Solusi Pas Untuk Disabilitas


Oleh: Wijiati Lestari (Owner Taqiyya Hijab Syar'i)

Tanggal tiga Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional atau International Day of Persons with Disabilities. 

Peringatan itu mempunyai tujuan agar orang-orang menjadi lebih mengasihi dan memahami hambatan yang dihadapi para penyandang disabilitas. 

Masyarakat bisa menerima kehadiran mereka, tidak membedakan antara penyandang disabilitas dengan masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas juga diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan masyarakat. 

Resolusi Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa mengumumkan secara resmi peringatan Hari Disabilitas Internasional pada tahun 1992 (tribunnews.com 2/12/2021).

Sejak saat itu tiap tahun seluruh rakyat dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Sayangnya hal itu hanya sebatas seremonial belaka tanpa perubahan berarti bagi para penyandang disabilitas.

Di negara kita,Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) mengeluhkan akses sarana dan prasarana fasilitas umum dan fasilitas sosial hingga akses pendidikan untuk para penyandang disabilitas yang masih kurang. Kondisi ini terutama terjadi di daerah-daerah.

Ketua Umum PPDI Gufroni Sakaril, Ketua Umum PPDI menyampaikan, "Banyak fasilitas publik yang tidak bisa diakses oleh penyandang disabilitas, misalnya tidak ada bidang miringnya, toilet khusus penyandang disabilitas, hingga petunjuk arah di gedung-gedung. Kemudian banyak penyandang disabilitas di desa-desa yang tidak sekolah karena belum ada sekolah inklusi," (Replika.co.id 3/12/2018).

Hal tersebut menjadi petunjuk kasat mata bahwa penyandang disabilitas tidak dianggap di negara kita. Jika mereka dianggap pasti sarana dan prasarana penunjang kegiatan disabilitas supaya bisa beraktivitas seperti rakyat sehat lainnya akan mudah diakses di mana saja.

Tidak heran hal ini terjadi di sistem yang menjunjung ideologi kapitalisme. Ideologi ini hanya akan memberikan akses bagi mereka yang dinilai memberikan keuntungan bukan beban. Karena ideologi menilai kebahagiaan berasal dari seberapa materi yang bisa didapat.

Jadi memberikan fasilitas kepada penyandang disabilitas merupakan hal nomor sekian, karena tidak menguntungkan bahkan bisa merugikan anggaran belanja negara.

Ideologi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan turut memperparah kondisi ini. Ketika aturan syariat dikesampingkan penguasa tidak lagi merasa takut mendzolimi rakyatnya, termasuk tidak memberikan hak kepada penyandang disabilitas.

Nabi Muhammad Saw bersabda “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).

Penguasa yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan akan sangat takut dengan ancaman ini. Sehingga tidak akan dibiarkan satu rakyatnya terdzolimi termasuk penyandang disabilitas.

Di masa kekhalifahan Umar Ibn Al-Khattab, ada seorang ayah mendatangi beliau. Ia mengeluhkan keadaan putranya yang buta. Sehingga tidak dapat mencapai masjid untuk sholat berjamaah. Umar sebagai Khalifah kedua kemudian memberinya tempat tinggal di dekat masjid. 

Di masa Bani Umayyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta para penguasa provinsi supaya mengirimkan data orang buta, cacat, atau dengan penyakit kronis sehingga menghalangi mereka mengerjakan sholat.

Saat data sudah di tangan, khalifah memerintahkan supaya setiap orang buta harus memiliki seorang karyawan untuk membimbing dan menjaganya. Setiap dua orang berpenyakit kronis, yang berkebutuhan khusus dilayani oleh seorang pelayan untuk merawat dan melayani.

Demikian  pula Khalifah Al-Waleed ibn`Abdul-Malik memerintahkan pendirian yayasan khusus untuk merawat orang cacat. Memberikan tunjangan rutin kepada rakyat berkebutuhan khusus dan melarang mereka mengemis. Dia juga menunjuk karyawan untuk melayani mereka yang cacat dan buta. 

Sejarah di atas membuktikan bahwa syariat Islam ketika diterapkan secara keseluruhan menjadi solusi pas untuk penyandang disabilitas. Bukan seperti sekarang hanya diperingati dan bikin aturan ini itu tanpa realisasi.

Wallahu a'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar