Kekerasan Seksual Buah Kebebasan Kapitalisme Liberal


Oleh : Rizka Adiatmadja (Penulis dan Praktisi Homeschooling)

Pacaran deritanya tiada akhir, siksaan batin yang melahirkan getir. Kehilangan nyawa menjadi taruhan terakhir. Rentetan kehinaan harga diri, kaum perempuan yang merugi, seperti argometer taksi yang begitu cepat berputar dan beraksi. Di saat dalih pendekatan dan saling mengenal ditautkan dengan pacaran, malapetaka akan semakin mengintai dan memilukan. 

Kebebasan memilih jalan hidup, berkeputusan, dan berpendapat, membuat muda-mudi banyak tersesat. Tidak memahami bahaya pacaran, begitu mudah menjatuhkan hati dan berikrar sehidup semati. Hubungan tak sehat terumbar, sehingga aib-aib pun mudah menyebar. Hamil di luar nikah, kekerasan seksual, aborsi, depresi,  hingga berakhir bunuh diri.

 Ikatan yang dijalinkan secara haram, telah banyak terbukti melahirkan banyak kondisi menyeramkan. Namun, satu kejadian buruk tak melahirkan efek jera bagi yang menyaksikan. Malah semakin bertambah dan menciptakan generasi berpemahaman sampah. Ironisnya berbondong-bondong membela kebebasan yang sudah begitu banyak melahirkan cela.

Dari mana semua berawal dan berpangkal? Jawabannya karena ketiadaan aturan Allah yang mengikat membuat perilaku manusia tak terkendali. Saat kiblat sistem hidup manusia bercokol pada kapitalisme, pemahaman yang dicekoki sekularisme, kepribadian yang terpancar adalah cerminan dari bobroknya liberalisme. Maka, sempurnalah kerusakan yang menyerang fondasi diri. Keimanan yang hanya berada di ruang ibadah, semakin tergadaikan. Sebab hal yang dipahami adalah ketidakperluan menautkan segala langkah dengan aturan-aturan agama.

Menjadi berita viral dan memilukan, ketika seorang mahasiswi yang bernama Novia Widyasari, dikabarkan bunuh diri tersebab depresi karena ditekan dan dipaksa harus aborsi oleh sang kekasih yang bernama Bripda Randy Bagus. Bahkan kasus ini mengundang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga berpendapat. Ia menyebut kasus yang terjadi sebagai dating violence atau kekerasan dalam berpacaran. Bahkan ia menganggap kondisi tersebut sebagai pelanggaran HAM. Bahkan desakan untuk kepolisian terlontar agar kasus tersebut diselesaikan dengan tuntas. (Detiknews, 05/12/2021).

Hal yang menjadi pertanyaan paling mendasar, apakah dengan menghukum pelaku saja bisa menjadi solusi integral untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, sedangkan fondasi kerusakan yang bernama liberal masih dibiarkan dan diberikan ruang leluasa untuk memimpin pergaulan dan tatanan kehidupan?

Ironinya aturan dalam sistem kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan individu, ketika kebebasan itu berefek pada stabilitas kehidupan masyarakat, perumusan masalah baru akan dilakukan. Tak peduli memakan korban. Hukum tambal sulam pun kerap terjadi. Banyak hal-hal kontradiktif, di sisi lain membela kaum perempuan, tetapi di kondisi lain ada aturan tersirat yang membebaskan pacaran dan membuka gerbang perzinaan semakin luas.

Dari mana kelahiran dating violence? Jawabannya tentu saja mengarah kepada penjaja feminisme. Mereka mengembuskan opini agar memunculkan sensitivitas gender, pada akhirnya tujuan mereka adalah menyampaikan pemahaman agar kaum laki-laki tidak mendominasi kehidupan. Kaum perempuan disuarakan agar memiliki kebebasan setara dengan kaum laki-laki. Bahkan dalam hal berpacaran pun kaum feminis begitu gencar seolah-olah memberikan solusi, faktanya semua hanya delusi.

Solusi yang kaum feminis tawarkan adalah sebuah blunder, mereka berpikir bahwa kekerasan seksual karena ketiadaan hal setara antara kaum perempuan dan laki-laki. Tentulah solusi dari semua tidak sesederhana itu, karena hal yang terjadi seperti penyakit menular yang tak bisa disembuhkan, sehingga obatnya bukan sekadar menginjeksi pada satu sendi yang dijangkiti, tetapi harus diamputasi bagian utama yang menyebabkan virus kanker menjadi semakin liar.

Ya, selama kebebasan berpacaran diberikan ruang permisif, tentu kekerasan seksual akan terus melenggang dengan langgeng dan masif. Bersuara ingin membela posisi perempuan, hakikatnya menghancurkan. Eksploitasi besar-besaran terjadi, harapan besar setara dengan kaum laki-laki menjadi ironi. Pada akhirnya kaum perempuan berada di titik kehancuran, terjajah di arena kebebasan yang diharapkan bisa melindungi segala keinginan, nyatanya neraka globalisasi yang paling mengerikan.

Kembali ke pangkuan aturan-Nya, taat pada syariat yang menjamin manusia dari tergelincir masuk ke jalan tersesat. Membimbing insan untuk lurus agar tak tergerus tipu daya maksiat. Islam mengatur dengan proporsional pergaulan antara laki-laki dan perempuan, sehingga kejahatan-kejahatan yang dinamakan kekerasan seksual sangat jarang terjadi atau bahkan tidak terjadi. 

Adapun langkah-langkah yang telah diatur di antaranya,  perintah menutup aurat antara laki-laki dan perempuan. Semua berawal dari pandangan hingga menuju ke kemaluan. Islam menempatkan aturan tersebut di posisi pertama karena aurat yang menggoda pandangan menjadi pintu utama terjadinya keharaman. 

Aturan Islam pun tidak mempersulit pernikahan. Sebab, itu pun menjadi pintu kehalalan yang utama dalam memenuhi naluri berkasih sayang. Aktivitas yang serupa menjadi nilai berbeda dikarenakan ada akad yang terikat dalam pernikahan. Tak hanya hal tersebut, sebelum pernikahan terjadi, Islam pun membentuk keluarga agar menjadi sekolah utama bagi generasi. Sehingga ketika mereka menikah tak hanya bertujuan melampiaskan naluri berkasih sayang, tetapi membentuk keluarga yang berkepribadian islami. Betapa kukuhnya Islam membentuk semua. Menghindarkan dari pacaran dan membentuk pasangan yang tak mudah tergoda memasuki ranah perceraian.

Hal lain yang tak kalah penting. Saat hari ini standardisasi kecantikan hanya karena wajah yang rupawan dipoles dengan skincare yang berharga jutaan, riasan yang glamor dan menor. Islam mendidik kaum perempuan memahami kecantikan secara hakikat, sehingga bukan berarti tidak merawat, tetapi mengatur agar tidak tabaruj. Sebab, berdandan yang berlebihan bisa melahirkan godaan-godaan bagi kaum laki-laki.

Pelarangan bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk berkegiatan yang merusak akhlak. Mewajibkan adanya mahram untuk menemani perempuan ketika bepergian, semata-mata semua diatur agar terjaga kehormatannya. 

Ketidakbolehan adanya berkhalwat pun menjadi rambu penting. Kita sadari dengan lebih mendalam, mengapa tata pergaulan hari ini begitu menakutkan dan mencekam? Kehidupan rusak sudah sedemikian parah terserak. Di setiap sendi kehidupan semakin tidak aman, tetapi manusia menuntut berada di zona nyaman dengan menyuarakan kebebasan. 

Ketidakberkahan yang mengalir di setiap lini kehidupan adalah hasil dari dilestarikannya kapitalisme. Sampai kapan kita akan mengorbankan generasi ini? Sudah sepatutnya menyadari, bersegera kembali kepada sistem Islam secara menyeluruh adalah sebuah solusi. Sudah cukup perusakan ini. Maksiat itu tentu akan berhenti jika aliran utamanya ditutup. Islam tidak hanya memberi hukuman kepada pelaku dan aturan preventif. Akan tetapi, mengatur tayangan demi tayangan di media elektronik dan media sosial akan disaring agar kaya dengan edukasi dan  terhindarkan dari muatan-muatan tidak berguna. Tidak memberi celah sedikit pun pada konten-konten pornografi, kekerasan demi kekerasan, dan pemberitaan-pemberitaan yang kering dari solusi. 

Islam benar-benar memuliakan perempuan, tanpa menggeser peranan kaum laki-laki. Adil dalam memosisikan keduanya, tidak menjadikan salah satu mendominasi sehingga melahirkan diskriminasi. Bukan pengekangan tetapi penjagaan agar terhindar dari perbuatan celaka. Jangan percaya embusan suara kaum feminis. Tak ada tatanan yang begitu memuliakan kaum perempuan, kecuali Islam semata. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan.” (QS. Ali Imran: 93).

Perempuan adalah saudara sekandung kaum laki-laki. Ketika keduanya terikat dalam ikatan yang hakiki, maka akan saling melindungi karena Allah, laki-laki akan menemukan kedamaian di sisi perempuan, pun sebaliknya perempuan akan merasa terlindungi. Adil bukan setara dan serupa, tetapi proporsional. 

Tak perlu meminta setara atas apa-apa yang sudah diatur oleh Sang Khalik, sehingga tak melahirkan gugatan pelik. Semuanya memiliki porsi masing-masing agar bisa saling melengkapi dan menjaga dalam takwa. Kerusakan hari ini bukan karena tidak diterimanya keinginan setara, tetapi karena ketiadaan sistem yang menjadi penjara bagi maksiat yang merajalela.

Wallahu a’lam bishshawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar