Bulog Banyak Utang, Negara Bimbang dan Kapitalisme Biangnya


Oleh : Wina Apriani

Zaman sekarang, kalau tidak bergantung pada utang, tak akan jalan."

Begitulah kira-kira kata orang tua dan mayoritas masyarakat era ini. Pandangan terhadap utang yang seakan kewajiban  telah terpatri dalam diri masyarakat demi mendapatkan kehidupan yang ‘layak’. Mereka rela utang sana sini seolah-olah tak peduli apakah utang itu ribawi atau tidak. Dan pandangan seperti ini pun menggelayuti para pengusaha di negeri ini. Terlebih lagi, dalam sistem ekonomi kapitalis sekarang pemimpin maupun para pengusaha  beranggapan bahwa mengurus negara tak akan sempurna jika tak membentangkan tangan untuk utang ribawi, sehingga jumlah utang negeri ini sudah luar biasa besarnya.

Salah satunya badan perusahan pangan Bulog, turut ikut menyumbang utang terhadap negeri ini. Seperti yang disampaikan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, beliau membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp 13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton.

“Memang utang itu harus segera dibayarkan, kalau tidak, pasti Bulog rugi. Utang pokok kita Rp 13 triliun, dari beras CBP yang 1 juta ton itu kan belanjanya dari utang," katanya dalam konferensi pers di Kantor Pusat Bulog, Selasa (28/12).

Pria yang akrab disapa Buwas ini menambahkan, semakin utang tak terbayar oleh Bulog ke bank, maka semakin banyak bunga yang ditangung. Utang dan bunga tersebut makin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp 4,5 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan penyediaan bantuan beras PPKM dan bansos rastra.
 
Padahal kita tahu sejatinya Bulog adalah suatu badan usaha yang diperuntukan sebagai fungsi untuk ketahanan pangan serta sebagai stabilisator harga pangan dan penyimpanan cadangan beras.Tapi nyatanya lembaga bulog ini menyimpan hutang Ribawi yang sangat banyak. 

Sebelumnya pun seperti yang disampaikan liputan 6, di tahun 2022 sekarang,  Perum Bulog akan kembali mengambil utang pada 2022 jika mendapatkan penugasan dari pemerintah. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso menyebut hal itu akan dilakukan jika jenis penugasaannya jelas. Artinya, kata pria yang akrab disapa Buwas itu, hilirisasi penugasan harus diatur secara jelas sehingga tak sebatas penugasan penyerapan saja. Dengan begitu utang yang diambil Bulog akan mampu dibayarkan.

Buwas menyebut, dalam melakukan penyerapan hasil petani dalam negeri, Bulog meminjam dana dari bank dengan pemberlakuan bunga. "Nah bagaimana kalau nanti kedepan ada perintah penyerapan 2 juta ton (beras) misalnya, ya kita utang lagi, ya nambah utang, itu harus, pasti," katanya saat Konferensi Pers, Selasa (28/12/2021).

"Perintah penyerapan itu untuk apa? Saya tanyakan lagi," imbuhnya. Misalnya, kata Buwas, penugasan penyerapan 2 juta ton beras untuk hilirisasi program pemerintah seperti Kementerian Sosial yang memanfaatkan beras Bulog. Atau semisal kementerian ada bantuan lain paket-paket menggunakan beras Bulog.

Sungguh apa yang disampaikan fakta diatas tadi menunjukann kesalahan Paradigma Keuangan, Alih-alih fokus  pada kesejahteraan rakyat,badan pangan ini sebaliknya ternyata mempunyai utang yang sangat besar.

Utang yang kian membengkak setiap tahun sebenarnya diakibatkan beberapa kesalahan. Pertama, adanya prinsip neraca seimbang, yang mana pemasukan harus selalu sama dengan pengeluaran. Akibatnya, seluruh lembaga akan berusaha menghabiskan anggaran walaupun kegiatan atau pengeluaran tersebut sejatinya tidak diperlukan. Cara ini dilakukan karena ada paradigma jika anggaran tak habis dalam setahun, masih terdapat silpa (sisa anggaran pembangunan), artinya lembaga tak mampu mewujudkan programnya dengan baik. 

Kedua, sering dijumpai pembuatan anggaran tidak berdasar pada kebutuhan krusial. Seperti anggaran  baru, padahal anggaran sebelumnya masih bisa dipakai. Jika anggaran yang tidak perlu itu banyak, bisa membuat APBN membengkak. Besar pasak dari pada tiang, pemasukan negara tak mampu menutup anggaran yang diperlukan. Jadi, solusi terakhir yang diambil adalah utang. 

Ketiga, pemasukan anggaran hanya terpaku pada pajak. Sebagaimana yang kita ketahui, masyarakat ditarik pajak hampir di seluruh lini. Sedangkan sumber daya alam tak dapat diandalkan lagi. Akhirnya, utang riba yang dijadikan solusi.

Kapitalisme  merupakan sistem ekonomi berbasis riba dan keuangan nonriil. Semua bisa dilakukan demi keuntungan. Jika ada yang memberikan pertolongan, pasti akan meminta bayaran. Tidak ada makan siang gratis. Itulah yang dilakukan oleh lembaga keuangan dunia seperti World Bank, IMF, maupun yang lain. Mereka memberikan pinjaman demi meraih untung. Selain itu, pinjaman ini juga digunakan sebagai sarana untuk menjerat suatu bangsa agar jauh dari kemandiriannya.

Oleh karena itu, negeri tersebut akan menari sesuai irama pemberi utang. Dalam kata lain, ketika utang telah beranak pinak, negara tersebut akan berada pada jebakan utang (debt trap). Alhasil, kedaulatan pun dikorbankan.


Apapun Alasannya, Riba Haram

Dalam QS Ali Imran ayat 30 disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba [dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengharamkan riba, meskipun hanya sedikit. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, dari Jabir ra., Nabi saw. bersabda, “Rasulullah saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598).

Semua yang terlibat dalam aktivitas riba akan mendapatkan dosa. Siksanya tidak main-main karena riba termasuk golongan tujuh dosa besar. Sebuah hadis meriwayatkan, “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Jika negara yang melakukan riba, siapa yang akan menanggung dosanya? Setiap orang yang terlibatlah yang akan menanggungnya. Bagi orang-orang yang beriman, bukankah hal ini cukup mengerikan? Sayangnya, dalih “terpaksa” dengan mudahnya dijadikan kambing hitam. Hingga akhirnya mereka melakukannya dengan ringan.

Prinsip me-riayah (mengurus) rakyat dengan utang, tidak ada dalam Islam. Selain pandangan Islam mengharamkan utang berbasis riba, sistem keuangan Islam juga mendapatkan pendapatan yang cukup. Sehingga, tidak perlu berutang (apalagi pada asing) untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Islam mengelola harta menjadi tiga pos, yaitu kekayaan individu, negara, dan umum. Khusus kekayaan individu diserahkan rakyat masing-masing. Sedangkan kekayaan negara dan umum akan dikelola negara, termasuk harta dari zakat yang dipergunakan untuk 8 asnaf.

Pendapatan negara seperti kharaj, jizyah, fai, ganimah, hingga pengelolaan SDA, akan diperoleh tiap tahun. Sehingga, kas negara tidak akan kosong. Kalaupun terpaksa ada kekosongan, akan dipungut pajak dari orang kaya dan muslim saja. Jadi, tidak memberatkan bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu, negara tak perlu utang sana sini lagi.

Selain itu, sistem keuangan Islam tidak mengharuskan neraca berimbang. Jika pengeluaran yang tidak perlu bisa ditekan, akan ada sisa anggaran pembangunan. Silpa ini akan disimpan dan dipakai pada tahun mendatang untuk keperluan penting lainnya. Dengan begini, kas negara bisa saja surplus, sebagaimana yang pernah terjadi pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Jika Islam menawarkan sistem keuangan yang lebih baik, serta menjanjikan terlepas dari utang riba, mengapa masih mau bertahan dengan sistem keuangan saat ini?

Sudah saatnya Menganti sistem khufur ini kepada syari'at Islam  Khilafah ala minhaj nubuwwah, inilah yang harus sesegara mungkin ditegakkan di muka bumi ini.

Wallahu alam bi ash shawab []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar