Membungkam Tuntas Para Penista Agama

 

Oleh : Iis Kurniawati, S. Pd.

Kasus penodaan dan penistaan agama seolah mati satu tumbuh seribu, para penista terhadap ajaran islam dari hari ke hari semakin menjadi, tak ada habisnya. Kasus-kasus penodaan agama islam terus berulang. Sebagaimana yang tengah ramai terjadi dugaan penistaan agama di wilayah Dusun Sadarayna RT 03/ RW01, Desa Bangbayang, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah membuat warga sekitar resah. Keresahan tersebut terjadi karena adanya dugaan pelencengan agama Islam yang dipraktekkan salah satu yayasan kelompok Zikir di daerah tersebut. 

Penyimpangan tersebut diantaranya pengikut perempuan atau istri diminta untuk cerai dari suaminya agar bisa ikut bergabung untuk berdzikir bersama di majelis tersebut. Kemudian, dugaan penyimpangan akidah lainnya yakni suami harus merelakan istrinya untuk dinikahi mursyid (pembimbing spiritual) dari kelompok tersebut berdasarkan pada petunjuk dan dilakukan di bawah Sumpah Bangbayang. Dugaan lain ada praktik klenik dalam aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Nama kelompok majelisnya yakni Merdeka Hakikat Keadilan, yang sebelumnya bernama Yayasan Nailul Author 101. (Sumber : kompas.com)

Kepala Desa Bangbayang Umar membenarkan jika saat ini warganya resah dengan adanya dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Yayasan Merdeka Hakikat Keadilan tersebut. 
“Warga sebenarnya sudah lama merasa resah dengan adanya aktivitas kelompok tersebut. Yang didominasi oleh orang luar (pendatang dari daerah luar),” ujar Umar. (sumber : kompas.com)

Terkait adanya aliran kepercayaan yang diduga menyimpang yang dilakukan oleh Ormas Merdeka Hakikat Keadilan di Desa Bangbayang Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang. Akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Situraja memberikan keterangan. Menurut Ketua MUI Kecamatan Situraja H. Ade Aam Khoeruman bahwa, sepengetahuan MUI kecamatan sebelum menjadi Ormas MHK pada 2015 bernama Yayasan Nailul Author 101. "Saat itu, kami bersama Polsek Situraja telah mewanti-wanti kepada pihak desa akan hadirnya yayasan ini. Hal itu karena dibawa oleh pendatang. Namun, pada akhirnya yayasan ini diterima pihak desa Bangbayang.“ kata Ade. (sumber : IniSumedang.Com)

Kasus-kasus penyimpangan agama islam akan terus berulang selama produk hukum berasal dari sistem yang batil yang merupakan buah dari pemikiran manusia dengan akal terbatas dan hanya melahirkan orang-orang yang berani menodai ajaran islam.  Bukan aturan hukum yang berasal dari sang maha sempurna Allah Subhanahuwata`ala. Meskipun sudah ada Undang-undang yang mengatur sanksi bagi penista agama, KUHP pasal 156 (a), selain itu negara kita juga memiliki undang-undang tentang pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama, namun kasus-kasus penyimpangan ajaran agama dan penistaan agama tetap tidak terbendung dan terus ada. Ini diakibatkan landasan membuat peraturan yang diambil dari sekulerisme.

Sekularisme telah malahirkan aturan yang membuat para penista agama terbebas dari sanksi atau hukuman, atau terlepas dari jerat hukum melalui dalih-dalih yang meringankan terkait penistaan yang mereka lakukan. Para pelaku dengan mudahnya melakukan penistaan atau penodaan agama berakhir selesai dengan permohonan maaf, lemahnya penegakan hukum terhadap para penista agama tersebut mengakibatkan kasus-kasus serupa terjadi lagi. Hal ini membuktikan negara gagal dalam melakukan penjagaan terhadap agama. Semua terjadi karena negara menempatkan agama tidak pada tempatnya. Agama hanya ditempatkan sebagai salah satu norma atau nilai yang  bisa dijadikan rujukan dalam meregulasi suatu aturan yang dibuat manusia. Padahal seharusanya Syariat islam dijadikan  sebagai landasan konstitusi, sumber perundang-undangan dan menjadi arah orientasi bagi kehidupan manusia. 

Negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi-sekuler mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif yakni kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berprilaku. Dalam kebebasan berprilaku inilah seseorang atau kelompok bebas melakukan aktivitas yang bertentangan sekalipun, termasuk melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran agama dan  mengobrak-abrik ajaran islam yang sudah baku sesuai dengan hawa nafsunya. Jika sistem sekularisme masih terus diadopsi dalam kehidupan islam maka penyimpangan dan penodaan terhadap ajaran islam akan terus terjadi. Sebab agama tidak lagi dijadikan pijakan aturan kehidupan atau rujukan dalam membuat aturan kehidupan.

Akan berbeda halnya jika sistem  islam diterapkan dan  dijadikan sebagai pijakan konstitusi dalam pembuatan aturan kehidupan, dan arah pandang manusia. Karena hukum islam berasal dari sang maha pencipta yang maha adil dan digali dari kalam Allah subhanahuwata`ala yaitu Al-Alquran yang sudah pasti kebenarannya. Hukum yang berasal dari Allah tidak akan berubah-ubah dan tidak akan berpihak pada kepentingan golongan, melainkan akan memberikan kemaslahatan kepada seluruh umat manusia. 

Oleh karena itu jika landasan suatu negara masih terus mengadopsi ideologi sekuler-liberalisme maka akan terus bermunculan para penista agama. Dengan demikian hanya sistem islam yang akan mampu membungkam para penista agama dan hanya dengan institusi islamlah kemurnian ajaran islam akan tetap terjaga. Maka dari itu mari rapatkan barisan demi tegaknya Institusi Islam yakni Khilafah yang akan senantiasa mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat islam. Karena Khilafah tidak akan pernah membiarkan terjadinya praktik-praktik ibadah yang bertentangan dengan syariat islam. 

Khilafah juga yang akan menjamin kemurnian ajaran agama dan menghukum para penista agama yang menentang hukum syara. Dengan penerapan syariah kaffah akan selalu terwujud penjagaan terhadap agama dan syariatnya. Khalifah sebagai kepala negara akan menjaga akidah, mengontrol agar tidak terjadi perilaku penyimpangan terhadap ajaran islam.  Saatnya menempatkan agama sesuai dengan tempatnya agar tidak ada lagi kasus-kasus penodaan dan penistaan agama seperti yang terjadi di hari-hari yang lalu, hari ini atau masa yang akan datang.

Wallahu A`lam Bishawwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar