Kritik Atas Pemberdayaan Perempuan dalam UMKM


Oleh : Dini Koswarini

Cukup lama Indonesia berada dalam pandemi yang membuat ekonomi kian menurun. Namun siapa sangka, ternyata ditengah pandemi pelaku UMKM (Usaha mikro, kecil, dan menengah) kian bermunculan dan terus berkembang. 

Maka tidak heran jika orang nomor satu di Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan bahwa UMKM menunjukkan ketangguhan yang cukup tinggi di tengah pandemi. Atas hal itu Kepala Negara Indonesia pun menekankan pentingnya UMKM sebagai sendi utama perekonomian. 

Tapi mari kita lihat dari sudut lain. Sebanyak lebih dari 65 juta unit UMKM berkontribusi terhadap 61 persen perekonomian Indonesia. Selain itu, 64 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong negara-negara G20 memperkuat peran UMKM dan perempuan. Bahkan, kehadiran mereka dinilai penting guna mewujudkan ekonomi yang inklusif. (Medcom.id, 08/11/2021)

"G20 harus terus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui sejumlah aksi nyata," kata Jokowi.  Tentunya dengan memberdayakan UMKM sama saja dengan memberdayakan perempuan, demikian pula ia menyatakan. (Medcom.id, 08/11/2021)

Ada kesadaran jika memberdayakan perempuan sama dengan memberdayakan UMKM, lalu apakah hal ini sudah tepat? Tingginya partisipasi perempuan dalam UMKM tentu saja menggairahkan perekonomian. Sehingga perempuan yang berdaya secara ekonomi dianggap dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Memang sudah seharusnya pemerintah menaikan ekonomi negara. Akan tetapi, memberdayakan perempuan rasanya kurang tepat. 

Seharusnya Negara berusaha meningkatkan upaya agar laki-laki mampu berdaya sebagai mana mestinya. Sebab dengan kebijakan ini, seolah mengalihkan fokus perempuan yang memiliki amanah mulianya menjadi pendidik anak dan pengatur rumah tangga. Kondisi ini akan menciptakan perempuan yang memikirkan bagaimana cara mendapatkan keuntungan. Sehingga tidak jarang, kesibukan dalam menjalankan usaha akhirnya membuat para ibu lalai akan tugasnya sebagai ummu madrasatul ula.

Meski sudah tidak mengherankan, apabila melihat pandangan Barat yang hanya berlandaskan pada aspek ekonomi semata. Untung rugi secara materi menjadi pertimbangan. Kapitalisme pun memberikan pujian yang indah untuk para perempuan, yakni menjadi mandiri secara finansial sehingga perempuan mampu membiayai hidupnya sendiri.

Lalu bagaimana Islam mengatur tanggung jawab negara dalam pengelolaan ekonomi, sumber daya alam dan penetapan peran perempuan? Sebenarnya apabila Negara mampu mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada, pemberdayaan perempuan ini tidak akan terjadi. Sebab Negara Indonesia kaya akan SDA. Sehingga sudah seharusnya Negara mengelola dengan baik, bukan malah menjual apalagi menyerahkan kepada pihak asing atau swasta. Dari pengelolaan inilah, negara mengembalikannya kepada rakyat dalam berbagai bentuk seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas umum dll.

Sebagaimana dalam Islam, untuk menjaga agar perekonomian stabil dan kebutuhan rakyat terpenuhi, pengelolaan SDA merupakan solusinya. Terlebih pengelolaan SDA dalam Islam memang menjadi tanggung jawab negara. Sebab kekayaan alam merupakan kepemilikan umum yang haram hukumnya jika diserahkan untuk dikelola oleh individu, swasta apalagi asing.
Tidak cukup sampai disana, Islam pun mengatur pendapatan negara selain dari pengelolaan SDA, yakni dari jizyah, kharaj, ganimah, fai, harta tidak bertuan dan lainnya yang tentu saja tidak mendzalimi atau mengambil hak rakyat.

Sehingga kondisi perekonomian akan stabil tanpa harus memberdayakan perempuan dan menggeserkan peran yang sebenarnya. Sebab Islam memberikan peran penting bagi perempuan yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Hal ini tidak boleh dielakkan dan haruslah ditekankan, sebab untuk mencetak generasi berkepribadian Islam, serta pola pikir dan sikap Islam merupakan hal yang urgent. 

Dengan demikian, nampaklah jelas jika konsep Islam dalam menempatkan segala sesuatu sesuai dengan fungsinya, tidak sekedar melihat dari sisi materi yang dapat merugikan rakyat. Namun justru mendudukan semua sesuai pandangan syariat.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar