Saat Natuna Dieksploitasi China, Masihkah Indonesia Berdaulat?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Sepertinya kurikulum yang harus direvisi bukan kurikulum Madrasah atau pelajaran Agama Islam, melainkan pelajaran tentang pengamalan pancasila. Karena pada kenyataannya apa yang diteorikan dalam butir-butirnya jauh panggang dari api. Sungguh berbeda dengan kenyataannya. Sebagai contoh pernyataan bahwa, “Mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan tidak tergantung pada negara lain merupakan sikap yang sesuai dengan makna sila kelima. Masyarakat yang berdaulat adalah masyarakat yang terbebas dari penjajahan.” Kalimat tersebut muncul pada soal ujian siswa Sekolah Dasar kelas 4. Mereka tidak tahu bahwa saat ini masyarakat Indonesia tengah menghadapi penjajahan di semua lini kehidupan. Mereka juga masih mengira bahwa Indonesia telah merdeka karena sudah tidak bergantung pada negara lain. Tapi nyatanya?

Dan bukan hanya pancasila yang katanya suci yang telah dinodai, tetapi pernyataan yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia tahun 1945. Di sana jelas disebutkan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya....”

Sebenarnya klaim China atas Natuna adalah bukti kelemahan Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah. Semua terjadi karena pemerintah Indonesia tidak mampu menjaga wibawa, banyak tergantung pada China dan gagal menjaga kedaulatan. Dan bukan kali pertama China merongrong perairan Natuna. Menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sekelompok kapal ikan milik Cina menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari tahun 2016 bulan Februari-Maret, lalu pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 Cina terus melakukan invasi di Natuna. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melayangkan nota protes ke China namun tidak ditanggapi dengan baik.

Kemudian pada 2020, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksamana Madya Aan Kurnia bahwa, kapal patroli China memasuki ZEE di 200 mil lepas pantai Kepulauan Natuna utara pada Sabtu 12 September 2020 dan menyingkir pada Senin 14 September setelah dilakukan komunikasi radio. Sementara itu, Beijing menyatakan kapal patroli China berhak untuk memasuki perairan yang menjadi yurisdiksinya. Sebelum ada pernyataan itu Partai Komunis China (PKC) melalui The Global Times, menyatakan siap berperang melawan negara-negara ASEAN dan negara lain yang terlibat sengketa wilayah dengan Beijing. (pikiran-rakyat.com).

Dan sekarang kembali terjadi dengan datangnya sebuah surat dari Diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia yang menuntut Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas bumi (migas) di Laut Natuna Utara. Tuntutan China tersebut meningkatkan ketegangan antara Indonesia dengan Beijing atas perairan tersebut. China sendiri memiliki klaim yang luas atas perairan Laut China Selatan dan bersengketa dengan sejumlah negara di kawasan tersebut. Sementara itu, Indonesia mengatakan ujung selatan Laut China Selatan tersebut zona ekonomi eksklusifnya menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017. Dengan payung hukum itu, Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di sana. (kompas.com, 03/12/2021).

Rupanya kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terdapat di perairan Natuna-lah yang menjadi incaran. Dikutif dari kompas.com (03/12/2021), menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan migas di Laut Natuna Utara cukup besar. Cadangan minyak bumi terbukti di Laut Natuna Utara sebesar 92,63 juta standar barel atau Milion Stock Tank Barrel (MMSTB). Sementara itu, cadangan potensial minyak bumi di Laut Natuna Utara adalah 137,13 MMSTB. Cadangan potensial itu terdiri dari cadangan harapan sebesar 88,90 MMSTB dan cadangan mungkin 48,23 MMSTB. Di sisi lain, cadangan gas bumi terbukti di Laut Natuna Utara adalah 1.045,62 juta kaki kubik atau Billions of Standard Cubic Feet (BSCF). Sedangkan cadangan gas bumi potensial di Laut Natuna Utara sebesar 1.605,24 BSCF yang terdiri dari 1.083,61 BSCF cadangan harapan dan 521,63 BSCF cadangan mungkin. Sementara itu dalam skala nasional, cadangan minyak bumi di Indonesia sebesar sebesar 3.774,6 MMSTB dan gas bumi sebesar 77,29 triliun kaki kubik atau Trillions of Standard Cubic Feet (TSCF).

Belum lagi dengan potensi sumber daya lautnya, di kepulauan yang terletak di teras depan negara Indonesia ini terhampar aneka jenis terumbu karang yang sangat memukau. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, perairan Natuna memiliki potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi-cumi 23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton per tahun. Kemudian, juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kuning, udang putih, dan lainnya. (cnnindonesia.com).

Sedangkan untuk komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar 262.380,8 ton/tahun (80% dari potensi lestari). Pada tahun 2014, tingkat pemanfaatan ikan pelagis hanya mencapai 99.037 atau 37.8% dari total jumlah tangkapan yang dibolehkan. Selebihnya yaitu sebesar 163.343,8 ton/tahun (62.25%) belum dimanfaatkan (kompas.com, 04/01/2020).

Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan ini? Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko yang mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan dua skema besar. Pertama pendekatan diplomasi atau pendekatan politik, kedua pemerintah akan melakukan pendekatan militer atau keamanan dimana TNI sudah mengambil langkah-langkah antisipasif, dengan mengerahkan berbagai kekuatan untuk mengisi area laut Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. “Bagi saya intinya kedaulatan tidak bisa dinegosiasikan,” tegasnya. (google.com, 06/01/2020).

Pada kenyataannya dua skema besar tersebut tidak membuat konflik kepulauan Natuna selesai. Buktinya sekarang China malah semakin mencengkeram kedaulatan Indonesia. Hal ini terjadi karena  Indonesia memiliki keterikatan dan ketergantungan yang sangat besar terhadap Cina. Berdasarkan data Badan Koordinator dan Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Cina di Indonesia selama triwulan ketiga 2019 mencapai 1,023 miliar dollar AS. Jumlah proyek Cina di Indonesia pun mencapai 1.619 proyek. 

Sungguh kebodohan yang nyata jika kemudian solusi yang diambil pemerintah masih dengan solusi yang sama. Ibarat pepatah “jatuh ke lubang yang sama”. Sedangkan Indonesia dengan masyarakatnya yang mayoritas muslim mengerti betul apa prinsip seorang muslim. “Cukup satu kali bersalah yang sama...cukup satu kali. Jangan dua kali bersalah yang sama...jangan dua kali. Orang yang baik bukan yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi yang menyadari kesalahannya dan memperbaikinya...” Seharusnya penggalan syair Roma Irama tersebut bukan hanya dinyanyikan tapi mesti dipraktekkan.

Solusi yang diambil dari sistem kapitalis sudah terbukti tidak menyelesaikan masalah. Malah menambah masalah. Maka sudah selayaknya kembali kepada sistem Islam. Menurut solusi Islam dalam mengatasi hal tersebut, harus memenuhi kriteria: Pertama, bersifat edukatif agar individu menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat. Kedua, untuk mencapai keadilan bagi masyarakat/ umat dalam bingkai akidah maupun keadilan bagi nonmuslim secara sosial. Ketiga, tujuan akhir dari tegaknya hukum syara’ adalah untuk kemaslahatan. Dalam hal penegakan hukum syara’ bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia dengan menjamin kebutuhan pokok, pemenuhan kebutuhan dan kebaikan manusia, sehingga terwujudlah kemaslahatan manusia. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 310).

Begitupun dengan kedaulatan sebuah negara. Dalam Islam, menjaga keutuhan wilayah adalah wajib. Hal ini didasarkan pada hadits: Dari Arfajah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia.”(HR Muslim).

Oleh sebab itu wajib untuk mempertahankan wilayah kepulauan Natuna dari gangguan negara-negara lain yang hendak menguasainya, termasuk China. Selama ini tidak selesainya masalah di perairan Natuna adalah karena tidak adanya efek jera secara hukum yang mampu menghentikan tindakan tersebut. Dalih menjaga hubungan antar negara, tidak pernah bisa menyelesaikan pokok permasalahan. 

Sudah saatnya negeri ini melepaskan seluruh ketergantungan pada China dan negara-negara lainnya, sehingga menjadi negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain. Negara juga harus mengelola sendiri kekayaan alam yang melimpah ruah dan menjamin keamanan rakyatnya sendiri. 

Apalagi dalam Islam, China dapat dikategorikan sebagai negara kafir harbiy, yaitu negara asing yang sedang memerangi negara muslim. Terlebih lagi, saat ini dapat dikategorikan kepada ad-dawlah al-kafirah al-harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata. Terbukti dengan tindakannya yang biadab terhadap kaum muslim di Uighur. 

Sikap yang harus diambil terhadap negara kafir harbiy muharibah fi’lan, asas interaksinya adalah interaksi perang, tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya. Benar-benar tidak ada kerja sama apa pun. (An-Nabhaniy, Syakhshiyyah Islamiyyah 2). 

Besarnya kekuatan militer Cina tak lepas dari posisinya sebagai negara adidaya kawasan Asia. Jika ingin mengalahkan Cina, harus dilawan oleh negara adidaya juga. Bukan hanya negara adidaya kawasan, melainkan negara adidaya dunia. Untuk menuju negara adidaya, Indonesia harus memiliki visi besar sebagai dasar kebijakan dalam dan luar negeri, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan dan militer yang kuat. 

Visi besar ini adalah ideologi. Negara adidaya semisal Amerika dan Inggris menerapkan ideologi kapitalisme. Sementara Cina, politiknya sosialisme, ekonominya kapitalisme. Ideologi yang harus menjadi visi besar itu adalah ideologi Islam, yang mana keshahihan ideologi Islam telah terjamin secara Ilahiah. Sstem pemerintahan Islam yakni khilafah, memiliki sistem pertahanan yang tangguh. Tugas khilafah adalah menerapkan syariat Islam di dalam negeri. Syariat mewajibkan muslim untuk menjaga diri dari serangan musuh. Maka khilafah akan mengerahkan segala kekuatan, baik pasukan reguler maupun cadangan (rakyat) untuk mempertahankan kedaulatan negara. Seruan jihad sebagai kewajiban nan mulia akan digaungkan ke seluruh pelosok negeri.

Khilafah akan melakukan persiapan semaksimal mungkin untuk bisa mengalahkan musuh yang hendak merebut wilayah kita. Khilafah akan menyiapkan kekuatan hingga level mampu menggentarkan musuh. Mulai dari banyaknya pasukan, kualitas prajurit, canggihnya alutsista, hingga besarnya anggaran militer. Khilafah tak khawatir kekurangan dana untuk militer karena dalam Islam, pos jihad (militer) memiliki sumber pemasukan yang terus-menerus ada. Tidak hanya menggantungkan pada dana zakat, tapi juga wakaf, pajak (tentatif), juga kekayaan alam yang dikelola secara mandiri oleh khilafah. 

Khilafah tidak akan tersandera investasi asing karena setiap perjanjian dagang yang membahayakan umat Islam akan dilarang ada dalam khilafah. Khilafah menyatukan berbagai negeri muslim dan seluruh kaum muslim sedunia. Jika satu wilayah diserang musuh, misalnya Natuna, maka perlawanan tidak hanya datang dari militer Indonesia, tapi juga militer wilayah Islam lainnya seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Arab, Irak, Turki, Mesir dan lainnya. Inilah yang terjadi ketika dulu Khilafah Utsmaniyah mengirim kapal dan pasukan Janissari untuk membantu Nusantara melawan penjajah Eropa. Seperti dalam kasus Aceh dan Perang Diponegoro. 

Demikianlah solusi untuk melawan arogansi China dan mengalahkannya. Hanya khilafah yang bisa menundukkan negara adidaya seperti China. Jika bertahan pada sistem yang ada, juga dengan pejabat yang telah nampak kelemahannya, kita patut khawatir atas keselamatan wilayah-wilayah terluar Indonesia. China tidak akan puas dengan Natuna saja, bisa jadi wilayah lain akan dieksploitasinya juga. 

Tegaknya Daulah Islamiyah merupakan kewajiban dari Allah SWT. Juga merupakan warisan Rasulullah Saw, yang dilanjutkan oleh para sahabatnya sebagaimana pernah ditegakkan selama kurang lebih 13 abad dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bahkan, nonmuslim pun mendapatkan rahmat-Nya pula dan itu semua diakui oleh dunia. Khilafah pun menjadi negara adidaya yang ditakuti dan disegani. Maka jika ingin kasus seperti Natuna tidak berulang, harus menerapkan aturan dari Allah SWT. Sehingga kedaulatan dikembalikan pada fitrah hakikinya, yaitu sebagai anugrah dari Allah SWT yang harus dilaksanakan secara kaffah sesuai petunjuk-Nya. 

Wallahu a’lam bishshawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar