ULN Membengkak, Negara Ingin Menggelak, Ada Solusi?


Oleh: Muzaidah (Aktivis Dakwah Remaja)

Sudah sejak 2020 dibulan Maret, Indonesia resmi dinyatakan terdempak covid-19 yang cukup tinggi. Sampai-sampai pemerintah luar negeri seperti Arab Saudi tidak membolehkan WNI masuk ke wilayah mereka. Namun pembahasan cerita yang sudah terjadi bukan itu saja, melainkan karena lamanya pandemi tak kunjung ada tanda bebas covid-19.

Indonesia mengalami keterpurukan yang luar biasa salah satu di antaranya mengenai perekonomian. Yakni, dikabarkan kembali membengkaknya ULN (utang luar negeri), kian menyakitkan dan membuat pusing pikiran rakyat. Pasalnya sejak masa pandemi, rakyat yang hanya berpenghasilan rendah sudah tidak bisa apa-apa, karena membayar semua kebutuhan hidup saja harus mutar otak, susahnya kebangetan.

Kini kembali dibuat sedih bukan kepalang. Akibat utang yang terus meningkat pesat. Siapa yang harus menanggung semua ini? jelas rakyat, membayar imbasnya, pasti rakyat. Lantas, selama ini peran negara sebagai apa dan solusi apa yang akan menenangkan juga memakmurkan rakyat.


Rakyat Kembali Menanggung

Dikejutkan, bahwa ULN (utang luar negeri) Indonesia kembali membengkak hingga akhir kuartal ketiga, mencapai US$ 423,1 miliar atau setara Rp 6.008 triliun. Kenaikian mencapai 3,7% dibandingkan periode tahun lalu, dikarenakan adanya penerbitan global bonds, Sustainable Develepoment Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro. Berdasarkan data BI (bank Indonesia) sebelum mencapai 6 triliun, ULN pemerintah sudah mencapai US$ 205,5 miliar, naik 4,1% secara tahunannya. (katadata.co.id, 15/11/2021).

Secara alami pemerintah mengatakan utang adalah hal yang wajar dilakukan. Tanpa utang pembiayaan untuk negara tidak akan berjalan lancar. Tetapi mengapa ujung-ujungnya rakyatlah yang ikut menanggung. Sedangkan rakyat hannyalah penonton bukan pemain, memang sudah kewajiban pemerintahlah untuk bertanggungjawab akan kebutuhan hidup rakyat. Tidak boleh lepas tangan tanpa adanya tanggungan. Itu merupakan kesalahan besar yang tidak harus dilakukan.

Jika sudah begini, siapa yang ikut membayar ULN Indonesia, tidak asing untuk dikatakan, rakyatlah jawabannya. Suka tidak suka, mau tidak mau, rakyat kembali dipaksa walau tidak secara terang-terangan. Melainkan dengan adanya kebijakan, segala macam cara dilakukan demi membantu negara untuk menyelesaikan secara gotong royong.

Yakni, semakin ditingkatkan iuran seperti BPJS, pajak yang lebih diperketat agar tidak telat dalam pembayaran, kebutuhan pokok ikut dinaikkan dan sebagainya. Walhasil, yang kaya maupun yang sederhana (miskin) sekalipun, tetap diminta untuk menanggung kerugian besar ini.

Padahal utang yang dilakukan pemerintah, sebenarnya telah memakai basis riba. Nominal bunga yang diberikan oleh pihak asing seperti Amerika sangat tidaklah sedikit, jika adanya keterlambatan maka bunga semakin ditingkatkan begitulah seterusnya. Islam tidak mengajarkan itu karena perbuatan yang Allah benci, sebab riba merupakan keharaman dan hukumannya sangat pedih didapatkan.

Sungguh sangat miris, negara yang begitu kaya akan SDA berbagai kebutuhan yang begitu melimpah. Sampai ada kata pepatah ''Batang Ubi jika ditajamkan ketanah langsung tumbuh'', karena sumburnya tanah Indonesia. 

Bukan itu saja, minyak bumi, batu bara, dan masih banyak lagi, yang bisa dimanfaatkan dengan baik. Tetapi kenyataan tidak semakmur yang didambakan, mengapa rakyat ikut merasakan penderitaan yang tidak seharusnya dirasakan, mengingat kekayaan Indonesia begitu jauh banyak, jikalau dikelola dengan baik tanpa asing dan aseng maka utang membengkak tak lagi dialami.


Sebab Kapitalis Masih Diagungkan

Setiap problem pasti ada penyebab yang mengharuskan negara melakukan hal-hal yang aneh, bahkan mudah menyengsarakan rakyat. Dan siapa biang masalah itu, dialah kapitalisme, sebuah sistem kehidupan, pemahaman yang diadopsi lama oleh Eropa Barat, termasuk Amerika, Cina hingga ke tubuh-tubuh kaum muslim, tak terkecuali Indonesia. Rela memisahkan diri dari kehidupan terhadap agama, yaitu Islam. Asasnya sekularisme, aturan yang terterapkan bukan berasal dari pencipta sekaligus pengatur didunia hingga ke akhirat, Allah swt. 

Ide-ide yang diterapkan hingga kini masih berasal dari manusia, dengan menganut kebebasan sesuka hati, dilakukan demi kepuasan dunia. Termasuk dalam hal perekonomian tidak segan-segan mengambil unsur ribawi. Seperti utang saat ini, manusia yang menganut paham kapitalis akan buta akan adanya pertanggungjawaban kelak di akhirat. Dalam pemerintahan begitu tampak ketidakadilan yang diterapkan, itulah ulah kapitalis induk pemikiran manusia yang haus akan keuntungan dan rela mencampakkan hukum syariat Islam yang ingin diterapkan.

Utang yang terus berkembang, rela diadakan demi kepentingan pihak tertentu, dengan mengatasnamakan demi negara, agar bisa membangun infrastruktur yang memadai, mengelola kebutuhan rakyat. Realitas sama sekali tak ada, benar belum puas keadilan dirasakan. Semua faktor, karena pemerintah masih berkiblat pada kapitalis yang menjunjung tinggi kepuasan materi, tidak membagi rasa kenikmatan duniawi, bahkan tidak mau mengagungkan Allah dengan mengajak manusia bertakwa kepada-Nya.

Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Mulia Sejahtera dengan Islam

Sejak Rasulullah diutus menjadi Nabi terakhir, Allah memerintahkan Rasul bukan sekadar menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah tetapi juga memerintahkan menjadi pemimpin dunia. Agar setelah wafatnya, kehidupan manusia dapat mencontohkan apa yang dilakukan Rasul, dan pengganti setelahnya memahami dengan baik. Bagaimana menjadi seorang khalifah yang amanah, bertakwa, dan adil secara merata.

Seperti yang dilakukan khalifah Harun al-Rasyid, pemimpin dimasa daulah Islam kukuh sejahtera Abbasyiyah di Baghdad. Tidak ada satu pun utang negara yang meningkat bahkan memang minim terlilit utang, yang bisa merugikan negara dan rakyatnya. Hingga sampailah dititik, ketika Harun Al-Rasyid ingin membagikan zakat kepada rakyatnya, tapi yang didapatkan bukan kemiskinan namun tak satu pun rakyat yang kelaparan, miskin akibat pemimpinnya, sejahtera begitulah keadaan dimasa kepemimpinannya.

Mengapa Harun Al-Rasyid mampu memerdekakan kaum muslim, sehingga semua kenikmatan dunia mampu diberikan tanpa adanya penindasan, tinggal korupsi atau ketidakadilan. Sebab dalam Islam, kekayaan yang dimiliki negara, masing-masing wilayah merupakan bagian dari rakyat, alias milik bersama. Harta yang Allah titipkan selama didunia bukan dirampas atau dimakan secara pribadi demi keuntungan segelintir orang.

Karena dalam Islam, ada tiga pendapatan besar negara yang bukan berasal dari pajak maupun utang. Yang pertama, disebut sebagai fai (harta rampasan perang) dan kharaj (cukai dari orang-orang kafir yang tidak mau tunduk terhadap daulah) merupakan tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum muslim, pemasukannya melalui sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim jika sumber baitul mal tak mencukupi.

Kedua, bersumber dari kepemilikan umum seperti SDA yang melimpah adalah milik rakyat bukan milik negara. Yang tidak boleh diberikan kepada pihak asing atau privatisasi. Tugas negara adalah mengelola kekayaan tersebut dan dipakai untuk kebutuhan bersama, misal dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Ketiga, berasal dari pos sedekah yang merupakan bagian penyimpanan harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. Inilah sumber penghasilan atau kekayaan negara yang seharusnya dikelola serta dikembangkan demi kebutuhan hidup rakyat. Agar utang tidak menumpuk yang akhirnya menjadi beban oleh setiap individu.

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR abu dawud)
 
Beginilah Islam sangat menjaga keadilan dan kesejahteraan negara. Tidak dipakai untuk kepentingan tertentu, sehingga memberikan tanggungan imbasnya selalu kepada rakyat. Padahal jelas bahwa segalanya dikelola untuk dibagikan secara adil dan merata. Dengan demikian, negara akan aman tanpa utang dan menjaga setiap individu bertakwa kepada Allah, tidak ikutan mengandalkan unsur riba, karena hisabnya sangat berat apalagi siksanya begitu amat pedih dirasakan.

Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا 
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al- Baqarah [2]: 275).

Maka, sudah seharusnya kaum muslim meninggalkan sistem yang sama sekali tidak memakai aturan Islam sebagai pedoman kehidupan. Memakai kembali sistem yang pernah rasul contohkan, yakni sistem Islam. Dengan menerapkan hukum Allah, sehingga utang tidak mudah diambil apalagi memakai ribawi, jelas ada azab yang menanti.

Tidak mengikuti kapitalis barat yang cenderung terobsesi terhadap keuntungan dunia melupakan akhirat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu, ingin bebas utang tanpa kesengsaraan Islam adalah solusi kehidupan. Tenang dalam keadilan senang dalam ketakwaan. Itulah Islam.

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar