Oleh: Rusmiati (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Setiap wanita pastinya mendambakan suami yang sholeh, setia, pengertian, berilmu dan bertanggung jawab. Singkkatnya, ia adalah suami yang sempurna. Namun suami itu manusia, bukanlah malaikat. Maka tak mungkin ada sosok suami yang benar-benar sempurna, pasti dirinya memiliki kekurangan atau kelemahan tertentu. Begitu juga dengan istri.
Itulah sebabnya adanya sosok istri sebagai pendamping suami diharapkan bisa menjadi penyempurna dan pelengkap di keluarganya. Hal ini pun perlu dipupuk agar antara suami dan istri bisa bekerja sama membangun rumah tangga yang sakinah. Namun tidak menutup kemungkinan jika sering terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil diantara suami dan istri.
Pertengkaran atau perselisihan bisa terjadi karena beberapa alasan. Namun perselisihan itu paling dominan terjadi karena komunikasi antara suami dan istri yang tidak berjalan dengan mulus. Perbedaan pendapat bisa menyebabkan komunikasi antar pasangan menjadi renggang bahkan saling mendiamkan. Banyak istri yang akhirnya lebih memilih untuk berdiam dari pada mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.
Maka dari itu untuk menghindari konflik yang berlanjut, bagaimanakah Islam memandang seorang istri yang mendiamkan suaminya? Meskipun dalam rangka menasehati, apakah hal tersebut diperbolehkan?
Sebenarnya hubungan suami istri itu sendiri merupakan sebuah hubungan yang sangat sakral dalam syari'at Islam. Dengan adanya ikatan pernikahan yang terjalin di antara keduanya menjadikan kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ الَّذِيۡ عَلَيۡهِنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌحَكِيۡمٌ
Artinya: “Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas, tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka, Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana”. (TQS Al-Baqarah :228)
Kelebihan suami terhadap istri tersebut dikarenakan suami memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada istri, menjaga kehormatan anggota keluarganya, dan yang paling besar amanah si suami adalah bertanggungjawab penuh atas seluruh aktivitas yang dilakukan oleh istri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, suami juga memiliki hak untuk mendapatkan ketaatan dari istri dan anak-anaknya.
Meskipun demikian, dalam hubungan suami istri perlu sering komunikasi dalam pembagian tugas di rumah ataupun musyawarah hal-hal prinsipal untuk mengetahui keputusan dan kebijakan yang terbaik. Memang tak bisa dipungkiri jika seringkali terjadi perbedaan pendapat dalam suatu keputusan dan pada akhirnya saling tidak menyapa dan diam seribu bahasa.
Sikap mendiamkan saudara sesama muslim dalam syari'at Islam hukum asalnya ialah haram apabila melewati batas tiga hari. Sama halnya dengan suami, jika saling mendiamkan selama lebih dari tiga hari, bisa jadi akan terjadi keretakan dalam rumah tangga. Permasalahan semakin rumit dan runyam.
Dengan demikian, tindakan seorang istri yang mendiamkan suaminya lebih dari tiga hari sangatlah tidak dibolehkan. Bisa-bisa istri kehilangan ridho suaminya dan ini tentu mengundang amarah Allah juga. Sebaiknya jika tindakan mendiamkan adalah tindakan yang ingin diambil dengan tujuan memberi ruang dan waktu untuk muhasabah, maka lalukan kurang dari tiga hari. Maka hal ini diperbolehkan apabila dilakukan dengan maksud untuk menghindari pertengkaran yang sia-sia.
Rasullullah saw., bersabda,
إِذَاغَضِبَ أَحَدُكُمۡ فَلۡيَسۡكُتۡ
Artinya: "Apabila seseorang dari kalian marah, hendaklah ia diam." (HR.Bukhori)
Setiap pasangan suami istri sebaiknya mengedepankan komunikasi dari hati ke hati dengan penuh kesadaran dan saling memaafkan. Mengingatkan juga bahwasanya marah dalam Islam adalah perbuatan yang dilarang, karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Al-Quran dan Hadits menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menahan amarah. Jika diam saja tidak cukup untuk meredakan amarah di dalam diri, maka cobalah untuk berganti posisi. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang artinya: "Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula, maka berbaringlah." (HR.Abu Daud)
Selain diam dan berganti posisi, ada baiknya untuk coba mengambil air wudhu. Air wudhu selain berfungsi untuk membersihkan diri juga memiliki manfaat untuk membersihkan hati. Ketika mengambil air wudhu, bisa saja melupakan hal-hal buruk yang ingin kita lakukan ketika sedang marah. Emosi marah merupakan sifat syaitan yang tercipta dari api. Untuk meredakan api hendaknya basuh dengan air, yaitu air wudhu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Sesungguhnya amarah itu dari syaitan dan syaitan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu." (HR.Abu Daud)
Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar