GAGAPNYA NEGARA TANGANI BENCANA


Oleh : Ade Rosanah (Aktivis Dakwah)

Indonesia kembali berduka setelah pada Sabtu 4 Desember 2021 Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur memuntahkan abu vulkanik ke pemukiman warga di sekitaran Gunung Semeru. Masyarakat panik dan ketakutan karena guguran awan panas yang menerjang rumah-rumah mereka. Sehingga warga terpaksa mengungsi ke tempat yang aman. Hingga minggu (5/12) jumlah pengungsi yang tercatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencapai 1.300 jiwa. Sebanyak 5.205 jiwa terdampak guguran awan panas dan sebanyak 14 orang meninggal dunia pada sabtu (4/12) yang terdata oleh BPBD Kabupaten Lumajang. Sampai saat ini BPBD terus melakukan pendataan jumlah korban terdampak dan perkembangan jumlah pengungsi, (CNN, 6/12/2021).

Erupsi Gunung Semeru terlihat seperti peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Karena terlihat ketidaksiapan dalam menghadapi erupsinya Gunung Semeru. Padahal, menurut Andiani sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan sudah dilakukan peringatan dini bahaya erupsi pada 69 gunung api aktif yang dipantau PVMBG. Guguran lava pijar di lereng Gunung Semeru sudah terjadi pada 2 Desember 2021. Akan hal itu sudah diberitahukan melalui WhatsApp Group yang terdiri dari Pemda, BPBD dan relawan oleh PGA (Pengamat Gunung Api) di pos jaga sekitar Semeru. Kemudian petugas PGA memberi peringatan kepada masyarakat agar waspada dan tidak beraktivitas di empat titik rawan untuk menghindari guguran awan panas yang terjadi, (KOMPAS, 5/12/2021).

Erupsi Gunung Semeru  merupakan bencana alam yang tidak bisa dihindari. Karena sudah menjadi bagian dari ketetapan Allah swt. Akan tetapi, hal ini bisa diantisipasi sesuai lingkaran yang dikuasai manusia. Agar dampak yang akan dirasakan dari bencana tidak terlalu besar. Artinya semua pihak khususnya pemerintah sebagai instansi tertinggi negara harus memiliki kesiapsiagaan mengenai penanganan seperti apa yang harus dilakukan sebelum dan pasca bencana yang terjadi di negerinya. Oleh karenanya, diperlukan mitigasi bencana untuk menghadapi setiap bencana alam yang sudah akrab bagi masyarakat Indonesia.

Tidak dipungkiri Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ratusan gunung aktif atau disebut juga dengan Ring of fire. Indonesia pun terletak  diatas pertemuan 3 lempeng tektonik aktif dunia sehingga Indonesia rawan terjadi bencana alam. Dengan latar belakang kondisi geografis dan geologis seperti itu harusnya pemerintah wajib memiliki manajemen mitigasi bencana yang matang. Tetapi nyatanya,  pemerintah kurang memerhatikannya. Meskipun Indonesia pmemiliki mitigasi bencana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2008 pasal 1 ayat 6. Dan ada 2 macam mitigasi yang dilakukan. Yaitu pertama, Mitigasi Struktural seperti melakukan pembangunan berbagai prasarana fisik dan teknologi misalnya alat pendeteksi bencana. Kedua, Mitigasi Nonstruktural seperti pembuatan peraturan Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU PB).

Namun faktanya, pemerintah abai mengevaluasi sistem mitigasi bencana. Sistem mitigasi tidak dijalankan dengan baik oleh negara. Alhasil, bencana yang terjadi tidak bisa diatasi dengan cepat dan pemerintah terkesan lambat dalam menanganinya. Akibatnya banyak korban yang meninggal dunia karena minimnya pengurusan dan bantuan, serta kerugian materi yang begitu besar.  Akhirnya lembaga-lembaga swasta yang bergerak di bidang penanggulangan bencana, baik para relawan maupun warga bahu membahu menangani bencana secara bersama-sama.

Masyarakat yang tidak terdampak bencana pun hanya bisa fokus membantu melalui do'a dan melakukan penggalangan dana untuk para korban bencana. Dengan dilibatkannya pihak-pihak di luar struktur kepemerintahan menjadi bukti bahwa negara saat ini gagap dalam mengatasi berbagai bencana alam yang terjadi. Sedangkan dalam perspektif Islam, meskipun manajemen bencana alam dengan metode yg digunakan hampir sama dengan yang diterapkan negara saat ini, tetapi dalam sistem kepemerintahan Islam, ketika di suatu wilayah terkena bencana hal yang pertama dilakukan adalah segera bertaubat kepada Allah swt. Karena bencana yang Allah turunkan merupakan sebuah bentuk teguran dari Nya atas kemaksiatan yang terjadi. Dengan demikian, akan menciptakan kondisi ruhiyah masyarakat dan kesadaran di level individu, masyarakat dan negara. Supaya ketiga level tadi senantiasa melakukan muhasabah dan menjaga ketaatan pada syariah.

Negara dalam Islam berusaha semaksimal mungkin dalam menangani bencana alam yang terjadi. Melakukan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan. Semua itu sebagai bentuk ikhtiar yang dilakukan untuk meminimalisir dan menghindari keburukan yang akan ditimbulkan nantinya. Kebijakan pemimpin atau khalifah pun diambil berdasarkan nash syariah. Karena sejatinya pemimpin dalam Islam adalah sebagai pelayan umat. Maka wajib bagi khalifah meri'ayah segala urusan rakyatnya. Sehingga ketika terjadi bencana tidak ada kesengsaraan besar bagi manusia dan hewan yang sejatinya sebagai mahluk penghuni bumi ini.

Wallahu'alam...




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar