum mengatakan, transaksi divestasi jalan tol ini merupakan bagian dari delapan stream penyehatan keuangan PT WK. Telah banyak diketahui kondisi BUMN makin memprihatinkan. Utangnya besar, sedangkan pendapatannya terus menurun. Semua aset terancam bangkrut, akhirnya penjualan aset seperti win solution bagi perekonomian.

Carut marutnya berbagai proyek infrastruktur ini membuat kondisi keuangan yang makin membengkak dan membebani APBN. Karena pendapatan negara yang berpangku pada pajak dan utang, hingga pengluaran membengkak dan pengelolaan yang kurang pas. Belum lagi ada mafia-mafia koruptor yang siap menghisap uang rakyat saat ada kesempatan. Karenanya alih-alih menjadikan proyek infrastruktur yang akan mensejahterakan rakyat justru yang terjadi adalah menjerumuskan negara ini ke jurang kebangkrutan.


Terbukanya Kotak Pandora

Kerugian yang menghantarkan pada pembangkrutan yang dialami oleh negara terlebih pada masa pandemi ini cukup memprihatinkan. Seakan-akan membuka sebuah kotak  pandora yang berisikan segala borok dari sistem kapitalisme yang dianut sebagai sebuah ideologi di negri ini. 
Karena dalam ideologi kapitalisme ini tata kelola ekonominya bernuansa neoliberalisme yang memungkinkan terjadinya kongkalingkong antara pengusaha dan penguasa atau dikenal dengan istilah rent-seeking yang populer di Amerika Serikat pada tahun 1976.

Para pengusaha (baca: investor) selalu mengincar proyek-proyek agar bisa investasi. Sedangkan dalam sistem ini memposisikan negara sebagai regulator saja, perantara antara kepentingan pengusaha dan rakyat. Hanya karena dalam ideologi kapitasisme semua aturan diserahkan pada hawa nafsu manusia, maka yang terjadi adalah bagaimana penguasa yang ada memakai baju pengusaha untuk sama-sama mendapat profit sebanyak-banyaknya. Maka tak aneh jika akhirnya negara lebih condong pada kepentingan pengusaha bukan lagi rakyat yang telah memilihnya dalam pemilu 5 tahunan.


Islam Mendahulukan Kebutuhan Dasar

Bagaimana Islam memandang kebutuhan semua proyek infrastruktur ini terlebih di masa pandemi? Apakah sistem Islam juga memandang penting moda transportasi tersebut? Jawabannya tergantung pandangan syara'. Dalam Islam, pembangunan moda transportasi termasuk dalam pemenuhan negara untuk membangun sarana umum. Negara akan berusaha memenuhi kebutuhan sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, serta sarana prasarananya.

Pembangunan Islam dalam masalah transportasi dapat kita lihat pada masa keemasan Khilafah. Dr. Kasem Ajram dalam buku The Miracle of Islam Science menggambarkan betapa pesatnya pembangunan transportasi pada era Khilafah, terutama di Baghdad, Irak. Pembangunan jalan beraspal sudah mulai berlangsung pada masa Khalifah Al-Mansur tahun 762. Sedangkan Eropa baru mengenal aspal pada 1824 dan Amerika pada 1872.

Kemajuan Islam ini tentu tidak boleh melalaikan pemenuhan negara atas kebutuhan dasar. Saat itu, semua kebutuhan pokok rakyat telah terpenuhi. Seluruh pembiayaan pemenuhan kebutuhan berasal dari Baitulmal, tempat pendapatan negara berasal dari banyak pintu, di antaranya pengelolaan sumber daya alam (SDA), jizyah, kharaj, fai’, ganimah, harta tak bertuan, zakat, dan sebagainya.


Pembangunan Infrastuktur dalam Islam

Dalam kacamata syariat Islam, pembangunan infrastruktur termasuk jalan, adalah kewajiban negara. Negara dalam Islam memiliki kewajiban mengurusi kebutuhan umat. Negara dalam Islam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lainnya seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur untuk menunjang terselesaikannya kebutuhan umat sangat diperhatikan.

Tampak pula pembangunan infrastruktur sangat berbeda skala prioritasnya dengan sistem ekonomi neoliberalisme. Islam menjadikan rakyat sebagai prioritas utama, infrastruktur yang dibangun mengikuti tingkat kebutuhan umat. Islam pun tidak membedakan kota dan desa. Walaupun desa memiliki nilai ekonomi yang rendah, jika terkait kemaslahatan umat, akan diprioritaskan. Posisi negara bukan berdagang dengan rakyat, tetapi negara adalah pelayan rakyat.

Misalnya saja pembangunan jembatan dan jalan rusak di desa akan lebih diprioritaskan daripada pembuatan jalan tol di kota. Apalagi jika telah ada jalan arteri, sehingga pembuatan jalan tol menjadi prioritas bawah. Begitupun pembangunannya, akan melihat apakah baitulmal memiliki dana atau tidak. 

Jika kas baitulmal kosong atau tidak mencukupi untuk membangun jalan tol yang tidak mendesak, maka negara tidak akan memaksakan pembangunannya dengan berutang, apalagi utang riba. Sebaliknya, jika infrastruktur penting seperti jembatan antardesa yang bilamana tidak diperbaiki akan menyulitkan aktivitas warga, maka negara akan mengupayakannya sedemikian rupa.

Upaya yang ditempuh harus sesuai syariat. Ketika baitulmal kosong, negara bisa membangunnya dengan biaya yang berasal dari umat. Bisa dengan negara berutang tanpa riba pada warga yang kaya, bisa juga melalui skema dharibah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang kaya saja dan bersifat temporer. Artinya, jika pembangunannya selesai, selesai pula pungutan pajaknya.

Seperti di masa Khilafah Utsmaniyyah, Khalifah Abdul Hamid II membangun Hijaz Railway dari Damaskus hingga Madinah untuk memudahkan jamaah haji berangkat ke tanah suci. “Jika biasanya naik kuda 40 hari, dengan railway cukup 5 hari. Khilafah membangunnya tanpa utang atau biaya dari asing, tetapi dana negara dari kepemilikan umum. Bahkan masyarakat turut menyumbang agar pembangunan ini bisa segara rampung.

Oleh karena itu, urgen untuk menerapkan ekonomi Islam dalam naungan institusi Khilafah Islamiah yang diperoleh dari setiap pembangunannya adalah menjadi rahmat bagi semesta alam bukan seperti sistem kapitalisme yang menjadi kotak pandora pembawa malapetaka.

Wallahu a’lam



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar