Lawakan Kekinian Kok Makin Sarat Penghinaan ?


Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Penulis)

Siapa yang tak kenal dengan dunia komedi? Sebuah hiburan yang mengundang gelak tawa penonton sudah ada sejak dulu kala. Candaan dijadikan sebagai bahan untuk mengambil perhatian masyarakat, bahkan dijadikan profesi oleh sebagian orang, kita menyebutnya sebagai pelawak.

Seiring berkembangnya waktu, dunia komedi mulai mengalami transisi, khususnya di Indonesia. Yang awalnya lawakan kita dapati di Srimulat atau warkop DKI, sekitar dua dekade telah muncul stand up comedy. Stand Up Comedy dimulai pada tahun 1880 di Amerika. Seorang komedian bernama Thomas Dartmouth “Daddy Rice” menampilkan komedinya dalam sebuah teater. Dan stand up comedy mulai berkembang setelah dipopulerkan oleh Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan juga Ernest Prakasa.

Dari Stand Up Comedy, lahirlah para komika melalui ajang pencarian bakat. Bahkan, melebar hingga daerah-daerah. Kita sempat menemukan komika kritis seperti Bintang Emon yang viral dengan video kritisnya terhadap masalah Novel Baswedan. Dan di lain sisi, rekan sesama komika justru kerap memunculkan kontroversi karna bahan candaan yang digunakan membuat sakit hati umat, khususnya umat Islam.

Kasus demi kasus terus bermunculan yang menyeret nama-nama komika. Mulai dari Ernest Prakasa yang sempat mencuit soal ulama kondang asal India, Zakir Naik, pada awal 2017. Belakangan komedian itu menyampaikan permohonan maaf atas kicauannya di Twitter. Sejak saat itu, Ernest cukup 'berhati-hati' jika mencuit terkait Islam, ulama dan umat Islam.

Di tahun yang sama, 2017, komika Rizky Firdaus Wicaksana alias Uus diberhentikan dari acara Inbox SCTV dan acara komedi Opera Van Java di Trans7 karena cuitannya dianggap menghina Rizieq Shihab. Uus harus menelan pil pahit dimana karirnya jatuh, diblokir di beberapa televisi karena cuitannya tersebut. Kini, Uus kembali ke dunia hiburan dan cukup waspada apabila harus mengalami hal yang sama seperti Januari 2017 lalu.

Sebenarnya bukan hanya Ernest dan Uus, Joshua Suherman juga pernah menyinggung soal mayoritas muslim yang ada di Indonesia. Ge Pamungkas, yang terkenal dengan komik 'open minded' juga sempat terjerat kasus penghinaan. Tretan Muslim dan rekan duetnya Coki Pardede juga sering mendapat somasi dan laporan akibat celoteh lawaknya yang kebanyakan menyinggung dan menghina Islam, ulama, dan syariat-Nya. 

Yang terbaru komika McDanny diduga menghina eks Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab. Dalam video singkat tersebut, McDanny tampak sedang membawakan sebuah acara yang diiringi oleh alunan musik dari DJ perempuan. Lalu, McDanny melontarkan pernyataan saat musik berhenti sejenak dengan perkataan yang kotor terhadap Habib Rizieq Shihab.

Mc Danny pun mengakui telah melakukan penghinaan. Kecamanan dan tatar Twitter mengenai Mc Danny bertengger di Trending Indonesia. Ramai menginginkan Mc Danny yang sempat tersandung kasus narkoba itu ditangkap. 

Namun, umat kembali harus menerima bahwa kasus demi kasus hanya berujung pada permohonan maaf. Danny membuat video permintaan maaf. Sambil tertunduk malu, Ia meminta maaf karena telah menghina Habib Rizieq Shihab. Dan kondisi kembali normal seperti sedia kala.


Dark Jokes Sarat Sekuler-liberal

Lawakan yang menjadikan Tuhan dan Agama sebagai bahan canda dalam dunia komedi disebut dengan dark jokes. Para komika pun sering berlindung di balik istilah ini agar masyarakat bisa memaklumi. Pernahkah para komika itu berpikir bahwa Tuhan dan Agama bukan konten yang etis dijadikan candaan?

Apalagi umat Islam dijadikan bulan-bulanan oleh oknum baik kafir maupun muslim sendiri yang alergi terhadap syariat dan ulamanya. Hampir selalu kita temukan konten sarat penghinaan tersebut. Mudah sekali bagi mereka mengeluarkan umpatan yang harapannya bisa mengundang tawa. Apakah masyarakat cukup terhibur dengan mereka yang mencari panggung lewat dark jokes?

Dari peristiwa yang kian terulang, kita bisa lihat bahwa komika dan stand up comedy menjadi medium terbaru penghinaan terhadap islam dan ulama. Bebasnya mereka mengutarakan penghinaan mencerminkan isi pemikirannya yang menjunjung tinggi kebebasan. Bisa dipastikan ide sekuler-liberal menyelimuti dan menganggap bahwa itu semua sah atas nama kebebasan atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia dalam berpendapat.

Ide liberal ini bukan tanpa sebab tapi terus diaruskan. Bukan hanya diadopsi oleh para komika, sebenarnya banyak pihak sekelas Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando yang kerap melontarkan penghinaan tapi tidak diproses karna dianggap kebebasan. Umat Islam hanya bisa geram, mengecam, dan ujungnya kembali diam. Mengapa negara begitu lemah apabila terjadi penghinaan terhadap islam dan syariat-Nya?


Negara Sekuler Legitimasi Kebebasan

Ide sekuler-liberal adalah ide yang senantiasa diaruskan oleh negara adidaya. Kini yang berkuasa adalah AS, maka AS akan terus memastikan bahwa ide dasar dari kapitalisme ini diadopsi oleh negara-negara pengikutnya. AS mencengkeram dengan program dan kebijakan yang sarat dengan liberalisasi dan melindungi serta menjamin kebebasan orang lain termasuk kebebasan berpendapat.

Negara kita juga mengadopsi sistem yang sama yakni kapitalisme. Sehingga negara ini melegitimasi ide-ide sekuler liberal dalam bingkai demokrasi. Demokrasi sebagai sistem politik, terbukti ampuh untuk mengaplikasikan kebebasan bagi orang-orang yang berpendapat atau berperilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Saat umat Islam melakukan kritisi terhadap penguasa atau mendakwahkan Islam, maka demokrasi justru bertindak represif untuk membungkamnya.

Negara justru menumbuh suburkan istihza'. Istihza’ adalah perbuatan dosa besar sayangnya dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang disebut lelucon yang menggelikan. Negara justru membiarkan dan mewadahi hal ini, terbukti dengan sikap lunak terhadap para pelakunya. Hukuman tegas bagi pelaku justru jauh panggang dari api.

Sedangkan penyebaran syiar islam justru dihambat. Banyak ulama dan asatidz yang harus mendekam di penjara sebab melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan rekayasa kasus atau video lama yang dimunculkan ke permukaan turut menjadi senjata yang mematikan. Hukumannya pun penjara dalam bilangan tahun, bukan sekadar permohonan maaf semata.


Islam Kaffah Menutup Celah Istihza'

Dalam Islam jelas, istihza' adalah sebuah dosa besar. Menghina Allah, Rasulullah SAW, Syariat Islam dan ulama adalah kemungkaran yang nyata. Umat Islam tidak bisa memaklumi siapapun yang melakukan istihza'. Sikap sabar yang senantiasa jadi tameng, bukan diwujudkan dalam bentuk mendiamkan kemungkaran, tapi dengan aksi atau perbuatan untuk menghentikan kemungkaran.

Islam memiliki solusi tuntas agar istihza' ini tidak menjadi problematika umat yang laten : 

Pertama, dengan kondisi umat Islam yang hidup dalam sistem sekuler maka para pengemban dakwah punya tugas untuk membentuk aqidah umat berdasarkan syariat islam. Aqidah yang kokoh dan lurus akan mewujudkan sikap terikat pada hukum syara'. Halal-haram adalah standar baku dari perbuatan. Sehingga setiap individu muslim akan berhati-hati dalam berbicara dan berbuat agar tidak melakukan keharaman contohnya istihza'.

Kedua, masyarakat Islam merupakan pilar penerap syariat islam. Masyarakat Islam memiliki peran untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Masyarakat mesti mencegah ada yang melakukan istihza'. Ini bentuk mencegah kemunkaran. Di sisi lain juga menyeru kebaikan untuk senantiasa memuliakan Islam dan ulama.

Ketiga, negara berkewajiban menerapkan Islam secara kaffah. Negara akan menerapkan sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam sehingga mencetak generasi yang menjadikan Islam sebagai pedoman bukan candaan. Negara juga menerapkan Islam dari sisi media. Media akan menutup celah terjadinya istihza'. Media justru menumbuh suburkan syiar Islam. Dan tak kalah penting yaitu dari sisi persanksian. Negara akan memberi sanksi tegas utk pelaku istihza'.

Demikianlah pembahasan mengenai lawakan yang semakin hari semakin sarat dengan penghinaan terhadap islam, syariat dan ulamanya. Memang butuh penerapan yang komprehensif dari syariat Islam. Dengan penerapan kaffah, Islam akan terjaga, mulia, dan bisa diamalkan secara totalitas.

Wallahu a'lam bish shawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar