Oleh : Siti Sarah Madani (Aktivis Dakwah Jogja)
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengemukakan bahwa pasokan batu bara ke produsen listrik swasta utamanya di Pulau Jawa sepanjang Desember 2021 – Januari 2022 sempat mengalami hambatan dengan stok dibawah 5 hari dari kondisi normal 15-20 hari. (cnbcindonesia.com, 10/01/2022).
Batubara menjadi bauran energi utama yang belum dapat melepaskan diri secara signifikan dari negeri Indonesia. Sehingga ketika rantai pasoknya bermasalah, bayang-bayang krisis energi jadi begitu terasa dekat.
Faktor fundamental krisis batu bara yang terjadi pada PLN menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa diakibatkan lantaran ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) yang harus memenuhi 25% produksi. Hal itu dikarenakan pelaku usaha batubara lebih memilih untuk mengekplor batubara akibat adanya disparatis harga antara harga ekplor dengan harga suply batu bara kepada PLN yang jauh lebih kecil. Dimana berdasarkan data bahwa dari target tahun 2021 sebesar 137,5 juta ton, realisasi yang tercapai hanya sebesar 63,47 juta ton atau sekitar 46 persen yakni 85 perusahaaan yang memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri, sementara ratusan perusahaan lainnya tidak memenuhi. (Suara.com, 05/01/2022)
Atas hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batubara yang berlaku mulai 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022. Kebijakan yang terlihat menunjukkan keberpihakan pada rakyat ini ternyata juga menimbulkan polemik. Salah satunya adalah dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) yang bereaksi keras atas keputusan pemerintah karena akan mengakibatkan terganggunya pasokan batu bara nasional, pengurangan terhadap devisa negara, menurunnya minat investasi pertambangan sampai akan mengakibatkan terhadap keguncangan pasar dunia—asia pasifik, cina, india, jepang yang akan berdampak.
Krisis batu bara yang berkepanjangan memicu banyaknya dugaan yang akan menimpa negeri, salah satunya berdasarkan pengamatan Pengamat Energi, Mamit Setiawan menyebut bahwa skenario terburuk dari krisis batu bara adalah terjadinya pemadaman bergilir di sejumlah daerah dan berbagai skenario buruk lainnya. (cnnindonesia.com, 07/01/2022)
Polemik semacam hal ini menjadi amat wajar terjadi, karena sejak awal pengelelolaan batubara sudah disandarkan pada ekonomi kapitalistik. Konsep kapitalistik neoliberal memang tidak memberikan manfaat besar bagi rakyat. Karena konsep ini telah menjadikan korporasi swasta menguasai sumberdaya energi dan tambang secara leluasa yang seharusnya di kelola oleh negara. Kepentingan yang mengusung para korporasi ini berstandar terhadap profit, yang menjadi satu-satunya tujuan dan tidak ada belas kasih yang diberikan atas dampak yang terjadi pada masyarakat. Itulah tata kelola kepemilikan kapitalistik hari ini yang lagi-lagi cenderung mengabaikan urusan rakyat. Mirisnya, negara tidak mampu berbuat banyak untuk menangani hal ini secara mendasar, bahkan seolah menjadi ‘satpam’ bagi korporasi agar bisa tetap beroperasi ditengah tangisan rakyat yang harus membayar mahal atas listrik.
Dalam Islam, komoditas sumber daya alam diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak bisa sembarangan dimiliki oleh individu, melainkan menjadi kepemilikan atas seluruh rakyat. Batu bara termaksud barang tambang yang merupakan kepemilikan umum dan tidak boleh dikuasai oleh individu dan dialih kuasakan oleh siapapun.
Atas hal ini para Fukoha telah membahas permasalahan barang tambang sejatinya penguasaan individu atas barang tambang yang melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan kepunyaan publik dan tidak bisa dikuasai oleh individu. Seperti apa yang sudah dibahas oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni yakni barang tambang yang dzhohir seperti; garam, air, sulfur, ter, batubara, minyak bumi, celak, yakut dan semisalnya adalah milik umum.
Berkenaan dengan kepemilikian umum, Rasulullah SAW pernah bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api
(HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dengan peneran konsep semacam ini, sebuah negara tentu saja akan mengelola batu bara secara mandiri tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar