BOLEHKAH MEMAKNAI ZAKAT SECARA KONTEKSTUAL?


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (PSIPP ITB-AD) dan penulis buku "Zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak", Yulianti Muthmainnah menjelaskan perbedaan pusat studi yang ia nahkodai dengan pusat studi gender atau pusat studi perempuan pada umumnya bahwasannya sekalipun PSIPP fokus pada isu Islam, perempuan dan (ekonomi) pembangunan, tetapi juga memastikan dan mendorong fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah berpihak pada perempuan.

Lebih lanjut ia mengatakan “Kita membahas buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, ini juga bagian mendorong lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa, itu bisa membahas dan mengeluarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan, bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak." (suaramuhammadiyah.com,  08/11/2021)

Nevey V. Ariani, Direktur Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah mengatakan, 
korban kekerasan bisa menjadi penerima zakat karena termasuk dalam kategori riqab atau orang-orang yang teraniaya. Ia mengingatkan supaya tidak memaknai konsep riqab secara tekstual.

“Riqab ini dalam konteks sekarang tidak boleh lagi dipahami secara tekstual. Ini dalam bukunya Mbak Yuli juga menarik terkait hal tersebut. Yaitu, orang-orang yang kok tereksploitasi secara ekonomi. Korban eksploitasi seksual dapat dikategorikan sebagai riqab yang berhak menerima zakat. (republika.com, 16/11/2021)

Itulah salah satu wacana yang sedang disosialisasikan terkait pendistribusian zakat untuk korban kekerasan seksual ditengah maraknya kampanye tentang moderasi beragama yaitu, mengkampanyekan cara beragama yang lebih sesuai terhadap perkembangan saat ini dan tidak anti terhadap nilai-nilai barat.

Konsep yang ditawarkan dalam moderasi beragama adalah supaya bisa memahami teks-teks agama atau nash-nash syariah dengan pertimbangan  kemaslahatan, dan tidak hanya memaknai secara bahasa saja. Disamping itu, kita harus membuat bermacam  kemajuan dan tanggap terhadap kemajuan dengan cara berani menafsirkan nash-nash syariat dan tidak hanya terpaku pada penafsiran yang telah disampaikan oleh para mufasir dan fukoha yang mu'tabar, yang diakui oleh Islam. 

Karena itu, ide melayakkan zakat untuk korban kekerasan seksual adalah medan yang mereka anggap sebagai jihad, sehingga harus ada lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa.

Untuk itu perlu segera membahas, menyimpulkan dan mengeluarkan fatwa yang bisa disosialisasikan ke masyarakat bahwa korban kekerasan terhadap perempuan dan anak itu termasuk salah satu yang berhak menerima zakat atau biasa disebut sebagai mustahiq zakat.

Selain itu, diantara 8 asnaf yang berhak menerima zakat adalah budak (riqob). Riqob dalam konteks sekarang tidak lagi boleh dipahami secara tekstual, sehingga, orang-orang yang teraniaya, terdiskriminasi, tereksploitasi secara ekonomi, dapat dikategorikan sebagai riqob. Korban eksploitasi seksual juga dapat dikategorikan sebagai riqab, yang berhak menerima zakat.

Wacana tersebut diatas adalah pendapat yang menyalahi pendapat ulama-ulama yang mu'tabar.

Zakat adalah salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam, seperti salat, puasa, dan haji. Zakat hanya wajib atas kaum muslim, Allah SWT berfirman yang  artinya "Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk". (QS Al-Baqarah : 43)

Demikian pula hadis-hadis Rasulullah SAW, di antaranya: “Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah SWT telah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, untuk kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR Ibnu Majah dan Abu Daud).

Dalam rumusan fikih, zakat diartikan sebagai sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu. Kewajiban zakat tidak mengikuti keperluan negara serta kemaslahatan umat. (Al Amwaal fii Daulah Al-Khilafah, Abdul Qodim Zallum)

Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah (murni), karenanya zakat mempunyai ketentuan khusus; baik menyangkut wajib zakat (muzakki), yang berhak menerima (mustahiq), pemungut (‘âmil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya. 

Hukum terkait dengan zakat sebagaimana ibadah lainnya bersifat tawqifiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah. Karena itu, aturan mainnya harus datang dari Allah, Zat Yang Maha Pencipta, bukan dari yang lain.

Memang benar bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan di bawah pengawasan pemerintah, tetapi petunjuknya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Karena itu memaknai masalah zakat secara kontekstual adalah  merupakan bagian dari agenda moderasi beragama yang wajib kita kritisi, kita waspadai dan kita tolak, karena pandangan-pandangan tersebut bukan berasal dari cara memahami Nash syariat yang dibolehkan.

Wallahu a'lam bi ash-showab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar