Waithood, Fenomena ataukah Qadha?


Oleh : Ufairoh Maliha Shofwah, S.Gz. 

Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan. Agar keduanya merasa tentram dan penuh cinta sebagai bentuk ibadah pada Allah semata. Menikah berarti membuka gerbang ibadah terpanjang selama hidup, dengan satu orang yang sama sesuai dengan misi dan tujuan masing-masing. Oleh karenanya, menapaki jalan pernikahan membutuhkan ilmu yang mumpuni, tidak hanya sebatas usia biologi dan materi. Keduanya bukan jaminan langgengnya sebuah ikatan pernikahan. 

Ilmu pernikahan merupakan salah satu hal mendasar dalam membangun sebuah pernikahan. Minimnya ilmu pernikahan sedikit banyak menjadi ancaman keutuhan rumah tangga, bahkan sebelum sampai pada tujuan pernikahan. Pernikahan dan perceraian usia dini adalah contoh nyata rusaknya pernikahan akibat minimnya persiapan, khususnya ilmu pernikahan. Beberapa tahun silam, kejadian pernikahan pada selebgram yang masih belia harus berakhir di meja pengadilan agama. 

Menikah di usia muda ibarat dua sisi mata pisau, terlebih jika dilakukan oleh ‘tokoh idola’ di kalangan mereka. Perangai agamis dengan penghasilan yang menjanjikan tentunya memantik dan menjadi contoh cara penyaluran gharizah nau secara halal. Melalui pernikahan, hal-hal yang diharamkan otomatis menjadi halal. Sisi lainnya menyoroti aspek kesiapan, dimana umumnya pada usia ini, belum dapat dipastikan memiliki kesiapan mental dalam menghadapai berbagai permasalahan. Tidak sedikit justru yang ‘kalah’ pada masalah akan memilih perceraian menjadi solusi. 

Celakanya, pelaku memiliki label syar’i. Faktor agama cenderung disangkut pautkan. Padahal, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya perceraian dikalangan pasangan muda. Mirisnya, kondisi ini justru menggiring opini masyarakat untuk menunda pernikahannya.  Hal ini terjadi pada mereka yang sudah mampu maupun yang belum.

Secara umum, alasan untuk menunda pernikahan mengerucut pada faktor ekonomi, yakni belum memiliki penghasilan tetap, masih memiliki tanggungan lain (sekolah, mengurus orangtua, atau amanah kerjaan lainnya), dan terakhir karena ingin fokus berkarier. Alasan ini diperbolehkan, jika konteksnya pada pribadi/individual. Bahkan dicontohkan, ada beberapa sahabat Rasululllah yang menunda pernikahannya semata karena ibadah semata. Namun, nampaknya berbeda dengan kondisi saat ini. Insecurity kaum muda untuk menikah seolah hal yang wajar hingga memilih ‘persiapan’ pra pernikahan sebagai jalan keluar.

Jika digali lebih dalam, akar masalahnya terdapat pada beberapa aspek. Di antaranya, pola pikir yang salah dalam memandang sebuah hakikat pernikahan. Juga, adanya rangsangan fenomena bahwa menikah itu berat. Selain itu, kasus-kasus perceraian pasangan muda yang ter blow up. Hingga,  standar pribadi yang ditentukan masayarakat, seperti harus kaya dan mapan, berpenghasilan tinggi, tampan, dan berasal dari keluarga terpandang. Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi fisik dan psikis sehingga merasa takut akan ‘gagal’ dan tidak bahagia dalam pernikahan.

Nyatanya, pikiran-pikiran tersebut adalah akibat kekeliruan dalam menilik makna pernikahan dalam sudut pandang Islam. Muara akar masalah dari fenomena ini akibat dari bercokolnya sistem ekonomi kapitalisme yang mempengaruhi pola pikir kaum muda. Menganggap hal terpenting dalam sebuah pernikahan didasarkan pada pemenuhan materi semata, tanpa menomor satukan agama dan ilmu pernikahan. Patokan dalam menentukan langgeng tidaknya, berkah tidaknya sebuah pernikahan berdasar hanya pada pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Kesalahan dalam berpikir tersebut hendaknya diluruskan sebab pernikahan merupakan ibadah terpanjang sekaligus penggenap agama seseorang. 

Menikah atau menunda  adalah sebuah keputusan yang harus dipikirkan secara matang. Hendaknya, kaum muda meluruskan niat dan memahami hakikat pernikahan sebagai suatu pilihan dalam beribadah pada Allah. Serta, mereka berupaya memahami bahwa setiap pilihan harus diputuskan dengan bijak, menimbang baik-buruknya. Sebab, hal ini akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Kondisi ini tentu berlaku bagi yang memilih menunda pernikahan. 

Penundaan pernikahan bukan semata alasan klasik belum mapan ataupun kemiskinan, melainkan memang sedang berada dalam amanah, seperti berbakti kepada orangtua, menyelesaikan pendidikan, atau alasan syari’ lainnya. Sehingga,  dalam proses menunda pernikahan tetap mendapat pahala dan kebaikan serta terhindar dari maksiat yang mungkin timbul akibat menyengaja dalam menunda pernikahan. 

Sistem kapitalisme yang mengakar saat ini disadari atau tidak menjadi masalah mendasar dalam berkembangnya kesalahan pola pikir kaum muda terkait pernikahan. Oleh karenanya, kaum muda hendaknya diajak untuku menganalisis dan memahami rangsangan secara sistemik tersebut karena sistem inilah yang membuat pernikahan seolah-olah terasa berat. Tradisi, budaya, atau adat istiadat pada terdapat sistem ini menjadikan pernikahan adalah barang mewah, mahal, dan susah dibandingkan maksiat yang dinamakan pacaran. 

Potret sulit dan mahalnya pernikahan dalam benak kaum muda, nyatanya turut diaminkan dengan absennya negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk kemudahan dalam mengurus pernikahan. Era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, merupakan salah satu era kegemilangan Islam dimana saat itu tidak ditemukannya mustahik zakat. Setiap pembagian zakat selalu kembali lagi ke Baitul Mal sehingga untuk mengkosongkan kas tersebut dicarilah warga yang memiliki hutang untuk dilunasi dan muda-mudi yang belum mampu secara finansial, diberikan modal untuk menikah sehingga menghindarkan mereka dari maksiat kepada Allah. Sejarah ini hendaknya menjadi pelecut sebuah negera untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Tidak sebatas pada sandang, pangan, dan papan, melainkan hingga menyediakan modal untuk persiapan pernikahan.

Wallahu A’lam bis-Showwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar