Akhir Tahun : Refleksi Penanganan Wabah


Oleh : Jessy Tiara Putri

Akhir tahun 2021, ternyata tidak berbarengan dengan berakhirnya wabah Covid-19 yang sudah mewabah selama lebih dari 1,8 tahun sejak 2 Maret 2020 hingga saat ini masih belum selesai. Tidak hanya virusnya tetapi dampaknya dalam kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun pendidikan masih terasa sulit nya. Dan Fakta di lapangan wabah ini bukan berakhir. Tetapi bermutasi menjadi varian baru bernama Omicron. Para ilmuwan mengatakan bahwa varian ini lemah, tetapi bisakah kita belajar dari masa lalu? Kehilangan orang yang dicinta tersebab kelalaian penanganan covid-19? Ini bukan tentang minimnya penerimaan takdir, tetapi sedang mengevaluasi kinerja pemimpin dalam menjaga dan melindungi rakyatnya.

Ketidaksiapan pemimpin untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya baik sandang maupun pangan secara merata sehingga timbullah ketidakmampuan dalam penerapan lockdown dengan dalih "perekonomian" yang mana mengesampingkan keselamatan rakyatnya. Padahal dalam Islam, nyawa seorang manusia lebih berharga dibanding dunia dan seisinya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi  wa sallam bersabda “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)

Tidak terjaminnya kehidupan ini ditangan pemimpin sama dengan krisis kepercayaan dengannya. Lantas, alasan apa yang hendak menjadi pondasi untuk tetap mengadopsinya? Ini bukan tentang penuntutan ganti pemimpin tetapi tentang sistem yang diadopsi telah mengendalikan penggunanya sehingga hanya terjadi kerusakan ditiap gagasannya. Sistem ini menjadikan penggunanya hilang akal sehat sehingga menggunakan kemimpinannya hanya untuk kemajuan bisnis dan penumpukan harta pribadi.

Sementara kita yang belum tuntas dengan kerudetan urusan dalam negeri seperti perkara toleransi, moderasi beragama, krisis ekonomi dan lain-lain, tak membuat Omicron lantas diam tak saling menulari. Dan fakta kembali berbicara, Indonesia telah dimasukin oleh virus varian Omicron. Namun, rasanya seperti Dejavu saat pertama kali virus muncul bukanlah dikarantina baik orang yang terinfeksi maupun orang yang telah menjalani keluar masuk luar negeri dengan tegas tetapi lagi-lagi terus mengelak.

Padahal, Rasulullah Saw seorang manusia terbaik telah memberi contoh pada saat wabah thaun melanda. Beliau bersabda "Apabila kalian mendengar ada penyakit menular di suatu daerah, jangan lah kalian memasukinya; dan apabila penyakit itu ada di suatu daerah dan kalian berada di tempat itu, jangan lah kalian keluar dari daerah itu karena melarikan diri dari penyakit itu." (HR. Bukhari)

Lantas, mengapa kita masih saja bebal dan merasa pandai dengan aturan yang bercokol pada hari ini? Padahal sumbernya berasal dari hawa nafsu, bukan Wahyu seperti halnya Rasulullah Saw. Maka, jalan terakhir untuk mengurai benang kusut saat ini yaitu dengan mengkaji Islam secara kaffah. Supaya bisa membawa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik dan lebih diridhai oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar