Tes PCR, Bisnis Berbalut Kebijakan Publik


Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Tes PCR atau Polymerase Chain Reaction masih menuai polemik. Menurut pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan, harga untuk sekali PCR yang ditetapkan pemerintah cukup memberatkan. Sebelumnya, sepanjang pandemi terjadi harga PCR terus mengalami perubahan. Dalam sebulan terakhir saja, terjadi perubahan harga berulang kali. 

Seperti pada Oktober 2020, pemerintah melakukan pengontrolan harga PCR yang awalnya Rp 2,5 juta menjadi Rp900 ribu.  Selang tak berapa lama, kembali terjadi penurunan harga menjadi Rp495 ribu -  Rp525 ribu. Itu pun setelah mendapat kritikan dari masyarakat. Terakhir pada 27 Oktober 2021 lalu, pemerintah menurunkan harga PCR menjadi RP275 ribu-Rp300 ribu. Hal ini justru mendapat mendapat dobel penolakan dari pelaku usaha kesehatan. 

Menurut Randy H Teguh selaku Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, rumah sakit, klinik, dan lab dapat dikategorikan terdesak. Jika tak melakukan layanan PCR, mereka akan ditutup. Namun kalau melakukan, maka akan merugi. Ia meminta kepada pemerintah, agar pihaknya dilibatkan dalam penentuan harga tes PCR. (Kumparan.com, 13 November 2021)

Jika penetapan harga PCR yang ditentukan pemerintah merugikan pengusaha kesehatan, namun hal sebaliknya diungkap pengamat ekonomi Fuad Bawazier yang menilai ada banyak keuntungan di balik bisnis PCR. Menurutnya, perusahaan yang saat ini tengah bangkrut beralih menjadi pebisnis PCR karena mendapat proyek berlimpah. (eksbis.rmol,  26 Oktober 2021)

Peneliti ICW (Indonesian Corruption Watch) Wana Alamsyah mengatakan, berdasarkan hitungan kasar lembaganya keuntungan penyedia jasa PCR dihitung mulai dari Oktober 2020 sampai Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun. Sungguh angka yang sangat besar. (Tempo.co, 20 Agustus 2021). Jadi, bagaimana mungkin dikatakan buntung atau merugi, jika keuntungan yang didapat saja sangat fantastis.

Tentu saja, harga eceran tertinggi tes PCR merupakan pembagian para pengusaha kesehatan. Keuntungan yang didapat pun bernilai puluhan triliun. Belum lagi jika HET (harga eceran tertinggi)  tes PCR di lapangan banyak diakali, sehingga harganya bisa semakin mahal. Ditambah dengan adanya oknum-oknum penyedia jasa surat tanpa PCR, hal ini terjadi karena harga yang mahal dan lama keluar hasilnya. Pada akhirnya, semua ini menjadi ladang bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dan merugikan publik.

Semua ini terjadi, sebab  pemerintah yang menerapkan sistem kapitalisme dan hanya berfungsi sebagai fasilitator semata. Bukan sebagai penanggung jawab penuh setiap urusan rakyat. Pemerintah hanya menentukan harga PCR agar dapat terjangkau masyarakat, tapi tidak memberikan solusi tuntas. Seharusnya dari awal pandemi masuk ke Indonesia, pemerintah harus sigap dengan menerapkan lockdown wilayah yang terkena wabah. Memisahkan antara yang sakit dan tidak, agar wabah tidak menyebat luas ke wilayah lain. Pemerintah juga memfasilitasi yang sakit dengan memberikan pengobatan hingga tuntas tanpa dipungut biaya apapun alias gratis. Begitu juga dengan tes PCR, pemerintah sebagai pengayom rakyat sudah seharusnya menyediakan dan memberi pelayanan secara cuma-cuma pada masyarakat. Namun sungguh hal ini tidaklah terjadi, pemerintah justru abai dan membiarkan  sektor kesehatan dijadikan ladang bisnis oleh para pemilik modal demi meraup keuntungan yang berlimpah. 

Sebetulnya sektor kesehatan telah lama dikapitalisasikan di negeri ini. Sebelum pandemi berlangsung, telah tercium aroma bisnis di bidang kesehatan. Termasuk di awal pandemi,  semakin tampak jelas ajang bisnis melalui jual beli tes PCR dipertontonkan. Tentu saja hal ini bukti nyata sistem kapitalisme, melalui para pemodal untuk mengeksploitasi di sektor kesehatan yang merupakan hajat  dasar publik.

Sungguh keberadaan pihak lain yakni swasta, adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Dengan menerapkan good governance yang bermakna keterlibatan tiga pilar, yakni pemerintah, masyarakat  dan swasta. Keterlibatan swasta dalam pengelolaan negara, yang mengantarkan mereka pada turut serta membuat kebijakan publik secara legal. 

Faktanya, keberadaan swasta ini justru mengerdilkan peran pemerintah. Sehingga pemerintah tak mampu memberi pelayanan pada rakyat, sebaliknya malah melayani para penguasa atau pemilik modal besar.

Rakyatlah yang terus menjadi korban. Di saat pandemi berkepanjangan, kondisi ekonomi merosot tajam, pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyat. Kesejahteraan rakyat bukanlah prioritas utamanya dan tak adanya jaminan kesehatan bagi rakyat secara mudah, murah, bahkan gratis. Inilah ciri khas kepemimpinan kapitalistik, sungguh mengiris hati. Sebab, fokusnya hanya pada perbaikan ekonomi. Salah satunya pada sektor pariwisata, dengan membuka pintu lebar-lebar agar wisatawan masuk. Meskipun kita tahu Indonesia belum bebas dari Covid-19. Disinyalir juga ancaman virus varian baru yang siap mengintai masyarakat. Sungguh, ini bukanlah pemerintahan yang mampu kita harapkan untuk memberi kesejahteraan dan menjamin seluruh kebutuhan rakyat.

Lain hal dengan Islam. Sistem Islam yang mempunyai aturan sempurna dan memberi solusi tuntas di setiap problematika kehidupan. Sebab aturan dalam Islam berasal dari Allah Sang Maha Pencipta. Aturan ini diturunkan melalui malaikat Jibril yang disampaikan kepada hamba-Nya yang mulia, yakni Rasulullah saw.  Aturan ini menjadi pedoman bagi umat muslim yang mendambakan hidup bahagia. Yakni Al-Qur’an dan As-Sunah yang dibawa Baginda  Rasul untuk mengatur seluruh perkara manusia, alam semesta, dan kehidupan secara efektif dan solutif.

Begitu pun dalam sektor kesehatan, Islam memberi pelayanan terbaik dengan kualitas dan harga yang murah, bahkan gratis. Rakyat tak dibebani sedikit pun dengan membayar biaya kesehatan. Meskipun gratis, namun pelayanan tetap maksimal diberikan. Sebab hal ini merupakan kewajiban negara, untuk menjamin kebutuhan rakyat termasuk kesehatan. Tidak mengalihkan tanggung jawab pada pihak lain. Sebagaimana sabda Nabi saw.: “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain di dalam Islam.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Hadis ini menjelaskan, negara harus menjamin keselamatan rakyat dan bertanggung jawab penuh untuk menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat. Tidak mempertaruhkan keselamatan rakyat, dengan mengalihkan riayah kepada pihak tertentu yang punya tujuan meraup keuntungan materi.

Dalam Islam, khalifah yakni pemimpin dalam Islam, akan menyediakan dana yang diambil dari Baitul mal atau pajak darurat dari orang kaya. Peruntukannya disalurkan dalam menjamin kebutuhan rakyat dalam sektor kesehatan.  Sebab khalifah memahami betul bahwa setiap nyawa manusia sangatlah  berharga di hadapan Allah Swt.

Keberadaan tes PCR merupakan jaminan yang harus diberikan pada rakyat secara gratis. Karena hal ini merupakan bentuk kewajiban negara yang merupakan hak rakyat. Semua ini akan diterapkan secara sempurna dalam naungan negara Islam, yang menerapkan Islam secara kafah.

Dengan Islam, akan datang membawa keadilan dan rahmat bagi seluruh alam. Dengan ini mampu memberi kesejahteraan nyata yang didambakan umat. Karena kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari keadilan ekonomi Islam yang hanya mampu diterapkan negara Islam. Yakni ketika semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat terpenuhi.

Oleh karena itu, dengan menerapkan Islam di setiap negeri muslim melalui tegaknya kepemimpinan Islam, satu-satunya jalan yang mampu menjamin kesehatan dan kesejahteraan bagi rakyat. 

Wallahu a’lam bish shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar