Permendikbud PPKS dan Liberalisasi Kehidupan Kampus


Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) telah menuai pro dan kontra. Permendikbud ini dinilai telah membuka celah bagi terjadinya praktik perzinahan khususnya di kalangan Perguruan Tinggi (PT). Salah satu partai yang menunjukkan penolakan atas diberlakukannya peraturan ini adalah PKS. Partai ini menolak poin “consent” yang menjadi syarat aktivitas seksual, selain itu juga karena peraturan ini dipandang belum memiliki landasan hukum (news.detik.com, 06/11/2021). 
Permendikbud PPKS digadang mampu memberantas merebaknya kekerasan seksual di dunia kampus. Peraturan ini juga memuat poin yang lebih spesifik dari  apa yang telah ada sebelumnya. Sehingga diharapkan melalui Permendikbud PPKS kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat tertangani. Menurut Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristekdikti, Permendikbud tersebut telah mencakup adanya kewenangan Kemendikbudristek untuk mengatur setidaknya sanksi adminstratif terhadap pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi (republika.co.id, 04/11/2021)
Keberadaan Permendikbud sebagai sebuah upaya menuntaskan kekerasan seksual di dunia kampus patut dikritisi. Kita ketahui bersama bahwa di dalam Permendikbud PPKS termaktub poin soal “consent” atau persetujuan. Consent telah menjadikan siapapun yang terlibat dalam aktivitas seksual tidak akan dikenai pasal sanksi jika dilakukan atas dasar sukarela.  Dengan kata lain consent dapat menjadi sebuah pembenaran melakukan aktivitas seksual tanpa adanya ikatan pernikahan alias zina. Dapat kita bayangkan atmosfer kehidupan kampus seperti apa yang akan dilahirkan melalui legalisasi Permendikbud ini. Perzinahan dapat menjadi perkara yang lumrah dan biasa di kehidupan kampus, naudzubillah.
Kekerasan seksual sejatinya lahir dari tatanan masyarakat yang rusak . Gaya hidup permisif dan hedonis muncul dari cara pandang kapitalistik yang sekuler. Masyarakat tidak lagi merasa sungkan untuk melakukan perbuatan mesum bahkan di ruang publik sekalipun karena mereka meyakini itu adalah bagian dari hak kebebasan berekspresi. Jika dulu masyakat cenderung tabu membahas tentang zina dan mengidentifikasi para wanita yang berkutat pada praktik tersebut dengan pandangan tercela. Maka saat ini ada semacam penerimaan atas perilaku perzinahan dengan mengatasnamakan consent. Ironisnya gaya hidup menyimpang semacam ini sedang diaruskan di kalangan kampus.
Menyelesaikan masalah kekerasan seksual butuh seperangkat sistem yang tegas dan jelas dalam memberantasnya. Sistem semacam ini haruslah mampu melihat apa yang menjadi akar masalah kekerasan seksual. Jika kita menelaah dari sudut pandang kapitalisme maka sangat wajar jika consent menjadi poin penting untuk mengurai kekerasan seksual. Padahal justru dengan mengadopsi konsep consent maka akan semakin membuka peluang terjadinya perzinahan. Kapitalisme hanya mampu menilai kadar baik dan terpuji dari sisi kemanfaatan yang diperoleh tanpa memperhitungkan penyimpangannya terhadap aturan agama.
Kaum Muslim sangat tidak layak untuk mengambil cara pandang kapitalisme. Sebab cara pandang ini akan semakin menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT secara tegas melarang segala bentuk perzinahan, bahkan untuk aktivitas yang mendekati zina saja diharamkan. Allah SWT berfiman dalam QS. Al Isra ayat 32 yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina,; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. Dalam pelaksanaannya larangan atas zina mewujud dalam bentuk pengaturan interaksi di tengah masyarakat, seperti adanya larangan bercampur baur antara laki-laki dan perempuan selain dengan mahram-nya, kewajiban menutup aurat dan menundukkan pandangan.
Syariat Islam memberikan sanksi yang sangat tegas bagi para pelaku zina. Penerapan hukuman cambuk bagi pezina yang belum menikah dan rajam bagi yang telah menikah adalah gambaran jeals bagaimana perbuatan ini sangat dibenci di sisi Allah SWT. Negara yang menerapkan syariat Islam juga akan menutup setiap celah bagi terbukanya praktik perzinahan, seperti memantau setiap konten yang beredar di media massa, cetak maupun eletronik. Dengan mekanisme semacam akan minim sekali peluang terjadinya zina termasuk segala bentuk pelecehan seksual lainnya. 
Islam mampu menjawab tuntutan penuntasan kekerasan seksual di masyarakat. Sebalikanya sistem kapitalisme justru makin meningkatkan potensi meluasnya penyakit masyakarat ini. Jika kita sungguh-sungguh serius ingin memberantas segala kerusakan di masyarakat maka tidak ada alasan yang untuk tetap melanggengkan sistem kapitalisme. Hanya kembali pada aturan Islam manusia dapat menjalani kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya. Mari selamatkan generasi muda kita dan umat secara keseluruhan dari ancaman liberalisasi kehidupan dengan syariat Islam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar