Mitigasi Bencana Kurang Tanggap, Negara Tidak Well Prepare?


Oleh: Tati Sunarti, S.S (Pegiat Literasi)

Malang tak dapat ditolak, Mujur tak dapat diraih. 

Pepatah lawas yang pas menggambarkan kondisi Lumajang saat ini. Ketetapan Sang Maha Pencipta tidaklah mampu dihindari. Namun, seberapa besar kesabaran dan upaya untuk bersiap diri pada saat musibah tersebut terjadi itulah yang akan dipertanggung jawabkan.

Dilansir dari kompas.com, Minggu (5/12/2021), pada hari Sabtu pukul 15.00 WIB (4/12/2021) gunung Semeru meletus, mengeluarkan erupsi guguran awan panas. Jarak luncur awan panas gunung Semeru itu mencapai 11 kilometer. Daerah Curah Kobokan di Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, merupakan daerah yang paling banyak terkena luncuran awan panas. 

Gunung Semeru terletak di sebelah timur kota Malang dan sebelah barat kota Lumajang. Gunung ini memiliki ketinggian 3676 mbpl. Semeru juga merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung berapi ini adalah jenis gunung berapi strato, berbentuk kerucut yang terdiri dari lapisan lava, pasir, debu, dan kerikil.

Korban meninggal dunia tercatat sebanyak 40 orang per 8 Desember 2021. Selain itu, sebanyak 4250 warga terpaksa harus mengungsi, 2970 rumah mengalami kerusakan. Eruspi Semeru juga menghancurkan 38 unit fasilitas pendidikan (bbc.com 8/12/2021). Sungguh nampak pemandangan yang memilukan. Jembatan ambruk dan rumah-rumah tertimbun abu vulkanik.


Negara Tidak Well Prepare?

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali” (TQS Ar-Rum:41)

Banyak sekali video beredar di media sosial yang memperlihatkan kepanikan warga saat terdengar gunung Semeru meletus. Bahkan warga saat itu sedang beraktivitas seperti biasanya. Hal ini menjadi tanda tanya. Apakah peringatan dini tidak dilakukan oleh lembaga terkait? 

Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Nana Sulaksana menjelaskan bahwa mitigasi kebencanaan di Indonesia sudah baik. Indonesia juga memiliki peta kawasan rawan bencana. Peta ini menjadi acuan lembaga yang berkaitan untuk melakukan mitigasi terutama erupsi gunung berapi.

Namun, Semeru memiliki karakter yang berbeda dengan gunung berapi lainnya. Erupsinya bersifat simultan, bahkan erupsi dengan intensitas minim pun sering terjadi. Dengan ciri demikian seharusnya warga sudah memahami dan bersiap diri (okezone.com).

Di lain pihak, Manager Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Dino Andalananto menyampaikan bahwa memang tidak ada peringatan dini terhadap warga. Ini disebabkan aktivitas Gunung Semeru pada saat itu terkategori rapid onset.

Rapid onset merupakan bencana yang terjadi secara tiba-tiba. Inilah yang menyebabkan tanda-tandanya tidak terdeteksi. Setali tiga uang dengan penjelasan Prof. Nana, selain karena Gunung Semeru memiliki karakter sendiri ditambah dengan jenis rapid onset maka tidaklah patut dipermasalahkan ketiadaan peringatan dini. Benarkah demikian?

Bertolak belakang dengan Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Geologi (PVMBG), Andiani mengatakan sudah menyampaikan peringatan dini sebelum terjadi luncur guguran awan panas. Namun, fakta di lapangan lagi-lagi menunjukkan bahwa tidak ada informasi tersebut yang sampai pada warga (merdeka.com).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa mitigasi bencana belumlah bekerja dengan baik. Arus informasi dari lembaga terkait nyatanya lamban sampai pada masyarakat. Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian besar.

Pemeritah pun nampak tidak siap menghadapi bencana Semeru. Ketersediaan tempat pegungsian yang baik (layak) bagi korban selalu disorot. Pasalnya, dari waktu ke waktu selalu tidak layak, serta keterlambatan pertolongan terhadap korban seperti kebutuhan pangan yang bergizi, serta air bersih. Padahal korban harus dicukupi dengan baik agar mampu bertahan.


Bagaimana Peran Negara Seharusnya?

Peristiwa atau kejadian berupa musibah bencana alam adalah bagian dari ketetapan Sang Maha Kuasa. Atas hal ini manusia diminta untuk senantiasa bersabar dan bermuhasabah diri. Akan tetapi, ada hal yang patut direnungkan. Musibah atau bencana memang sunnatullah. Sedangkan, sebab-sebab musibah serta bagaimana sikap terhadap musibah itu yang harus menjadi perhatian.

Negara adalah pelaku utama baik dalam pencegahan atau penanggulangan bencana. Negara seharusnya cepat tanggap, terutama dalam persoalan mitigasi bencana. Sehingga meminimalisir jumlah korban. Sedangkan pihak lain seperti organisasi-organisasi sosial yang bergerak membantu itu hanya sebatas partner pemerintah. Bukan berarti menggantikan peran dan fungsi negara sebagai pemimpin dan peri’ayah utama.

Lantas, bagaimana peran negara menurut Islam dalam menanggulangi bencana. Islam menjadikan negara sebagai satu institusi yang berfungsi untuk menjaga jiwa. Maka, pengelolaan mitigasi akan ditingkatkan agar bekerja dengan baik.

Negara harus memiliki kesiapan dalam penangan sebelum bencana, pada saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Kesiapan akan efektifitas lembaga yang mengurusi mitigasi sangat berpengaruh terhadap sistem peringtan dini. Kemudian menyiapkan kebutuhan para korban yang layak, serta membentuk tim penanggulangan bencana.

Wallahu’alam




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar