PCR Berbayar Rakyat Jadi Susah


Oleh : Ummu Abdan (Ibu rumah tangga dan aktivis Lisma Bali)
 
Kebijakan pemerintah dengan menjadikan syarat transportasi dengan PCR berbayar menimbulkan kontra dimasyarakat, terutama bagi rakyat yang akan bepergian.Harga tes polymerase chain reaction atau tes PCR kembali mengalami penurunan. Dilansir dari bisnis.com, harga tes PCR mengalami penurunan dari jutaan rupiah menjadi Rp 275 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali, sementara wilayah luar Jawa dan Bali menjadi Rp 300 ribu. Sebelum menyentuh harga yang cukup rendah, tes PCR sempat mengalami beberapa kali penurunan harga. 

Harga tes PCR yang fantastis tersebut semakin problematis ketika sertifikat hasil tes PCR digunakan sebagai syarat wajib untuk naik pesawat. Aturan tersebut tertuang pada Surat Edaran (SE) Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dilansir dari tempo.co, beberapa ahli mengkritik aturan tersebut karena berpotensi membuat sektor pariwisata semakin kepayahan di tengah pandem Covid-19. Menghadapi problematika tersebut, Pemerintah akhirnya menurunkan harga tes PCR menjadi maksimal Rp 900 ribu pada Agustus 2020. Penurunan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK. 02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time.(kompas.co.id)

Bahkan dalam berbagai media memberitakan bahwa ada menteri-menteri yang terlibat dalam bisnis PCR. Dan menimbulkan dugaan bagi rakyat bahwa bisa jadi dengan level PPKM menjadi salah satu kebijakan setali tiga uang dengan bisnis mereka.Meskipun mereka tidak langsung terlibat akan tetapi mereka memiliki saham. Who's know?. Disaat sebagian rakyat berjibaku dengan kehidupan mereka karena dampak pandemi dan kebijakan bahkan berfikir bagaimana memulihkan kondisi mereka seperti sebelumnya. Dimana pundi-pundi mereka merosot sementara pundi-pundi para pejabat bertambah padahal dikala pandemi dan tentu ekonomi lagi terpuruk.

Sementara itu Pegiat anti-korupsi mendorong Presiden Joko Widodo untuk bersikap atas dugaan konflik kepentingan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Bahkan Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan lembaga penegak hukum juga harus segera mengusut dugaan ini karena menyangkut kepentingan masyarakat luas. Menurut Zainal, dugaan konflik kepentingan ini tidak hanya bermasalah secara hukum, namun juga menyalahi etika kedua menteri sebagai pembuat kebijakan terkait pandemi. Baik pihak Luhut maupun Erick membantah soal dugaan konflik kepentingan atas bisnis tes PCR itu.(bbc.com).


Bisnis PCR menggiurkan, bernilai fantastis hingga Rp23 triliun.

Desakan utama yang disampaikan LBH Kesehatan bersama sejumlah lembaga lainnya adalah agar BPK melakukan audit menyeluruh terhadap bisnis PCR di Indonesia.Dalam laporan yang mereka ajukan kepada BPK, LBH Kesehatan menyertakan data yang memperkirakan bahwa bisnis PCR di Indonesia secara keseluruhan bernilai hingga Rp23 triliun.

Pendiri LBH Kesehatan Iskandar Sitorus menuturkan nilai itu didapat dari estimasi kasar dari 28 juta tes yang telah dilakukan di Indonesia selama pandemi, dengan memperhitungkan harga tes yang berlaku selama ini mulai dari Rp 2,5 juta per tes hingga turun menjadi Rp 300 ribu per tes.

Problemnya, menurut Iskandar, tidak seluruh tes yang dilakukan ditujukan untuk penyelidikan epidemiologi dari kasus-kasus positif Covid-19. Sebagian tes dilakukan sebagai syarat administrasi bagi penumpang pesawat yang menurut LBH Kesehatan, tidak diperlukan dan hanya merugikan masyarakat secara finansial.Apalagi, kewajiban tes PCR itu muncul di tengah menurunnya kasus Covid-19 di Indonesia dan semakin banyak orang yang telah mendapatkan vaksin.Meski demikian, Iskandar menuturkan angka yang dia sajikan baru berupa gambaran kasar. Hasil audit BPK lah yang dapat menunjukkan nilai kerugian yang dialami negara maupun masyarakat akibat kebijakan syarat konflik kepentingan yang dia anggap tidak tepat. "Kami yakin BPK sesuai kewenangannya menurut Undang-Undang mampu melakukan audit terkait ini," ujar Iskandar kepada BBC Indonesia.(bbc.com)


PCR bagian dari kesehatan bukan bisnis.

Tidak seharusnya PCR ini dijadikan objek bisnis bagi sebagian orang atau sekolompok orang dengan alasan apapun. Demikian pula negara tidak elok dan tidak pantas menjadikan rakyat sebagai objek bisnis apalagi ditengah wabah dimana rakyat lagi susah. Buat makan sehari-hari saja sudah sulit. Meskipun ada bantuan dari pemerintah akan tetapi lagi-lagi tidak sesuai dengan realitas pendistribusian bantuan  dan kebutuhan berdasarkan data yang bermasalah. Serta jumlahnya terbatas. 

Pemerintah pusat dan daerah punya tanggung jawab penuh dalam mementingkan kesehatan rakyat dibandingkan bisnis segelintir orang dengan alasan apapun.Karena itu merupakan tanggung jawabnya. Namun, dalam sistem kapitalisme manapun dianut oleh sebuah negara otak dan sistem membiarkan hal tersebut bahkan memfasilitasinya. Sebab menjalankan pelayanan termasuk kesehatan dipandang bisnis yang menguntungkan meskipun harus mengorbankan rakyatnya.


Kesehatan dalam Islam adalah kewajiban Negara.

Islam adalah agama yang sempurna tidak hanya mengatur masalah ibadah mahdah bahkan dalam hal wabah dapat memberikan solusi tuntas berdasarkan kesehatan dalam pandangan Islam. Bahkan menurut Islam pemenuhan kesehatan adalah tanggungjawab utama negara.Dan hak rakyat bagian dari kebutuhan pokok.  Sebab negara (khilafah)dan kepala negara(kholifah) dalam Islam khalifah adalah Raa’in. Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)

Karenanya PCR merupakan bagian dari pelayanan kesehatan dan upaya dalam mendeteksi pandemi cov19 dan pencegahan penyebarannya.Maka sudah selayaknya negara menyiapkannya tanpa membebani rakyat yang terdampak. Jangan justru diserahkan kepihak swasta ataupun keperusahaan yang notabene adalah mencari keuntungan dengan cara membisniskannya.

Allahu 'allam Bishowwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar