MODERASI MENYEMAI TAFSIR SESAT ATAS NASH


Oleh : Sopiyah, S. Pd

Semenjak ditebitkannya sebuah buku berjudul Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak beberapa waktu yang lalu. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa zakat bisa disalurkan salah satunya kepada korban kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual bisa dimasukkan dalam 8 asnaf yang berhak menerima zakat. Yaitu termasuk dalam kategori riqab (hamba sahaya). 

Dalam sambutannya, Yulianti Muthmainnah penulis buku Zakat untuk Korban Kekerasan Seksual dalam sebuah acara bedah buku tersebut menguraikan tentang pemilihan tema zakat yang diusung dalam diskusi ini. Ketua PSIPP ini menjelaskan bahwa PSIPP fokus pada isu Isalm, perempuan dan (ekonomi) pembangunan, tetapi juga memastikan dan mendorong fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah berpihak pada perempuan. Kemudian Yuli selaku ketua PSIPP menyebutkan potensi zakat di Indonesia sangat tinggi bahkan mencapai 3 triliun lebih, namun dana tersebut masih belum bisa dimanfaatkan untuk para korban kekerasan. Atas dasar itulah kemudian buku Zakat untuk Korban ini kita coba sosialisasikan sedemikian luasnya kepada masyarakat (www.suaramuhammadiyah.com).

Senada dengan Yulianti, Nevey V. Ariani (Direktur Posbakum ‘Aisyiyah) menyampaikan bahwa korban kekerasan seksual bisa menjadi penerima zakat karena termasuk dalam kategori riqab atau orang-orang yang teraniaya. Ia mengingatkan supaya tidak memaknai konsep riqab secara tekstual (www.republika.co.id). Menguatkan tentang hal tersebut dengan perspektif fiqih  Nur Achmad Mudir Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo memaparkan konsep wal-mu`allafati qul'buhum, yakni orang-orang yang sedih dan bimbang hatinya. Menurutnya, korban kekerasan seksual dapat digolongkan dalam konsep tersebut, karena keberadaan mereka yang acap kali ditolak dan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sehingga hatinya menjadi sedih (www.mediaindonesia.com).
Bahkan ini tidak hanya sebagai wacana tapi sudah diterapkan di Tangerang Selatan. Tangerang Selatan menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan zakat untuk membantu korban kekerasan, terutama perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) serta Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis (PSIPP-ITB) Ahmad Dahlan Jakarta melakukan kerja sama dengan Tangerang Selatan demi mewujudkan program itu (www.kompas.id).

Lantas apa sebetulnya yang menyebabkan tafsir moderasi ini sesat? Bagaimana pula metode syar’i yang ditetapkan Islam?


Tafsir Sesat Moderasi

Peneliti Senior RAND Corporation Angel Rabasa menyatakan bahwa “moderat” artinya ‘orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, humanisme, dan sebagainya’. 
Hal ini menunjukkan definisi moderat sangat berbeda dengan Islam. Sebab, nilai-nilai yang kaum moderat usung adalah berasal dari Barat (buatan manusia), bukan dari aturan Islam (buatan Allah). Artinya, mereka menafsirkan kehidupan beragama itu (termasuk kehidupan beragama kaum muslim) harus menerima apa pun yang peradaban Barat nilai baik. Jika tidak menerima, akan mendapat label tidak moderat. Kelompok tidak moderat inilah yang kemudian mendapat cap radikal dan tersemat stigma menurut tafsir kaum moderat itu sendiri. 

Ide moderasi beragama tegak atas asumsi bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme. Sikap ini pada akhirnya menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Alhasil, muncullah ide pluralisme sebagai paham yang dipandang mampu menjembatani perbedaan ajaran agama. Kemunculan ide pluralisme agama ini berdasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, serta penindasan antar umat agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar alias lenyapnya truth claim. Atas dasar inilah proyek moderasi digalakkan.

Barat yang memahami dengan persis kemunduran berpikir umat, secara masif melancarkan perang pemikiran. Dengan memanfaatkan para cendekiawan muslim yang lahir dari sistem sekuler, barat mencekoki umat dan generasinya dengan menawarkan Islam dengan konsep ala Barat. Itulah Islam moderat.

Alhasil, sikap defensif apologite di tengah global war on terrorism yang di masa Trump beralih menjadi global war on radicalism, tak dapat dihindari kaum muslimin. Sikap ambiguitas dalam merespons isu terorisme ini mau tidak mau memaksa mereka untuk mengaminkan wacana Islam moderat sekaligus menerima konsep moderasi agama dengan tangan terbuka.

Mereka berusaha menafsirkan Islam sesuai dengan konsep moderasi beragama ini. Para cendekiawan muslim berusaha membungkus pemahaman Islam moderat dengan istilah Islam wasathiyah. Wasathiyah diambil dari istilah Al-Qur'an, wasath[an] (pertengahan). Inilah yang Allah jadikan sebagai salah satu sifat umat Islam. Namun, istilah wasath[an] ini hanya dicomot dan dijadikan sebagai “wadah”, sementara isinya dijejali dengan pemahaman Islam moderat yang tidak lain adalah Islam yang sesuai selera Barat. 

Dengan dalih moderasi dan ketiadaan aktivitas ijtihad yang sesuai syariat, Barat mengarahkan negeri-negeri muslim untuk menalar dan mengkritisi ajaran agama mereka sendiri. Bahkan, sampai taraf menafsirkan ayat-ayat berkaitan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Semua ini tidak lepas dari asas sekularisme yang memang terus Barat deraskan.

Dengan demikian, pendefinisian riqab ini sejalan dengan apa yang dikehendaki Barat. Mereka menafsirkan riqab disesuaikan dengan kondisi saat yang itu justru bertentangan dengan definisi yang sesungguhnya. Oleh karenanya seorang muslim harus berhati-hati dalam mengambil penafsiran ini. Setiap upaya penafsiran terhadap ayat Allah SWT haruslah didasarkan pada nash syara. Jangan sampai kita melakukan penafsiran yang justru membuat kita tersesat dari syariat Allah SWT.


Metode Syar’i Islam

Megenai zakat bahwasaya zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan bagi umat muslim yang mampu menjalankannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat At Taubah ayat 103 yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103).

Perintah untuk memberikan zakat juga tertuang dalam surat At Taubah ayat 60 yang berbunyi: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana." (www.baznas.go.id).

Dalam ayat tersebut riqab bermakna hamba sahaya. Yaitu menggunakan zakat untuk membebaskan hamba sahaya. Kata riqab ini yang kemudian diartikan berbeda. Yaitu dengan memasukkan korban kekerasan seksual sebagai bagian darinya. Mereka beralasan bahwa termasuk golongan orang yang teraniaya sehingga berhak mendapatkan zakat.

Dalam penafsiran ini kita melihat adanya  upaya untuk mengaburkan definisi riqab. Padahal sebagian besar ulama mazhab telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah budak mukatab. Yaitu budak yang telah membuat perjanjian dengan majikannya bahwa ia akan dimerdekakan setelah menyerahkan sejumlah uang kepada majikannya.

Ini adalah definisi yang telah disepakati oleh sebagian besar ulama. Maka jikalau ada upaya penafsiran lain terhadap definisi ini maka seharusnya itu dilakukan dengan penggalian terhadap nash syara bukan diselaraskan dengan konteks kekinian. Inilah yang saat ini terjadi. Ada upaya menafsirkan ajaran Islam dengan tafsiran sesuai dengan wacana moderasi beragama. 
Padahal perkara ibadah seperti sholat, puasa, zakat dan haji merupakan ranah tauqifiy atau perkara yang harus diambil apa adanya sesuai yang tercantum dalam nash tanpa dikaitkan dengan illat bahkan harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh ketundukan.

Namun demi sebuah tujuan memoderasikan agama, mereka menempuh jalan pintas menafsirkan ayat tersebut sesuai perspektif akal manusia yang memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme).

Tentu saja penafsiran seperti ini sangat berbahaya. Sebab akan menghantarkan pada perubahan hukum syara. Para pengusung moderasi sering kali melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai keinginan mereka. Sadar atau tidak, mereka menjadikan peraturan dan hukum-hukum produk Barat sebagai pijakan. Padahal, peraturan dan hukum produk Barat berlandaskan pada sekularisme, yaitu peraturan dan hukum yang memisahkan agama dari kehidupan.

Dengan demikian, dalam menafsirkan Al-Qur’an, harus mengacu kepada dua sumber dalil kaum muslimin yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan menjadikan akal atau pendapatnya sebagai acuan, apalagi hawa nafsunya.

Terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat/akalnya atau tidak disertai ilmu. Dari Ibn Abbas, Rasulullah saw. bersabda,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Dari Ibn Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa berbicara tentang Al-Qur’an tanpa disertai ilmu, maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempat duduknya dari api neraka.’ Abu Musa berkata ini hadis hasan sahih. (HR Turmudzi dari Ibn Abbas, hadis no. 2874 dan HR Ahmad hadis no 1965.)

Tafsir merupakan bagian terpenting dari tsaqofah Islam (ilmu-ilmu Islam), yaitu pengetahuan-pengetahuan yang yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar pembahasannya. Karenanya pembahasan tsaqofah Islam semuanya kembali kepada kepada akidah Islam, yaitu kepada Alquran dan Hadis. (Taqiyyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah al Islamiyah Juz I, bab “Tsaqofah Islamiyah”). 

Karenanya dalam menafsirkan Alquran harus sesuai Alquran-Hadis dan tidak dibenarkan jika berlandaskan selain akidah Islam, seperti berdasarkan kepada moderasi Islam.

Untuk menafsirkan Alquran membutuhkan ilmu tafsir atau metode penafsiran Alquran. Karena Ilmu tafsir merupakan tsaqofah Islam, yaitu salah satu cabang ilmu –ilmu Islam, maka harus bersumber dari akidah Islam. Artinya harus bersumber dari Alquran-Hadis, dan sesuai Alquran-Hadis.

Metode menafsirkan Alquran yang sesuai dengan Alquran dan Hadis meliputi: pertama, tafsir bi al riwayah yaitu penafsiran Alquran dengan Alquran, atau dengan sabda Rasulullah, atau dengan perkataan Sahabat, sebagai penjelasan apa yang dikehendaki Allah dalam Alquran.

Dengan demikian tafsir bir riwayah ini adakalanya menafsirkan Alquran dengan Alquran atau menafsirkan Alquran dengan Hadis atau menafsirkan Alquran dengan atsar dari para shahabat. Tafsir ini disebut juga sebagai tafsir ma’tsur. (Syekh Muhamad Ali ash Shabuni Al Tibyan fi Ulumi al Qur’an, hlm. 67-70).

Kedua, tafsir bi al dirayah yaitu tafsir yang disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan pendapat/ijtihad. Yang dimaksud pendapat disini adalah ijtihad yang didasarkan pada kaidah ushul (kaidah penafsiran) yang sahih, kaidah-kaidah yang selamat-lurus, bukan menjadikan penafsiran berdasarkan pendapatnya yang disandarkan pada akal semata, atau sesuai dengan apa saja yang dikehendaki mufassir, atau bahkan berdasarkan hawa nafsu. Tentu tafsir seperti ini membahayakan umat Islam.

Akan tetapi yang dimaksud ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh menafsirkan Alquran dengan menggunakan pendekatan bahasa dan bersandarkan pada Alquran. Jadi bukan menafsirkan Alquran berdasarkan pendapatnya semata atau hawa nafsunya semata.

Dengan demikian, maka dalam menafsirkan Alquran, harus berlandaskan kepada Alquran dan Hadis, tidak boleh menafsirkan Alquran berdasarkan moderasi Islam, karena moderasi Islam akan menjauhkan umat menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu a'lam bishshawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar