Muslim Uighur Saudara Kita, Wajib Untuk Dibela


Oleh : Nur Amaliyah

"Janganlah kamu sekalian saling mendengki, saling menipu, saling memarahi dan saling membenci. Muslim yang satu adalah bersaudara dengan Muslim yang lain. Oleh karena itu, ia tidak boleh menganiaya, membiarkan, dan menghinanya. Takwa itu ada di sini [Rasul menunjuk dadanya tiga kali]. Seseorang itu cukup dianggap jahat bila ia menghina saudaranya sesama Muslim. Setiap Muslim yang satu terhadap Muslim yang lain itu haram mengganggu darahnya, hartanya, dan kehormatannya.'' (HR Muslim).

Sejak 14 abad lalu, lewat hadits tersebut Rasulullah SAW menegaskan bahwa kaum Muslim adalah bersaudara. Bahkan, Rasulullah SAW menerapkan hadits tersebut secara langsung dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Mengikat mereka dengan ikatan aqidah Islam. 

Dalam hadits lain juga disebutkan tentang perumpamaan  persaudaraan sesama muslim. Dari An-Nu'man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR Muslim No 4685)

Namun, hadits tersebut sangatlah jauh sekali dengan fakta di kehidupan sekarang. Ikatan persaudaraan sesama muslim kian tergerus seiring berjalannya waktu. Bahkan tersekat dengan sekat-sekat nasionalisme. Mirisnya lagi, saat terjadi pertumpahan darah yang dialami oleh  saudara sesama muslim, negeri-negeri yang mayoritasnya muslim justru menarik diri dan merasa tak perlu ikut campur dengan urusan kaum muslim di luar wilayah negara mereka. Subhanallah. 

Dilansir dari Merdeka.com pada tanggal 24 Oktober 2021, Indonesia tidak masuk ke dalam daftar 43 Negara kecam China atas isu Uighur, alasannya, Indonesia memilih cara lain membela Uighur. 

Sebenarnya, bukan kali ini saja Indonesia yang merupakan negeri mayoritas muslim terbesar di dunia memilih bungkam atas tindakan Cina terhadap etnis Uighur. Sejak tahun 2018, alasan untuk bungkam sudah disampaikan oleh wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla. "Tentu saja, kami menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kami tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain," katanya. (Tempo.com) 

Sungguh disayangkan, sikap yang diambil oleh pemerintah Indonesia jelas sekali bertentangan dengan syariat. Hal itu sama saja menunjukkan penolakan Indonesia untuk membela sesama muslim. Padahal dikatakan dalam sabda nabi di atas bahwa muslim itu bersaudara. Apabila ada penindasan atau sampai pertumpahan darah, maka saudara muslim yang lain harus membela dan menyelamatkannya.

Sejatinya, sikap yang diambil oleh pemerintah Indonesia ini didasari oleh banyak hal. Cara pandang sekuler dalam sistem demokrasi saat ini yang sudah menancap semakin kuat dalam benak-benak kaum muslim, slogan internasional 'non intervensi' yang artinya tidak boleh ada campur tangan yang berlebihan dalam urusan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada negara lain. Ditambah jeratan investasi asing yang membelenggu. Hingga segala aturan dan sikap tegas yang harus dilakukan justru mendapat penekanan-penekanan. 

Pemerintah Indonesia seharusnya lantang membela muslim Uighur karena negeri ini merupakan negeri muslim terbesar. Ukhuwah islam yang erat, ditambah kepala negara dan wakilnya adalah ulama yang tentu sangat paham akan sikap yang seharusnya diambil saat ada penindasan terjadi pada Uighur. Namun, hingga detik ini pun semuanya justru bungkam. Bahkan memberi kecaman pun tidak dilakukan. 

Berbeda sekali dengan apa yang pernah terjadi di jaman Khalifah al-Mu’tasim Billah. Jangankan pertumpahan darah hingga melenyapkan nyawa seorang muslim, bahkan sebuah tindak kasus pelecehan pun langsung mendapat tindakan tegas oleh seorang Khalifah. 

Sejarah telah mencatat, bagaimana ketika perisai umat itu ada. Pada tahun 837, Khalifah al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah yang konon berasal dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar, yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris yang terus terngiang dalam telinga seorang muslim: “waa Mu’tashimaah!” (di mana engkau wahai Mutashim… Tolonglah aku!)

Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), begitu besarnya pasukan yang dikerahkan oleh khalifah. 

Catatan sejarah menyatakan di bulan April, 833 Masehi, kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.

Sejatinya sikap tegas yang dilakukan oleh seorang pemimpin hanya akan dapat terlaksana dalam sebuah sistem daulah khilafah. Negara Khilafah akan menjadi perisai dari beragam penindasan dan pelecehan. Hingga umat muslim akan tenang dan damai di berbagai belahan dunia manapun. 

Wallahu A'lam.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar