Oleh : Nida Fitri. Y. A
Kasus pelecehan seksual masih saja marak, yang terbaru adalah kasus pelecehan seksual disertai kekerasan menimpa seorang perempuan berinisal NT. Kejadian tersebut menimpanya ketika menjadi penumpang taksi online yang menggunakan mobil Wuling bernomor polisi B 1563 COT. Dalam akun instagram pribadinya, NT menjelaskan awal mula pelecehan disertai kekerasan yang menimpa dirinya bersama sang kakak pada Jumat (24/12/2021) pukul 02.00 WIB. (IDN Times, 24/12/2021)
Maraknya kasus kekerasan seksual di penghujung tahun 2021 membuat kita menjadi sadar bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Mulai dari kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan KPI yang viral pada September 2021. Salah seorang pegawai KPI yang berinisial MS mengaku bahwa dirinya mengalami pelecehan oleh pegawai KPI lainnya sepanjang 2012-2014. Ia mengalami penyiksaan, dipukul hingga ditelanjangi oleh rekannya. Kasus ini terbongkar melalui pesan WhatsApp dan viral melalui media sosial Twitter. Saat ini proses kasusnya masih dalam proses pihak berwajib.
Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus pelecehan yang terjadi dan bahkan sampai ada korban yang bunuh diri karena depresi. Berkaitan dengan payung hukum pelecehan seksual ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). Namun, sebanyak 85 pasal hilang dalam perubahan judul tersebut. (cnnindonesia.com, 2/9/2021).
Aktivis perempuan, Devi Asmarini, menilai bentuk kekerasan seksual berupa perkosaan dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi samar dalam RUU TP-KS. KBGO tidak diakomodir, padahal kasus kekerasan seksual di media sosial terus terjadi. RUU TP-KS dinilai hanya fokus pada penindakan pelaku, tidak terlalu fokus pada pemulihan korban. (cnnindonesia.com, 9/9/2021).
RUU P-KS? RUU TP-KS? Apa yang bisa kita diharapkan dari peraturan buatan manusia ini?
Perubahan-perubahan pasal di dalam RUU P-KS atau RUU TP-KS menunjukkan bahwa hukum hasil pemikiran manusia bisa diubah sesuai keinginan, manfaat, atau kemaslahatan menurut manusia yang cenderung berubah tolok ukur benar salahnya. Kasus kejahatan seksual juga tetap saja marak karena selain undang-undangnya mengandung pasal karet, sanksi hukum sekuler juga tidak membuat jera. Didalamnya hanya menghasilkan peraturan untuk keuntungan beberapa pihak semata, bukan solusi yang paripurna untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi.
Menurut pemahaman mereka, lazim disebut sebagai kesalahan atau 'dosa' jika kekerasan seksual berbentuk pemerkosaan, pencabulan, dan sebagainya. Tetapi ketika kedua belah pihak 'suka sama suka' dan atas kesadarannya melakukan hal tersebut tanpa adanya paksaan itu tidak bisa dikatakan salah dimata hukum dan masyarakat.
Hidup dibawah sistem yang rusak dengan berlandaskan aturan buatan manusia memang sulit medapatkan kesejahteraan dan keamanan. Akal manusia itu terbatas. Hawa nafsu manusia seringkali mengalahkan akal sehat. Kekerasan seksual marak karena manusia mengagungkan akal dan melupakan syariat yang telah ditentukan oleh sang Pencipta. Solusi dari permasalahan umat saat ini hanyalah kembali kepada Allah SWT. dengan memakai aturan yang sudah ditentukan oleh-Nya, bukan hasil dari pemikiran manusia. Lalu, bagaimana Islam mengatasi kasus kekerasan seksual?
Islam memiliki mekanisme penyelesaian kekerasan seksual. Pertama, Islam memiliki batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Islam memerintahkan untuk menutup aurat secara sempurna dan menjaga pandangan baik laki-laki ataupun perempuan, karena umumnya kejahatan seksual itu dipicu rangsangan dari eksternal (luar) yang bisa mempengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Islam pun membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, kecuali dalam beberapa aktivitas yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), dan kesehatan ( Rumah sakit).
Kedua, Islam memiliki kontrol sosial berupa kewajiban beramar ma'ruf nahi mungkar. Saling menasehati dan mengingatkan satu sama lain juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentunya dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Rasulullah saw. bersabda, “Dengarkanlah aku, Allah telah menetapkan hukuman bagi mereka itu, perawan dan perjaka yang berzina maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan pria yang sudah tidak perjaka dan perempuan yang sudah tidak perawan (yang keduanya pernah bersetubuh dalam status kawin), maka akan dijatuhi hukuman cambuk dan dirajam.” (HR Muslim)
Hukuman rajam bagi pelaku kemaksiatan juga tidak dilakukan sembarangan. Harus secara terperinci, kasusnya ditangani oleh qadi (hakim) yang berwenang, harus ada saksi pula, dan sebagainya. Semua bentuk syariat islam ini ditegakkan sebagai bentuk penebus dosa pelaku kelak diakhirat (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir) orang lain melakukan hal yang sama agar jera.
Ketiga mekanisme diatas akan terlaksana jika umat Islam menerapkan syariat Islam dibawah naungan Daulah Islam yaitu Khilafah Islamiyah, bukan sistem sekuler-liberal seperti sekarang yang malah melegalkan kemaksiatan. Saatnya kita mewujudkannya.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar