Oleh: Iim Kamilah
Pemerintah sumedang akan mewajibkan warga masyarakat Sumedang agar memakai ikat kepala khas tanah Sunda alias totopong di setiap hari Kamis.
Hal itu menurut Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) kabupaten Sumedang. Hari Tri Santosa dimaksudkan untuk menjaga warisan budaya Sunda khususnya di kabupaten Sumedang. Dilansir dari Radar Sumedang.id, Sabtu, 6 November 2021.
Diketahui sebelumnya, Bupati Sumedang bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumedang telah mengesahkan Raperda menjadi Perda Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) melalui sidang paripurna di ruang sidang DPRD Sumedang pada Selasa (7/1/2020). Dilansir dari TribunNews.com, Rabu, (8/1/2020).
Pada webinar diskusi publik yang diselenggarakan Perguruan Tinggi Sebelas April Sumedang bertema Kebijakan Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) pada kamis (22/10/2021), Bupati Dony memaparkan lahirnya peraturan daerah (perda) No 1 tahun 2020 tentang SPBS berangkat dari visi misi Sumedang simpati yang mempunyai latar belakang lima masalah pokok yang ada di Sumedang.
Lima masalah ini diantaranya kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, investasi dan infrastruktur di samping masih ada masalah-masalah lainnya.
"Namun demikian kabupaten Sumedang juga memiliki enam potensi untuk mengatasi kelima masalah tersebut.
Ke enam potensi itu antara lain sumber daya manusia, sumber daya Alam, letak strategis antara koridor Bandung dan Cirebon, sejarah leluhur kerajaan Sumedang Larang, dan kawasan Iptek Jatinangor" terangnya. Dilansir dari eljabar.com, Kamis (22/10/2020).
Jika melihat secara umum, anjuran memakai ikat kepala atau totopong bagi masyarakat tidaklah bermasalah. Begitupun menurut pandangan syariat, menutup kepala bagi laki-laki sesuai dengan adat kebiasaannya adalah sesuatu hal yang mubah atau boleh. Bahkan sebagian ulama berpendapat menutup kepala bagi laki-laki itu sendiri adalah sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin;
"Telah kami sampaikan atsar dari ibnu umar, beliau berkata kepada maulanya, nafi"
" Apakah engkau keluar dengan tanpa penutup kepala"?, nafi berkata: "tidak", ibnu umar berkata: "sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada kepada yang lain".
Hal ini menunjukan bahwa menutup kepala adalah lebih Afdhal.
Jadi sebetulnya Islam memandang tidak ada masalah dengan kebijakan pemerintah Sumedang atas anjuran memakai penutup kepala khas sunda/ totopong. Namun yang kita kritisi adalah perda SPBS yang hendak menjadikan budaya sebagai landasan pola pikir dan pola sikap masyarakat.
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, Al Qur'an sebagai pedoman hidup telah menjelaskan bagaimana kedudukan tradisi atau budaya di dalam Islam. Islam juga tidak serta merta menghapuskan seluruh tradisi/ budaya di tengah-tengah masyarakat. Namun Islam sebagai Agama yang syariatnya telah sempurna berfungsi untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk dalam hal kebudayaan.
Budaya merupakan gaya hidup yang berkembang serta dimiliki oleh sekelompok orang dan diwariskan turun temurun dan terbentuk dari hasil akal manusia.
Sedangkan Islam merupakan aturan hidup yang sempurna dari sang pencipta manusia. Maka aturan sang pencipta haruslah diutamakan dibandingkan dengan aturan dari makhluk ciptaannya. Kedudukan budaya haruslah sesuai dengan syariat, jika tidak bertentangan dengan syariat maka melestarikannya diperbolehkan, namun jika bertentangan dengan syariat maka tradisi atau budaya itu sendiri tidak boleh di praktekan.
Dalam hal berpakaian misalnya. Tradisi berpakaian wanita khas Sunda dengan memakai kebaya ketat serta rambut yang disanggul jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sebab Islam telah mewajibkan muslimah untuk menutup auratnya serta memakai jilbab yang longgar.
Dalam tarian, ciri khas budaya Sunda di antaranya ada tarian Jaipong yang menampilkan gaya berlenggak lenggoknya seorang wanita dikhalayak umum dengan dandanan dan hiasan yang berlebihan (Tabarruj) disertai dengan alunan musik. Ini pun bertentangan dengan syariat dari banyak hal, mulai dari mengeksploitasi perempuan, tidak menjaga kehormatan, tidak memiliki rasa malu, tidak ada batasan antara laki-laki dan perempuan, tabarruj dan aktivitas hura-hura dalam kemaksiatan.
Ada pula ritual sesaji yang merusak aqidah. Budaya-budaya semacam ini jelas tidak boleh dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat, sebab menyalahi aturan sang pencipta. Maka menjadikan budaya sebagai landasan pola hidup manusia merupakan kesalahan yang fatal, serta sebagai bentuk pembangkangan dari seorang hamba terhadap Tuhannya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surah Al Maidah; 50
اَفَحُكْمَ الْجَاحِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ، وَمَنْ اَحْسَنَ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمِ يُّوْقِنُوْنَ.
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?, (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (Agamanya)". ( QS. Al Maidah:50)
Adapun alasan yang melatarbelakangi ditetapkannya Perda SPBS tersebut karena kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, investasi dan infrastruktur, hal ini tidak sejalan dengan solusi yang disuguhkan. Jika Pun memberikan dampak baik itu hanya sebagian kecil, tidak bisa menjadi solusi yang tepat. Yang ada akan bermunculan masalah-masalah lain yang tak kalah serius.
Masalah-masalah yang di sebutkan di atas adalah dampak dari sistem yang menanggalkan aturan Allah. Kemiskinan di negara kita terjadi karena sistem ekonomi yang tidak sesuai syariat. Sumber daya Alam yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara malah dikelola dan dinikmati segelintir orang dan pihak Asing. Terjerat dengan aktivitas Ribawi yang merugikan negara, lapangan pekerjaan yang banyak dikuasai orang asing, kebijakan-kebijakan yang merugikan kaum buruh dan menguntungkan pihak pengusaha, merebaknya para koruptor, segala hal yang dikomersilkan. Hingga berdampak buruk pada bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pembangunan, sosial masyarakat, dan lain sebagainya.
Maka kami sebagai masyarakat juga sebagai hamba Allah meminta dan menganjurkan, jika bapak bupati sangat peduli terhadap kami sebagai masyarakat juga memiliki keinginan yang kuat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, maka kembalilah kepada hukum Allah. Sebab hanya hukum Allah yang dapat mengatasi masalah tanpa masalah.
Wallahu'alam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar