Ibu Berilmu, Anak Bermutu


Oleh: Eli Yanti (Lingkar Studi Muslimah Bali)

Pernah dengar tidak, kalau kecerdasan anak adalah turunan dari kecerdasan ibunya? Semakin ibunya cerdas, anak pun juga cerdas. Beberapa penelitian menyatakan demikian karena ibu mewariskan kromosom X secara genetik kepada anaknya (halodoc.com, 4/3/2021).

Maka tidak heran sebagian wanita akan rela mengenyam pendidikan tinggi untuk bekalnya mendidik anak-anak mereka. Mengeyam pendidikan tidak harus kuliah atau kursus ke luar negeri, adakalanya kursus di rumah atau mengikuti pelatihan pun bisa menambah pengetahuan. Disinilah pentingnya ilmu bagi seorang ibu.

Namun sebagian yang lain, ada seorang ibu yang menganggap tidak penting lagi baginya menuntut ilmu. Dalam benaknya, cukup hanya dengan menitipkan anaknya saja di pesantren ataupun pada guru di sekolahnya, si anak sudah bisa mendapat ilmu.

Sejatinya tidak ada masalah jika si ibu ingin menitipkan anaknya di pesantren ataupun gurunya. Mungkin karena si ibu merasa tidak mampu dalam memberikan ilmu pada si anak. Namun yang menjadi permasalahan adalah rasa cukup dan tidak penting lagi menuntut ilmu bagi si ibu ketika dirinya sudah bergelar jadi ibu rumah tangga. Merasa sudah terlalu sibuk dengan urusan rumah hingga ia tidak memberi waktu untuk menggali ilmu.

Inilah persepsi buruk yang harus dibuang dalam pikiran para ibu. Ketika persepsi menuntut ilmu hanya ada ketika masa anak-anak sampai remaja saja, maka masa dewasa akan dipenuhi dengan tuntutan kerja dan kerja saja.

Perlu disadari bahwa seorang ibu adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya sampai kapanpun. Saat anak terlahir ke dunia, ia tidak bisa apa-apa. Si ibulah yang membimbing, mengajari, dan mengawasinya hingga ia tumbuh dan mengerti banyak hal. Itulah alasan bahwa seorang ibu harus tetap menuntut ilmu meski anak-anaknya nanti telah dewasa dan bisa hidup mandiri.

Dengan berbekal ilmu, khususnya ilmu agama, seorang ibu akan paham bahwa dirinya harus bisa menanamkan aqidah Islam secara mendasar sejak dini kepada putra-putrinya agar tumbuh menjadi muslim yang kuat dan kokoh aqidahnya dan tidak mudah terbawa oleh paham kapitalisme dan liberalisme yang rusak dan merusak.

Ketika si anak paham bagaimana ia harus berperilaku di dalam kehidupannya, si ibu akan tenang untuk melepaskannya bergaul dan mengarungi kehidupan di luar rumah. Memahami peran sosial serta ikut berkontribusi dalam kebaikan dunia akhirat.

Oleh karena itu, tidak mungkin ada kasus seorang anak yang berbuat keji dan mempermalukan nama keluarganya. Jika terjadi demikian pastilah hati ibu adalah paling pertama yang hancur karena melihat kelakuan anaknya tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus pelecehan seksual terhadap keluarganya sendiri atau orang-orang terdekatnya. 

Dengan demikian, untuk menghindarii hal yang tidak diinginkan, semua pihak harus turut serta mengatasinya. Edukasi dan bimbingan harus dilakukan mulai dari pihak keluarga, lingkungan masyarakat serta Negara sebagai penjamin pelaksanaan hukum.

Semua ini pasti akan berhasil jika semua pihak berusaha semaksimal mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin jika diniatkan untuk menciptakan generasi-generasi unggul dan bermutu secara aqliyah dan nafsiyahnya, serta bertakwa kepada Allah sebagai jalan menuju keridhaanNya.

Wallahu a’lam bish showab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar