Legalitas Free Sex di Kampus, Relakah?


Oleh: Yuliana Suprianti (Anggota Lingkar Study Muslimah Bali)

Permendikbud Ristekdikti No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penghapusan Kekerasan Seksual (PPKS) terus menuai kontroversi di tengah masyarakat. Nadiem Makarim mengatakan peraturan ini diterbitkan untuk menjawab keresahan civitas akademik kampus khususnya para mahasiswa, karena tidak adanya regulasi yang melindungi mereka dari tindakan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Ia memaparkan banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang akhirnya tidak terselesaikan karena tidak adanya kebijakan yang mengaturnya. (CNNIndonesia.com,11/11/2021)

Melihat dan mendengar tujuan dibalik adanya Permendikbud Ristekditi ini, seolah seperti tidak ada masalah dan memang seharunya didukung oleh masyarakat khususnya civitas akademika. Namun, kenapa gelombang kontra justru deras di balik kebijakan baru ini?. Nampaknya tidak salah jika kita mulai melihat dari apa sebetulnya yang dimaksud sebagai kekerasan seksual dalam Permendikbud ini. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakuakn secara verbal, nonfisik,fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 ini meliputi:

a. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban. Jika dikritisi perumusan kekerasan seksual ini akan menyerang siapa saja termasuk yang menentang persoalan LGBT. Maksudnya adalah jika terdapat mahasiswa  yang disalahkan karena memiliki orientasi seksual sesama jenis, atau berpenampilan diluar jenis kelaminnya maka bagi siapapun yang menyalahakannya akan tergolong melakuakn kekerasan seksual. Hal ini tentu akan semakin menyuburkan tindakan LGBT di tataran kampus khususnya dan masyarakat pada umumnya. Terlebih dengan adanya nilai HAM yang mengagungkan kebebasan berekspresi menjadi norma yang ditegakkan saat ini tentu akan semakin mendukung adanya konsep melegalkan perilaku LGBT ini di lingkungan civitas akademik dan masyarakat pada umumnya. 

b. Rumusan kekerasan seksual yang juga mengundang kontra diantaranya adalah adanya frasa “Tanpa Persetujuan Korban” dalam beberapa poin rumusan tindakan yang tergolong kekerasan seksual. Seperti yang terdapat pada point b,f,g,h,j,l,m dinilai memiliki turunan makna bahwa jika dengan “Persetujuan korban” maka tidak akan tergolong sebagai tindak kekerasan seksual yang harus diadili. 

Nampaknya tidak salah jika kebijakan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan ini menuai kritik dan kontra dari sejumlah elemen masyarakat yaitu MUI,ormas Muhammadiyah dan 30 ormas yang tergabung dalam MOI (Majelis Ormas Islam). kritikpun datang dari sejumlah guru besar di berbagai Perguruan Tinggi. Salah satunya Rektor Universitas Nahdatul Ulama Yogyakarta yang juga pakar kebijakan publik, Prof. Dr. Purwo Santoso menilai logika Permendikbud liberal. Logika Menteri itu logika liberal yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa, consent, persetujuan. “itulah yang saya kira menjadikan ukuran-ukuran yang dipasang menjadi kontroversi” ujar beliau. (Republika.co.id,5/11/2021)

Namun, penolakan sejumlah elemen masyarakat ini masih belum merubah pemikiran Menteri Pendidikan kita hari ini, justru beliau menekankan adanya sanksi berupa penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi Perguruan Tinggi yang tidak melakuakn pencegahan dan penanganan kekerasan seksual seperti yang telah disebutkan dalam pasal 19.

Melihat hal ini, semakin jelas bahwa adanya mindset sekuler liberal yang sedang berusaha ditanamkan di lingkungan kampus. Para tokoh sekuler liberal begitu yakin bahwa kampus merupakan sarana yang tepat untuk mendukung penyebaran ide mereka karena akan terkesan jauh dari kecacatan konsep. Kita bahkan bisa melihat orang-orang liberal ini tidak gentar walaupun harus berhadapan dengan ulama’,ormas, dan guru besar yang mengkritik dan menuntut pencabutan permen PPKS ini. Ketidak takutan ini tentu karena mereka memiliki posisi stategis di lingkaran penguasa sehingga mampu mengambil langkah represif seperti yang tertuang dalam pasal 19 yakni sanksi bagi Perguruan Tinggi yang tidak menjalakan permen PPKS ini. 

Konsep liberalisme yang lahir dari ideologi sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) ini akan terus dihidupkan dalam berbagai lini kehidupan termasuk pendidikan. Karena inilah konsekuensi dari model negara yang tidak berlandaskan islam. yakni harus menolak dan menyingkirkan aturan agama dari kehidupan. Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan oleh seorang muslim khususnya intelektual muslim. Karena konsep ini bertentangan dengan keyakinan dan aturan-aturan yang bersumber dari islam. selain itu konsep yang datangnya dari akal manusia semata tidak akan pernah mampu menjadi solusi yang solutif dalam persolan yang diahadapi. Lihatlah bagaimana persolan kekerasan seksual yang tidak pernah ada habisnya walaupun banyak aturan yang sudah pernah diterapkan. Hal ini harusnya membuat kaum muslim sadar untuk segera menyingkirkan pemikiran sekular dan liberal dari tubuh kaum muslimin dan segera kembali kepada islam dalam bingkai khilafah.

Wallaahua’lam bi ashshowab. 



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar