Pinjol Menjamur, Rakyat Tersungkur, Peran Negara Mandul


Disampaikan : kamaludin

Warga Kota Bandung menceritakan dirinya menjadi korban pinjol ilegal.  BANDUNG, iNews.id - Ribuan warga Kota Bandung terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal. Salah satunya adalah AES yang meminjam kurang Rp3 juta, tapi harus mengembalikan Rp48 juta lebih. Ditemui di rumahnya, AES menuturkan kisahnya terjerat rentenir online tersebut. AES mengatakan, awalnya meminjam uang secara online di satu aplikasi, Pinjam Uang. Tapi ketika diklik, ternyata masuk ke tiga aplikasi berbeda sekaligus dan tidak ada konfirmasi sebelumnya., total pinjaman yang diajukan AES kurang dari Rp3 juta. AES tertarik karena pihak pinjol menjanjikan bunga rendah dan tenor 90 hari. Artinya relevan dengan kesanggupan AES yang merupakan karyawan swasta untuk membayar. "Pas begitu saya klik, ternyata dana sudah cair ke rekening dari tiga aplikasi berbeda, tapi tidak sesuai perjanjian. Uang yang masuk ke rekening saya kurang dari Rp3 juta," kata AES. "Saya terkejut karena tenornya pendek, cuman 7 hari. Saya kan bayar cicilan pokok ya. Akhirnya, tagihan jadi membengkak. Ada yang sampai Rp21.800.000. Total utang yang harus saya bayar Rp48 juta lebih," ujarnya. , AES pernah menerima ancaman lewat telepon dan pesan singat. "Saya udah ngobrol baik-baik, minta tenor diperpanjang. Mereka malah mengancam. Data saya disebar ke semua kontak saya di WhatsApp," tutur AES. AES mengatakan, pinjol ilegal sangat menyengsarakan masyarakat. Misalnya pinjam 1.600.000 tapi cair hanya Rp900.000 karena dipotong biaya admnistrasi yang besar. Selain itu tenor pendek hanya 7 hari dan jika telat membayar terkena denda sangat besar. Jadi saya bingung. Mau dibalikin lagi tapi dendanya gede. Akhirnya diteruskan. Saya merasa terjebak. Kirain bisa menolong kita di tengah pandemi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata justru menyengsarakan," ucapnya. Ditanya tentang tindakan tegas kepolisian terhadap pinjol ilegal di beberapa lokasi, salah satunya di Sleman, Yogyakarta yang dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jabar, AES merasa senang ada perhatian dari pemerintah. Di tengah pandemi, pasti banyak orang yang menggantungkan pinjaman online. Bukannya menolong malah menyengsarakan rakyat. "Senang, ada perhatian khusus dari pemerintah ya. Pinjol ilegal memang harus ditindak karena bukannya menolong tetapi menyengsarakan," ujar AES. Diberitakan sebelumnya, Unit V Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar menggerebek kantor perusahaan jasa pinjaman online (pinjol) ilegal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam penggerebekan tersebut, polisi menangkap 83 kolektor.  Penggerebekan tersebut berawal dari laporan korban pinjol ilegal dengan nomor laporan LPB/828/X/2021/SPKT/POLDA JABAR, tanggal 14 Oktober 2021 atas nama pelapor berinisial TM.  Pelapor yang juga korban pinjol ilegal tersebut tak kuat menahan tekanan para kolektor pinjol ilegal. Bahkan, akibat teror yang kerap dilakukan kolektor-kolektor itu, korban kini terbaring di rumah sakit akibat depresi. 

"Kami lakukan pendalaman, langsung dengan mencari keberadaan pinjol yang meneror korban," kata Direktur Ditreskrimsus Polda Jabar Kombes Pol Arif Rahman, Senin (14/10/2021).  Setelah melakukan pendalaman, ujar Kombes Pol Arif Rahman, akhirnya diketahui kantor pinjol ilegal yang mempekerjakan puluhan kolektor tersebut berlokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tim pun berangkat langsung dan meminta pengamanan ke Polda DIY.  "Tim gabungan langsung menggerebek sebuah ruko di wilayah Sambirono, Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kota Yogyakarta dan berhasil mendapati adanya praktik pinjol ilegal tersebut," ujarnya.  Dalam penggerebekan itu, tutur Direktur Ditreskrimsus Polda Jabar, petugas mendapati 83 kolektor tengah melakukan penagihan. Seluruh orang yang berada di dalam ruko itu ditangkap, berikut barang bukti 105 ponsel dan 105  perangkat komputer. Menurut Direktur Ditreskrimsus Polda Jabar, kantor pinjol yang digerebek pihaknya itu membawahi puluhan aplikasi pinjol yang mayoritas aplikasi pinjol ilegal. "Ada 23 pinjol ilegal dan satu yang terdaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," tutur Direktur Ditreskrimsus Polda Jabar.  ( www. Jabar.inews.id )

Belakangan ini aparat kepolisian rajin menggerebek kantor dan pelaku pinjaman online (pinjol) ilegal yang makin meresahkan masyarakat. Hal ini bermula dari Presiden Jokowi yang menyebut perkembangan fintech kian menjamur di tanah air. Ia mengatakan, Saya memperoleh informasi banyak penipuan dan tindak pidana keuangan telah terjadi. Saya mendengar masyarakat bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi oleh pinjaman online yang ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan pinjamannya.”

Sehari setelah pernyataannya, pihak kepolisian bergerak cepat. Melansir dari CNBC  (15/10/2021), dalam beberapa hari terakhir, aparat kepolisian berhasil melakukan menyisir sejumlah lokasi kantor pinjol ilegal.

Misalnya, kantor pinjol ilegal di Ruko Sedayu Square, Cengkareng, Jakarta Barat, kantor pinjol di ruko perumahan elite Kota Tangerang, hingga penggerebekan tujuh kantor sindikat pinjol ilegal di Jakarta. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri sebelumnya mengaku tengah menangani 370 kasus pinjol sepanjang periode 2020—2021.

Menjamur


Di tengah ekonomi sulit akibat pandemi, pinjol sering jadi cara tercepat masyarakat agar mudah mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat mudah tergiur dengan berbagai tawaran, seperti cepatnya proses pengajuan pinjaman, persyaratan mudah dan tidak berbelit-belit, dana bisa cair secepat kilat, tenor singkat, serta tidak adanya kewajiban memberi agunan.

Pemerintah mencatat ada 68 juta orang rakyat terlibat pinjol dengan total omset mencapai Rp260 triliun. Pemerintah mengaku sudah menindak pinjol ilegal dengan menutup 4.878 pinjol ilegal sejak 2018 melalui Kominfo. Pada 2021, pemerintah menutup 1.856 pinjol ilegal yang tersebar di berbagai website, Google Play Store, YouTube, dan Facebook, Instagram, hingga file sharing.


Hanya saja, mengapa baru sekarang bertindak tegas pada aktivitas pinjol yang menjerat masyarakat, padahal pinjol sudah lama menjamur? Sebelum disinggung Presiden, tidak ada atau jarang penindakan hukum terhadap rentenir yang meresahkan warga. Kini, kondisi rakyat terus tersungkur di tengah ekonomi yang makin hancur.

 Masyarakat

Banyak kisah pilu mewarnai kehidupan masyarakat yang terjebak dengan pinjol. Beban bunga yang tinggi dan menumpuk pada akhirnya membuat utang kian tak terkendali hingga mustahil terlunasi. Akibatnya, marak cerita mengenaskan dari rakyat yang terjerat pinjol. Ada yang stres hingga depresi, bahkan berakhir dengan bunuh diri dan berada di bui lantaran tak sanggup bayar bunga yang terlampau tinggi.



Maraknya pinjol berserta ribanya (bunga) yang selangit adalah indikasi impitan ekonomi masyarakat menuntut hadirnya lembaga kreditur online begini. Jangankan masyarakat, negara saja berutang dengan bunga tinggi kepada lembaga kreditur dunia, seperti Bank Dunia atau IMF.

Inilah kondisi masyarakat sesungguhnya. Utang menjadi jalan instan agar bisa bertahan hidup. Tak jarang pula mereka rela menggadaikan aset berharga demi memutar roda perekonomian rumah tangga. Sementara, peran negara dalam menyejahterakan masyarakat juga belum tampak totalitas.

Banyaknya fakta masyarakat yang berutang adalah indikator paling mudah bagaimana tingkat kesejahteraan dan kerentanan masyarakat terhadap angka kemiskinan. Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan ada tiga alasan masih banyaknya yang melirik pinjol, di antaranya adanya gap pengetahuan masyarakat dengan era disrupsi 4.0, krisis ekonomi,  dan kurangnya proteksi dari pemerintah atau OJK.

Peran Mandul


Maraknya akses pinjol menunjukkan kondisi ekonomi masyarakat berada dalam masa sulit, terutama di tengah pandemi, jelas mengalami kembang kempis. Pada 15/7/2021, BPS merilis laporan bahwa pada Maret 2021, 10,14% atau 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Tingkat kemiskinan ini sedikit turun dari September 2020, tetapi masih lebih tinggi daripada kondisi sebelum pandemi (September 2019). (smeru.or.id, 6/9/2021)

Pada masa pandemi, banyak terjadi penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Salah satu sebabnya ialah menurunnya pendapatan rumah tangga. Berdasarkan data dari smeru.or.id, sebanyak 75% rumah tangga mengalami penurunan pandemi. Dari sebab inilah bisa jadi masyarakat lebih memilih rela terjerat riba melalui pinjol demi menutup defisit anggaran rumah tangga.

Sementara itu, peran negara terbilang mandul dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Alhasil, pinjol kian merajalela dan kehidupan makin sulit. Padahal, secara fitrah setiap orang pasti mendambakan hidup sejahtera, mandiri dengan hartanya, bukan bergelimang dengan utang dan riba.

Maka dari itu, menindak tegas pinjol ilegal tidak akan menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Sebab, akar masalah dari berjamurnya pinjol belum terselesaikan tuntas, yaitu problem kesejahteraan akibat kehidupan ekonomi yang serba kapitalistik. Selama rakyat belum terjamin kebutuhannya, akan selalu ada peluang munculnya kreditur, baik individu, lembaga, ataupun perusahaan.

Perekonomian yang mengundang praktik-praktik riba tidak akan menjadikan negeri ini berkah. Yang ada menambah masalah yang tak ada habisnya. Butuh peran negara yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Dengan demikian, rakyat tak bergantung kepada dana pinjaman dan bisa terhindar dari utang riba yang mencekam

Malapetaka Riba


Banyak malapetaka yang menimpa manakala syariat tak terterapkan dalam kehidupan. Salah satunya adalah menyuburnya praktik riba dengan beragam cara. Tak beroleh pinjaman secara konvensional, masyarakat malah mendapat kemudahan pinjaman melalui cara digital. Celakanya, negara juga melegalisasi praktik ini dengan perizinan lembaga pinjol. Mau legal ataupun ilegal, tetap saja mengandung riba yang dapat mendatangkan bahaya bagi keberlangsungan hidup manusia.

Allah Swt. menegaskan haramnya riba dalam surah Al-Baqarah: 275, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”


Rasulullah saw. juga melarang riba dalam sabdanya, “Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, ‘Wahai, Rasulullah! apakah itu?’ Beliau bersabda, ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa hak, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina pada wanita beriman yang Ialai.'” (HR Bukhari-Muslim)


Oleh sebab itu, bagaimana mungkin tercipta negeri yang berkah dan membawa rahmat jika sesuatu yang jelas diharamkan malah dipraktikkan bersama? Inilah akibat tidak terterapkannya syariat dalam bermasyarakat dan bernegara. Hal yang jelas terlarang malah dilakukan secara berjemaah. Perkara yang semestinya menjadi kewajiban—yakni negara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat—malah terlalaikan.

Islam sudah jelas memberi panduan, yaitu menjauhi riba dan segera meninggalkannya jika telanjur ada di dalamnya. Apa daya, sistem sekuler menafikan ini semua. Penindakan tegas terhadap pinjol ilegal tidak akan pernah tuntas selama negara masih melegitimasi praktik dan muamalah riba.

Solusi Islam


Memahami akar masalah sangat penting agar solusinya tidak salah kaprah. Selama kemiskinan masih mendera, kesejahteraan belum terlaksana, dan penyedia pinjaman riba masih ada, akan selalu ada peluang dan kesempatan orang berutang riba. Selama sistem negara melegalkan riba, tidak ada jaminan rakyat tidak terjerat atasnya. Kisah pilu riba akan terus mendengung jika sistem kapitalisme masih bernaung.

Mewujudkan masyarakat bersih dari riba tidak cukup dengan gerakan individu atau kelompok. Butuh peran sentral negara dalam menjauhi  riba dengan segala bentuknya. Khilafah sebagai sistem pemerintahan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung. Negara Khilafah tidak akan melakukan utang riba, apalagi utang luar negeri.

Apabila Khilafah tegak di negeri yang memiliki utang luar negeri, negara hanya akan membayar pokoknya saja. Jika perusahaan swasta yang berutang, juga cukup membayar pokoknya saja oleh perusahaan yang bersangkutan. Jika rakyat yang memiliki utang, ribanya akan terhapus, hanya wajib membayar pokoknya saja. Penagihan pun dengan tetap mengedepankan akhlak dan adab Islam, sehingga pihak yang tertagih dan penagih tidak akan saling terzalimi satu sama lain.

Selain itu, ketika masyarakat membutuhkan dana, negara akan mengklasifikasikannya terlebih dahulu. Bila fakir miskin atau termasuk golongan mustahik zakat, akan mendapat dana zakat dan bantuan berupa sembako, sandang, pekerjaan, modal usaha, atau keterampilan. Semua ini akan terpenuhi dengan pengelolaan baitulmal.

Demikianlah, saat syariat terterapkan secara kafah, riba mustahil merajalela. Khilafah akan berupaya untuk mencegah dan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Ketika rakyat tercukupi, kesejahteraan menaungi, adakah alasan meminjam harta ke sana kemari?

Begitulah harmonisasi tatkala Islam benar-benar terlaksana sempurna. Negara akan berkah jika menjauhi dosa riba dan keharaman lainnya.

Allah Ta’ala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96). [MNews/Gz]


Posting Komentar

0 Komentar