Kemunafikan Konferensi COP26 dalam Mengatasi Krisis Iklim


Oleh : Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)

Sejumlah pemimpin dunia menghadiri KTT yang membahas perubahan iklim, COP26, di Glasgow, Skotlandia, mulai 31/10 hingga 12/11 Tahun 2021. COP26 konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di planet ini sebagaimana dilansir dari situs web PBB. 

Dunia dalam ancaman emisi terbesar, lewat UNFCCC, negara-negara sepakat untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk) mencegah gangguan berbahaya dari aktivitas manusia pada sistem iklim (Kompas, 3/11/'21).

Presiden Jokowi juga hadir dalam KTT COP26. Presiden mengurai tentang transisi energi yang dilakukan Indonesia dan keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Presiden Jokowi juga mengurai target rehabilitasi 600 hektare mangrove atau hutan  bakau pada 2024 mendatang.

Namun begitu, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia M. Iqbal Damanik kepada wartawan beberapa waktu lalu menuturkan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo saat  menghadiri KTT PBB terkait perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada Senin (1/11) dinilai penuh omong kosong. “Klaim-klaim Jokowi seluruhnya adalah omong kosong,” ujarnya (RMOL.id, 4/11/'21 ).

Tak ada kata keberpihakan bagi kapitalis. Tentu saja KTT COP26 ini di gagas hanya untuk memenangkan kepentingan negara korporasi.  Sejatinya akar persoalan masalah krisis iklim ada pada kerakusan korporasi yang mengutamakan keuntungan dari pada mewujudkan kelestarian lingkungan.

Dalam sistem kapitalis berbagai kebijakan untung rugi menjadi yang terdepan. Jadi, akan sulit terwujud jika mengkonversikan industrinya menjadi ramah lingkungan, menurunkan produksi tambang batubara atau bahan bakar fosil yang merupakan penyumbang emisi karbon terbesar.

Indonesia bertujuan membangun ekonomi hijau, Ekonomi hijau adalah bentuk pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan. Dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi. Hakikatnya,  antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial seimbang. Faktanya masih menjadi isapan jempol belaka karena persoalan biaya. Yah, kembali lagi korporasi tetap berada di balik layar dan tentu saja kerusakan lingkungan menjadi taruhannya.

Krisis iklim di Indonesia pun masih menjadi permasalahan serius. Seiring dengan kerusakan lingkungan yang melanda setiap daerah. Banjir masih menjadi perhatian khusus. Pun juga di beberapa wilayah persoalan sampah belum menemukan solusi tuntas. Limbah plastik, penebangan hutan yang ugal-ugalan serta kebakaran hutan penyumbang emisi.

Bahkan bagi masyarakat miskin kesehatan lingkungan masih menjadi barang mewah. Sehingga, belum mampu membangun kesadaran bersama agar masyarakat bisa lebih peduli pada keberlangsungan lingkungan hidup. Sulitnya upaya-upaya dalam melindungi masyarakat dari krisis iklim karena tereksploitasi para korporasi.

Intinya penghasil emisi terbesar adalah negara-negara maju tersebut. Seperti AS, Cina, Jerman dsb, karena mereka adalah pengguna energi terbesar salah satunya untuk industri berat bahkan untuk kebutuhan nuklir.

Sejatinya penghidupan yang layak bagi warga negara, untuk bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan akses pendidikan adalah amanat Undang -Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Namun faktanya Indonesia malah menjadikan rakyatnya sebagai taruhan proyek korporasi. 

Dalam Islam segala sesuatunya menjadikan Alquran dan As-sunah sebagai pandangan hidup dalam mengatur kehidupan manusia. Begitupun dalam memenuhi kebutuhan, manusia harus bersandar kepada kebutuhan bukan mengikuti hawa nafsu. Seperti manusia pemuja kapitalisme.

Sehingga dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya keserakahan adalah asas. Seperti halnya sumber daya alam jika di miliki individu-korpirasi jelas eksploitasi besar-besaran yang akan di lakukan. 

Yang pasti, dunia ini tidak akan aman selama sistem kapitalisme yang mendominasi. Jadi, kampanye iklim yang di gagas negara-negara besar tidak akan membawa perubahan apapun. Kita hanya butuh sistem yang memberikan solusi komprehensif  yaitu Islam. Yang bersumber dari wahyu Ilahi, yang menjadikan manusia sejahtera lagi aman bersamanya.

Allah SWT berfirman:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar- Ruum: 41)

Wallahu'alam Bissawab[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar