Oleh : Kurnia Agustini, S.Pd
Alhamdulillaah, rasa syukur terpanjat dalam hati ketika angka COVID di Sumedang semakin menurun. Walaupun tetap harus waspada, dengan melakukan prokes dan vaksin, tetapi setidaknya beberapa aktivitas sudah berjalan normal. Kegiatan ekonomi mulai hidup kembali, juga sekolah kembali dibuka untuk dipakai belajar oleh siswa, secara bertahap.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi ini. Diantaranya adalah merasakan betapa berharganya waktu bersama dengan keluarga dan orang tercinta, besarnya peran keluarga, pentingnya pola hidup sehat, hingga perlunya evaluasi paradigma pembelajaran di sekolah. Tentunya, akan menjadi sebuah keberuntungan, jika setelah musibah, kita bisa memperoleh hikmah untuk dapat memperbaiki, mewaspadai, atau meningkatkan apa yang sudah kita miliki.
Bagi pemerintah sendiri, teruji kesiapan dalam pengurusan rakyat di saat pandemi. Dana yang tersedia beserta sumber dananya. Pula pemilihan kebijakan yang paling tepat dan efektif guna menanggulangi permasalahan yangmuncul tersebab pandemi. Oleh karena, inti masalahnya bukan sekadar dibuat kebijakan, akan tetapi harusnya kebijakan yang benar-benar cerdas, solutif dan mengedapankan kemaslahan rakyat. Bahwa pemerintah adalah pengurus dan pelayan rakyat, sejatinya harus tercermin dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan untuk masyarakat.
Adalah masalah di dunia pendidikan niscaya muncul di saat pandemi. Akan tetapi seberapa kuat asas pendidkan, jelasnya tujuan pendidkan, serta tepatnya rancangan kurikulum , menentukan berapa lama masalah akan bisa diselesiakan, atau tuntasnya masalah diselesaikan, atau justru bahkan sebaliknya. Masalah tidak kunjung selesai, bahkan muncul permasalahan baru.
Beberapa masalah di dunia pendidikan yang tampak menguat di saat pandemi COVID adalah :
Pertama, ketersediaan dana pendidikan yang memadai adalah hal yang mutlak. Bagaimana sebuah bangsa ingin maju, kalau dana pendidikan tidak menempati porsi yang besar di rancangan APBN. Apalagi di saat pandemi, siswa bukan hanya butuh dana untuk kuota. Juga membutuhkan gawai yang kapasitas kemampuannya bisa mengakomodir kebutuhan pelajarannya. Terlebih jika dikaitkan bahwa negara ini sedang menuju era digital, ingin memunculkan banyak smart city, maka subsidi yang dilakukan pemerintah juga harus melangkah ke arah penyediaan alat yang murah untuk mendukung hal tsb.
Kedua, kelemahan standar, tujuan, dan arah pendidikan perlu diubah. Tujuan utama dan pertama pendidikan Indonesia seharusnya adalah insan yang bertaqwa dan berakhlak mulia. Jadi, seluruh upaya kurikulum, sekolah, dan guru ketika merancang rencana pembelajarannya dipenuhi oleh ruh seperti itu. Bukan ruh kapitalis materialis yang hanya mementingkan tercapainya kuantitas ilmu dan nilai tinggi berupa angka-angka. Bukan hanya mengedapankan kemampuan sains dan teknologi, tapi negatif dalam bersikap. Ukuran suksea ditanamkan ukurannya tidak semata dari pencapaian materi. Maka, kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dipenuhi oleh setiap mata pelajaran akan turut bergeser nuansanya yaitu bagaimana membentuk siswa yang berakhlak mulia. Dampak dari fokus pada penguatan akhlak siswa dalam setiap pelajaran, maka akan melahirkan motivasi kuat pada siswa bahwa belajar bukan hanya mendapat ilmu. Melainkan pula sebagai pelaksanaan kewajiban yang bila dilalaikan berdosa. Maka dengan motivasi itu, tidak ada alasan siswa malas belajar daring, atau tidak bisa belajar di rumah, atau tidak bisa belajar dari lingkungan sekitarnya. Siswa akan senantiasa semangat belajar dengan siapapun dan dimanapun. Akibat lainnya tidak ditemukan lagi sikap siswa yang tidak santun, karena seringnya berinteraksi dengan gawai, bukan gurunya.
Ketiga , kesadaran di masyarakat bahwa keluarga adalah lingkungan belajar utama bagi siswa, sangat penting. Keluarga juga adalah sebuah benteng pertahanan pertama dan utama pembentuk mental siswa. Saat pembelajaran daring, dimana siswa belajar banyak di rumah, maka peran orangtua lebih banyak difungsikan daripada sekolah dan guru. Orangtualah yang lebih banyak mengontrol dan memotivasi anak di rumah. Sayangnya, banyak didapatkan fakta, orangtua mengeluh. Mereka tidak bisa berbicara dengan anak dan tidak mampu memotivasi anak. Muncullah pernyataan dari para orangtua bahwa anak lebih takut, hormat, dan menuruti gurunya. Padahal, tentunya kasih sayang dan tanggungjawab akan lebih besar diberikan orangtua dibanding guru. Maka, dari sisnilah orangtua harus kembali mengingat untuk dapat mengoptimalkan peran pentingya dalam menciptakan lingkungan pertama dan utama yang kondusif untuk pembelajaran anak di rumah.
Bersyukurlah, maka akan ditambah nikmatmu. Orang yang bersyukur adalah orang yang bisa belajar dari kekurangan dan kesalahan. Semoga pandemi cepat berlalu, dan kita selalu bisa belajar dari setiap musibah yang menimpa, agar pendidikan Indonesia dapat nyata memajukan bangsa.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar